Minggu, 07 April 2013

PEMIKIRAN TOKOH PENDIDIKAN ISLAM (KLASIK DAN KONTEMPORER)



PEMIKIRAN TOKOH PENDIDIKAN ISLAM
(KLASIK DAN KONTEMPORER)
Oleh : Yusuf Hasyim, S.Ag, M.S.I

A.      PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM TOKOH KLASIK
I.        KONSEP PENDIDIKAN IBN MISKAWAIH
1.       Riwayat Hidup Ibn Miskawaih
Nama lengkapnya adalah Ahmad Ibn Muhammad Ya’kub Ibn Miskawaih. Ia lahir pada tahun 320 H/932 M. di Rayy, dan meninggal di Isfahan pada tanggal 9 Shafar tahun 412 H./16 Pebruari 1030 M. Ibn Miskawaih hidup pada masa pemerintahan dinasti Buwaihi (320-450 H./932-1062 M.) yang sebagian besar pemukanya bermazhab Syiah.
Latar belakang pendidikannya tidak terlacak secara rinci. Tetapi ditemukan keterangan, bahwa ia mempelajari sejarah dari Abu Bakr Ahmad Ibn Kamil al-Qadi, mempelajari Filsafat dari Ibn al-Akhmar, dan mempelajari Kimia dari Abu Thayyib.
Pekerjaan utama Ibn Miskawaih adalah bendaharawan, sekretaris, pustakawan, dan pendidik anak para pemuka dinasti Buwaihi. Selain akrab dengan penguasa, ia juga banyak bergaul dengan para ilmuwan seperti Abu Hayyan at-Tauhidi, Yahya Ibn ‘Adi dan Ibn Sina. Ibn Miskawaih juga dikenal sebagai sejarawan besar yang kemasyhurannya melebihi pendahulunya, At-Thabari (w. 310 H./923 M.). Selanjutnya ia juga dikenal sebagai dokter, penyair dan ahli bahasa.
2.       Konsep Pendidikan Ibn Miskawaih
Konsep pemikiran pendidikan Ibn Miskawaih dilandasai oleh konsep pemikirannya tentang manusia dan akhlak.
a.       Dasar Pemikirannya
·         Konsep manusia
Ibn Miskawaih memandang manusia sebagai makhluk yang memiliki macam-macam daya. Menurutnya ada tiga macam daya yang ada pada diri manusia, yaitu: (1) Daya bernafsu (an-nafs al-bahimiyyat) sebagai daya terendah; (2) Daya berani (an-nafs as-sabu’iyyat) sebagai daya pertengahan, dan (3) Daya berpikir (an-nafs an-nathiqah) sebagai daya tertinggi. Ketiga daya ini merupakan unsur rohani manusia yang asal kejadiannya berbeda. An-Nafs al-bahimiyyat dan an-Nafs as-sabu’iyyat berasal dari unsur materi, sedangkan an-nafs an-nathiqat berasal dari ruh Tuhan. Karena kedua an-nafs yang berasal dari materi akan hancur bersama hancurnya badan dan an-nafs an-nathiqat tidak akan mengalami kehancuran.
·          Konsep Akhlak
Konsep akhlak Ibnu Miskawaih adalah doktrin jalan tengah. Ibn Miskawaih memberi pengertian pertengahan tersebut antara lain dengan keseimbangan, moderat, harmoni, utama, mulia, atau posisi tengah antara dua ekstrem. Akan tetapi ia tampak cenderung berpendapat bahwa keutamaan akhlak secara umum diartikan sebagai posisi tengah antara ekstrim kelebihan dan ekstrim kekurangan masing-masing jiwa manusia.
