Senin, 16 Juni 2008

Mengapa Kurikulum Selalu jadi Kambing Hitam?
Oleh : Yusuf Hasyim
Kemerosotan pendidikan kita sudah terasa selama bertahun-tahun, untuk kesekian kalinya kurikulum dituding sebagai penyebabnya. Hal ini tercermin dengan adanya upaya mengubah kurikulum 1975 diganti dengan kurikulum 1984, kemudian diganti lagi dengan kurikulum 1994 dan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) bahkan sekarang mencoba disempurnakan lagi dengan Kurikulum 2006. Perubahan kurikulum memang suatu keharusan bagi pengembangan pendidikan, tetapi tidak serta merta setiap perubahan tahun pembelajaran kurikulum ikut berubah sementara pelaksanaan kurikulum sebelumnya belum sempat terevaluasi bahkan di daerah pelosok belum sempat dilaksanakan.
Memperbincangkan perubahan kurikulum memang sangat menarik dan selalu aktual, sebagaimana diperdebatkan oleh Sdr. Nur Abadi dan HM. Faojin dalam majalah Rindang Edisi April dan Mei 2006. Tetapi kalau kita mau jujur pada realitas pelaksanaan pendidikan di Indonesia, sebenarnya kemerosotan pendidikan bukan melulu diakibatkan oleh kurikulum tetapi banyak faktor lain yang saling terkait.
Anehnya, apa yang disampaikan Sdr. HM. Faojin bahwa perubahan kurikulum telah melalui proses yang sistemik dan terencana dengan melibatkan para pakar pendidikan, pakar bidang ilmu dan praktisi pendidikan, tidak dibarengi dengan upaya peningkatan kualitas pendidik maupun tenaga kependidikan. Begitu banyak anggaran dan biaya yang dikeluarkan untuk sosialisasi perubahan kurikulum, perubahan buku-buku-buku pelajaran ketika terjadi perubahan kurikulum namun hasilnya masih jauh dari yang diharapkan. Barangkali para pakar kurikulum kurang melihat pada realitas para praktisi pendidikan di desa-desa dan pelosok, atau mereka yang sehari-hari berjuang mencerdaskan anak bangsa di sekolah-sekolah swasta dan madrasah dengan segudang problem pendidikan yang tidak sedikit, mulai dari keterbatasan anggaran, sarana & prasarana pendidikan, masalah ekonomi, serta sulitnya memacu minat belajar siswa yang telah tererosi oleh budaya globalisasi dan modernisasi. Mereka merasa terseok-seok mengikuti arus perubahan kurikulum yang terlalu cepat. Sementara di sisi lain, pemerintah masih sangat minim menyediakan anggaran untuk peningkatan kualitas bagi mereka.
Problematika Umum Pendidikan
Kalau kita mau jujur, sebenarnya kurikulum bukan satu-satunya faktor yang paling menentukan bagi keberhasilan pendidikan. Kurangnya profesionalisme guru dalam memberikan pelayanan pendidikan juga harus diakui sebagai faktor penting bagi keberhasilan pendidikan.
Menurut Philip H. Coombs dalam bukunya “What is Educational Planning?”, paling tidak ada 4 tahapan permasalahan yang dilewati dunia pendidikan, yaitu ; 1) Tahap rekonstruksi, pendidikan dihadapkan pada permasalahan pengkondisian otoritas pendidikan, desentralisasi pendidikan, serta perencanaan fasilitas pendidikan 2) Tahap Ketenagakerjaan/Penyiapan SDM, pendidikan dihadapkan pada penyiapan tenaga kerja yang terampil dan cakap (tenaga ahli), 3) Tahap Perluasan/Pengembangan pendidikan meliputi pengembangan kurikulum, metode, pengujian, demokrasi pendidikan, serta adaptasi sistem pendidikan dan ekonomi, 4) Tahap Inovasi, berhubungan dengan perencanaan pendidikan dan strategi-strategi pengembangan.
Sedangkan di negara-negara berkembang, problematika pendidikan yang dihadapi antara lain adalah :
1. Ketidakseimbangan komponen-komponen sistem pendidikan, meliputi tenaga pendidik/guru, bangunan, peralatan, buku teks, dll.
2. Masalah kebutuhan dan kapasitas pendidikan yang terbatas sebagai akibat pertambahan jumlah penduduk.
3. Masalah keterbatasan kemampuan anggaran pendidikan untuk mencukupi kebutuhan-kebutuhan perencanaan pendidikan.
4. Masalah kurangnya lapangan pekerjaan bagi tenaga-tenaga terdidik.
5. Kesalahan-kesalahan pendidikan dalam beradaptasi dengan perkembangan zaman, berhubungan dengan relevansi kurikulum, metode pendidikan dengan dunia kerja.