Ada empat keutamaan akhlak (al-iffah, as-saja’ah, al-hikmah, dan al-‘adalah) merupakan pokok atau induk akhlak yang mulia. Akhlak yang lainnya merupakan cabang dari empat akhlak mulia tersebut.
b.      Konsep Pendidikan
Ibn Miskawaih membangun konsep pendidikan pada pendidikan akhlak. Selengkapnya dapat dikemukakan sebagai berikut:
·         Tujuan Pendidikan Akhlak
Tujuan pendidikan akhlak yang dirumuskannya adalah terwujudnya sikap bathin yang mampu mendorong serta spontan untuk melahirkan semua perbuatan yang bernilai baik, sehingga mencapai kesempurnaan dan memperoleh kebahagiaan sejati dan sempurna.
Dengan demikian, tujuan pendidikan yang ingin dicapai Ibn Maiskawaih bersifat menyeluruh, yakni mencakup kebahagiaan hidup manusia dalam arti yang seluas-luasnya.
·         Materi Pendidikan Akhlak
Ibn Miskawaih menyebut tiga hal pokok menjadi materi pendidikan akhlaknya. Tiga hal tersebut adalah: (1) hal-hal yang wajib bagi kebutuhan tubuh manusia, misalnya shalat, puasa dan sa’i(2) hal-hal yang wajib bagi jiwa, misalnya mengesakan Allah serta motivasi senang kepada ilmu dan (3) hal-hal yang wajib bagi hubungannya dengan sesama manusia, misalnya ilmu muamalat, pertanian, perkawinan, saling menasehati, peperangan dan lain-lain.
Ketiga materi pokok tersebut dapat diperoleh dari ilmu-ilmu yang secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi dua. Pertama, ilmu-ilmu yang berkaitan dengan pemikiran (al-ulum al-fikriyah), dan kedua, ilmu-ilmu yang berkaitan dengan indera (al-ulum al-bissiyat).
·         Pendidik dan Anak Didik
Pendidik, dalam hal ini guru, instruktur, ustadz atau dosen memegang peranan penting dalam keberlangsungan kegiatan pengajaran dan pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan yang ditetapkan. Sedangkan anak didik yang selanjutnya disebut murid, siswa, peserta didik atau mahasiswa merupakan sasaran kegiatan pengajaran dan pendidikan merupakan bagian yang perlu mendapatkan perhatian yang seksama. Perbedaan anak didik dapat menyebabkan terjadinya perbedaan materi, metode, pendekatan dan sebagainya.
Orang tua, merupakan pendidik yang pertama bagi anak-anaknya dengan syariat sebagian acuan utama materi pendidikannya. Kegiatan ini harus dilandasi dengan hubungan yang harmonis dan cinta kasih. Guru berfungsi sebagai orang tua atau bapak rohani, orang yang dimuliakan dan kebaikan yang diberikan adalah kebaikan Ilahi.
·         Lingkungan Pendidikan
Sebagai makhluk sosial, manusia memerlukan kondisi yang baik dari luar dirinya. Selanjutnya ia menyatakan, bahwa sebaik-baik manusia adalah orang yang berbuat baik terhadap keluarga dan orang-orang yang masih ada kaitan dengannya mulai dari saudara, anak atau orang yang masih ada hubungan dengannya.
Untuk mencapai keadaan lingkungan yang demikian itu, perlu ada polical will dari pemerintah. Kepala negara dan aparatnya mempunyai kewajiban untuk menciptakannya. Agama da negara ibarat dua saudara yang saling melengkapi, satu dengan lainnya saling menyempurnakan. Cinta kasih kepala negara (pemimpin) terhadap rakyatnya semisal cinta kasih orang tua terhadap anak-anaknya. Terhadap pemimpin demikian, rakyat wajib mencintainya semisal cinta anak terhadap orang tuanya.
·         Metodologi Pendidikan
Beberapa metode yang diajukannya untuk mencapai akhlak yang baik adalah pertama, adanya kemauan yang sungguh-sungguh untuk berlatih terus-menerus dan menahan diri (al-‘adat wa al-jihad) untuk memperoleh keutamaan dan kesopanan yang sebenarnya sesuai dengan keutamaan jiwa. Kedua, dengan menjadikan semua pengetahuan dan pengalaman orang lain sebagai cermin bagi dirinya.

II.      KONSEP PENDIDIKAN AL-QABISI
1.        Riwayat Hidup al- Qabisi
Nama lengkapnya adalah Abu al-Hasan ‘Ali bin Muhammad Khalaf al-Ma’afiri al-Qabisi. Ia lahir di Kairawan, Tunisia, pada bulan Rajab, tahun 224 H. bertepatan dengan 13 Mei tahun 936 M. Ia pernah merantau ke beberapa negara Timur Tengah pada tahun 353 H./963 M. selama 5 tahun, kemudian kembali ke negeri asalnya dan meninggal dunia pada tanggal 3 Rabiul Awal 403 H. bertepatan dengan tanggal 23 Oktober 1012 M.
Riwayat pendidikannya, ia pernah berguru kepada salah seorang ulama di Iskandariyah. Dia emperdalam ilmu agama dan hadits dari ulama-ulama terkenal dari Afrika Utara, seperti Abul Abbas al-Ibyani dan Abu Hasan bin Masruf ad-Dhibaghi, serta Abu Abdillah bin Masrur al-Assa’ali dan sebagainya.
Ketika berada di Kairawan, Tunisia, ia berguru mengenai ilmu fiqh kepada ulama mazhab Malikiyah yang berkembang di daerah itu, sehingga ia menjadi orang yang juga ahli di bidang fiqh. Para pengamat sepakat bahwa al-Qabisi termasuk salah seorang ulama hadits dan fiqh yang terkemuka pada zamannya.
2.       Konsep Pendidikan al-Qabisi
Beberapa pemikirannya tentang pendidikan adalah:
a.       Pendidikan Anak-anak
Al-Qabisi memiliki perhatian yang besar terhadap pendidikan anak-anak yang berlangsung di kuttab-kuttab. Menurutnya bahwa mendidik anak-anak merupakan upaya amat strategis dalam rangka menjaga kelangsungan bangsa dan negara. Oleh karena itu pendidikan anak harus dilaksanakan dengan penuh kesungguhan dan ketekunan yang tinggi.
b.      Tujuan Pendidikan
Al-Qabisi menghendaki agar pendidikan dan pengajaran dapat menumbuhkembangkan pribadi anak yang sesuai dengan nilai-nilai Islam yang benar. Lebih spesifik tujuan pendidikannya adalah mengembangkan kekuatan akhlak anak, menmbuhkan rasa cinta agama, berpegang teguh kepada ajaran-ajarannya, serta berperilaku yang sesuai dengan nilai-nilai agama yang murni. Di ssamping itu juga al-Qabisi mengarahkan dalam tujuan pendidikannya agar anak memiliki keterampilan da keahlian pragmatis yang dapat mendukung kemampuanya mencari nafkah.
c.        Kurikulum
Al-Qabisi membagi kurikulum menjadi dua bagian:
·          Kurikulum Ijbari, secara harfiah berarti kurikulum (mata pelajaran) yang merupakan keharusan atau kewajiban bagi setiap anak. Kurikulum model ini terdiri dari kandungan ayat-ayat al-Quran seperti sembahyang dan doa-doa, ilmu nahwu dan bahasa Arab.
·         Kurikulum Ikhtiyari (Tidak Wajib/Pilihan). Kurikulum ini berisi ilmu hitung dan seluruh ilmu nahwu, bahasa Arab, syair, kisah-kisah masyarakat Arab, sejarah Islam, ilmu nahwu (grammer) dan bahasa Arab lengkap. Dalam kurikulum ini juga dimasukkan pelajaran keterampilan yang dapat menghasilkan produksi kerja.
d.      Metode dan Teknik Belajar
Selain membicarakan materi, ia juga berbicara mengenai teknik dan langkah mempelajari ilmu itu. Misalnya menghafal al-Quran dan belajar menulis langkah-langkah adalah berdasarkan pemilihan waktu-waktu yang terbaik, yaitu waktu pagi-pagi selama seminggu terus-menerus dan baru beristirahat sejak waktu dhuhur hari Kamis sampai dengan hari Jum’at. Kemudian belajar lagi pada hari Sabtu pagi hingga minggu berikutnya.