Secara umum problematika yang dihadapi lembaga pendidikan pada umumnya memiliki beberapa kesamaan sebagaimana yang telah dideskripsikan oleh Philip H. Coombs di atas, maka masalah utama yang dihadapi lembaga pendidikan antara lain; Pertama, lemahnya management penyelenggaraan pendidikan. Hal ini berkaitan erat dengan kemampuan managerial para penyelenggara pendidikan yang masih dipengaruhi oleh sumber daya manusia yang terbatas dan pengaruh budaya pedesaan yang cenderung mengacu pada pola management “alon-alon asal kelakon”.
Kedua, Bidang Sumber Daya Manusia/ tenaga Kependidikan. Masalah yang dihadapi adalah masih adanya tenaga pendidik atau guru yang mengajar kurang sesuai dengan kompetensi yang dimilikinya (miss-match and underqualified), disamping itu masih banyak pula guru-guru swasta yang mempunyai peran ganda sebagai pengajar di lembaga pendidikan lain, sehingga kurang bisa berperan secara maksimal. Kondisi tenaga kependidikan –terutama profesionalisme guru- masih perlu mendapat perhatian serius karena hal ini juga akan berpengaruh terhadap out put pendidikan yang dihasilkan. Menurut hasil penelitian dari Departemen Agama RI, bahwa semakin nampak persoalan yang dihadapi madrasah adalah guru yang Miss-match dan underqualified. 21,7 % dari total guru yang mengajar berstatus PNS, dan 78,3 % adalah non-PNS., 66,5 % memiliki spesialisasi pendidikan agama dan hanya 33,5 % yang memiliki spesialisasi pendidikan umum. Misalnya guru Biologi dapat mengajar Kimia atau Fisika, ataupun guru IPS dapat mengajar Bahasa Indonesia, bahkan guru PAI mengajar Bahasa Inggris. Banyak diantaranya yang tidak berkualitas dalam menyampaikan materi sehingga mereka kurang mampu menyajikan dan menyelenggarakan pendidikan yang benar-benar berkualitas. Diantara faktor yang menyebabkan kurangnya profesionalisme guru, sehingga pemerintah berupaya agar guru yang tampil di abad pengetahuan adalah guru yang benar-benar professional yang mampu mengantisipasi tantangan dalam dunia pendidikan.
Ketiga, Bidang Kurikulum, permasalahan klasik yang dihadapi pada umumnya adalah ketidakmapanan kurikulum pendidikan. Pergantian kurikulum yang terlalu cepat dan kebelumsiapan tenaga-tenaga kependidikan menjadi faktor penyebab ketidakjelasan arah dan target kurikulum. Disisi lain perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi menuntut relevansi kurikulum pendidikan dengan dunia kerja. Out put yang dihasilkan pendidikan dipertanyakan, apalagi jika dihadapkan pada permasalahan IPTEK. Keempat, Bidang Sarana dan Prasarana, keterbatasan finansial merupakan kendala utama bagi upaya pengembangan pendidikan. Terutama adalah berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan sarana dan prasarana pendidikan, baik fisik maupun non-fisik. Seperti terbatasnya fasilitas belajar mengajar, buku-buku teks, alat peraga, ruang praktikum, dsb. Apalagi kalau kita melihat alokasi anggaran pendidikan di Indonesia masih jauh dari amanat Undang-Undang yakni 20 % dari APBN. Lebih tragis lagi kalau kita melihat anggaran pendidikan untuk madrasah yang hanya berasal dari anggaran keagamaan, berbeda dengan sekolah umum di bawah naungan Departemen Pendidikan Nasional, bagaimana mungkin mencukupi kebutuhan-kebutuhan penunjang pendidikan, sementara untuk kelangsungan penyelenggaraan pendidikan saja masih ditopang oleh bantuan masyarakat, walaupun sekarang ada Bantuan Operasional Siswa (BOS) yang hanya cukup untuk membiayai operasional pendidikan. Kelima, masalah Networking / pengembangan jaringan.
Paradigma Baru Profesionalisme Guru
Memperhatikan peran guru dan tugas guru sebagai salah satu faktor determinan bagi keberhasilan pendidikan, maka keberadaan dan peningkatan profesi guru menjadi wacana yang sangat penting. Pendidikan di abad pengetahuan menuntut adanya manajemen pendidikan modern dan professional dengan bernuansa pendidikan.