Al-Qibasi juga mengemukakan metode belajar yang efektif, yaitu menghafal, melakukan latihan dan demonstrasi.
e.      Percampuran Belajar antara Murid Laki-Laki dan Perempuan
Percampuran belajar antara murid laki-laki dan perempuan dalam satu tempat atau co-educational classes juga menjadi perhatian al-Qabisi. Ia tidak setuju bila murid laki-laki dan perempuan dicampur dalam kuttab, hingga anak itu belajar sampai usia baligh (dewasa).
f.        Demokrasi dalam Pendidikan
Menurut al-Qabisi bahwa anak-anak yang masuk di Kuttab tidak ada perbedaan derajat atau martabat. Baginya pendidikan adalah hak semua orang tanpa ada pengecualian.

III.    KONSEP PENDIDIKAN AL-MAWARDI
1.        Riwayat Hidup al-Mawardi
Nama lengkapnya adalah Abu al-Hasan Ali Ibn Muhammad Ibn Habib al-Basry. Ia dilahirkan di Basrah pada tahun 364 H. bertepatan dengan tahun 974 M. dan wafat di Baghdad pada tahun 450 H. bertepatan dengan tahun 1058 M.
Al-Mawardi hidup pada masa puncak kejayaan ummat Islam. Hingga tidak mengherankan ia tumbuh sebagai pemikir Islam yang ahli dalam bidang fiqh dan sastrawan di samping juga sebagai politikus yang paiwai.
Pendidikannya ditempuh di negeri kelahirannya, Basrah. Di kota itu ia sempat belajar hadits dari beberapa ulama terkenal seperti al-Hasan Ibn Ali Ibn Muhammad Ibn al-Jabaly. Abu Khalifah al-Jumhy, Muhammad Ibn ‘Adiy Ibn Zuhar al-Marqy, Muhammad Ibn al-Ma’ally al-Azdy serta Ja’far bin Muhammad ibn al-Fadl al-Baghdadi. Di samping ahli hadits, ia juga ahli fiqh terkemuka dari mazhab Syafi’i, sastra dan syair, nahwu, filsafat, dan ilmu sosial.
Karir di bidang hukm Islam, menghantarkanya sebagai hakim di beberapa kota, seperti di Utsuwa (daerah Iran) dan di Baghdad. Bahkan ia diminta untuk menyusun kompilasi hukum Islam mazhab Syafii, yang dinamakan al-Iqra’.
Karirnya tidak berhenti di situ, pada masa Khalifah al-Qaim (1031-1074), ia diserahi tugas sebagai duta diplomatik untuk melakukan negosiasi dalam menyelesaikan berbagai persoalan dengan para tokoh pemimpin dari kalangan Bani Buwaihi Seljuk Iran. Ia kemudian diberi gelar Afdal al-Qudhat (Hakim Agung).
Selain sebagai seorang ulama yang waktunya banyak digunakan untuk keperluan pemerintah dan mengajar, ia tercatat sebagai ulama yang banyak melahirkan karya-karya tulisnya dengan ikhlas. Menurut sejarah, tidak kurang 12 judul, yang dapat dibagi ke dalam tiga kelopok pengetahuan.
Pertama, kelompok pengetahuan agama. Misalnya kitab tafsir An-Nukat wa al-‘Uyun, al-Hawy al-Kabir (buku fiqh dalam mazhab Syafii), kitab al-Iqra’ (ringkasan dari kitab al-Hawy), kitab al-Qadi, dan kitab A’lam an-Nubuwwah.