Menurut para ahli, profesionalisme menekankan pada penguasaan ilmu pengetahuan atau kemampuan manajemen beserta strategi penerapannya. Maister (1997) mengemukakan bahwa profesionalisme bukan sekedar pengetahuan teknologi dan manajemen tetapi lebih merupakan sikap, pengembangan. Profesionalisme lebih dari seorang teknisi bukan hanya memiliki ketrampilan yang tinggi tetapi memiliki suatu tingkah laku yang dipersyaratkan.
Profesionalisme sebagai penunjang kelancaran guru dalam melaksanakan tugasnya, sangat dipengaruhi oleh dua faktor besar yaitu faktor internal yang meliputi minat dan bakat, dan faktor eksternal yang berkaitan dengan lingkungan sekitar, sarana prasarana, serta berbagai latihan yang dilakukan guru.
Untuk menjadi guru yang memiliki atribut professional yang tinggi seorang guru dituntut untuk memiliki ciri lima hal :
1. Guru mempunyai komitmen pada siswa dan proses belajarnya,
2. Guru menguasai secara mendalam bahan/mata pelajaran yang diajarkannya serta cara mengajarnya kepada siswa,
3. Guru bertanggungjawab memantau hasil belajar siswa melalui berbagai cara evaluasi,
4. Guru mampu berfikir sistematis tentang apa yang dilakukannya dan belajar dari pengalamannya,
5. Guru seyogyanya merupakan bagian dari masyarakat belajar dalam lingkungan profesinya.
Arifin (2000) mengemukakan guru Indonesia yang professional dipersyaratkan sebagai berikut :
1. Dasar ilmu yang kuat sebagai pengejawantahan terhadap masyarakat teknologi dan masyarakat ilmu pengetahuan di abad 21,
2. Penguasaan kiat-kiat profesi berdasarkan riset dan praksis pendidikan yaitu ilmu pendidikan sebagai ilmu praksis bukan hanya merupakan konsep-konsep belaka. Pendidikan merupakan proses yang terjadi di lapangan dan bersifat ilmiah, serta riset pendidikan hendaknya diarahkan pada praksis pendidikan masyarakat Indonesia,
3. Pengembangan kemampuan professional berkesinambungan antara LPTK dengan praktik pendidikan. Kekerdilan profesi guru dan ilmu pendidikan disebabkan terputusnya program pre-service dan in-service karena pertimbangan birokratis yang kaku atau manajemen pendidikan yang lemah.
Dengan adanya persyaratan profesionalisme guru ini, perlu adanya paradigma baru untuk melahirkan profil guru Indonesia yang professional di abad 21, yaitu :
1. Memiliki kepribadian yang matang dan berkembang;
2. Penguasaan ilmu yang kuat
3. Ketrampilan untuk membangkitkan peserta didik kepada sains dan teknologi; dan
4. Pengembangan profesi secara berkesinambungan .
Apabila syarat-syarat profesionalisme guru di atas itu terpenuhi akan mengubah peran guru yang tadinya pasif menjadi guru yang kreatif dan dinamis. Hal ini sejalan dengan pendapat Semiawan (1991) bahwa pemenuhan persyaratan guru profesional akan mengubah peran guru yang semula sebagai orator yang verbalistis menjadi berkekuatan dinamis dalam menciptakan suatu suasana dan lingkungan belajar yang invitation learning environment. Dalam rangka peningkatan mutu pendidikan, guru memiliki multi fungsi yaitu sebagai fasilitator, motivator, informatory, komunikator, transformator, change agent, innovator, konselor, evaluator dan administrator (Soewondo, 1972 dalam Arifin 2000).
Pengembangan profesionalisme guru menjadi perhatian secara global, karena guru memiliki tugas dan peran bukan hanya memberikan informasi-informasi ilmu pengetahuan dan teknologi, melainkan juga membentuk sikap dan jiwa yang mampu bertahan dalam era hiperkompetisi. Tugas guru adalah membantu peserta didik agar mampu melakukan adaptasi terhadap berbagai tantangan kehidupan serta desakan yang berkembang dalam dirinya. Pemberdayaan peserta didik ini meliputi aspek-aspek kepribadian terutama aspek intelektual, social, emosional dan ketrampilan. Tugas mulia itu menjadi berat karena bukan saja guru harus mempersiapkan generasi muda memasuki abad pengetahuan, melainkan harus mempersiapkan diri agar tetap eksis, baik sebagai individu maupun sebagai professional.



1 komentar:

Anonim mengatakan...

Who knows where to download XRumer 5.0 Palladium?
Help, please. All recommend this program to effectively advertise on the Internet, this is the best program!