Kedua, kelompok pengetahuan tentang politik dan ketatanegaraan. Misalnya kitab al-Ahkam al-Sulthaniyah, Nasihat al-Muluk, Tashil an-Nazar wa Ta’jil az-Zafar dan Qawanin al-Wizarah wa as-Siasat al-Malik.
Ketiga, Kelompok pengetahuan bidang akhlak. Misalnya kitab an-Nahwu, al-Awsat wa al-Hikam dan al Bughyah fi Adab al-Dunya wa al-Din.
2.       Pemikiran al-Mawardi dalam Bidang Pendidikan
Pemikiran al-Mawardi dalam bidang pendidikan sebagian besar terkonsentrasi pada masalah etika hubungan guru dan murid dalam proses belajar mengajar. Pemikiran ini dapat dipahami, karena dari seluruh aspek pendidikan, guru memegang peranan amat penting, bahkan berada pada garda terdepan.
Al-Mawardi memandang penting seorang guru yang memiliki sikap tawadlu (rendah hati), ikhlas serta menjauhi sikap ujub (besar kepala). Sikap tawadlu akan menyebabkan guru bersikap demokratis dalam menghadapi murid-muridnya. Sikap demokratis ini mengandung makna bahwa guru berusaha mengembangkan individu seoptimal mungkin. Guru menempatkan dirinya sebagai pemimpin dan pembimbing dalam proses belajar mengajar.
Dengan keikhlasan, guru akan tampil melaksanakan tugasnya secara profesional. Hal ini ditandai oleh beberapa sikap sebagai berikut:
Pertama, selalu mempersiapkan sesuatu yang diperlukan guna mendukung PBM. Kedua, disiplin terhadap peraturan dan waktu. Ketiga, penggunaan waktu luangnya akan diarahkan untuk kepentingan profesional. Keempat, ketekunan dan keuletan dalam bekerja. Kelima, memiliki daya kreasi dan inovasi yang tinggi.

IV.   KONSEP PENDIDIKAN IBN TAIMIYAH
1.       Riwayat Hidup Ibn Taimiyah
Nama lengkapnya adalah Taqiyuddin Ahmad bin Abd al-Halim bin Taimiyah, lahir di kota Harran, Wilayah Siria, pada hari senin 10 Rabiul Awwal 661 H. bertepatan dengan 22 Januari 1263 M dan wafat di Damaskus pada malam Senin, 20 Zulqaidah, 728 H. bertepatan dengan 26 September 1328 M. Ayahnya bernama Syihab a-Din ‘Abd al-Halim Ibn ‘Abd as-Salam (627-672 H.) adalah seorang ulama besar yang mempunyai kedudukan tinggi di Masjid Agung Damaskus. Di samping sebagai khatib dan imam besar di masjid tersebut juga sebagai guru dalam bidang tafsir dan hadits. Bahkan direktur Madrasah Dar-al-Hadits as-Sukkariyah, yang bermazhab Hambali. Di sinilah pertama kalinya Ibn Taymiyah dididik.
Kakeknya, Saikh Majd ad-Din al-Barakat ‘Abd al-Salam Ibn ‘Abd Allah (590-652 H.), dipandang sebagai Mujtahid Mutlak dan alim terkenal yang ahli tafsir (mufassir), ahli hadits (muhaddits) dan ushul fiqh (ushuli), ahli fiqh (faqih), ahli nahwu (nahwyy), dan pengarang (mushannif). Sedangkan pamannya dari jalur bapak yang bernama al-KhatibFakhr al-Din dikenal sebagai cendekiawan muslim populer dan pengarang yang produktif pada masanya. Demikian pula Syaraf ad-Din Abd Allah Ibn Abd al-Halim, adik laki-laki Ibn Taimiyah, ternyata juga dikenal sebagai ilmuwan muslim yang ahli dalam bidang ilmu kewarisan Islam (faraid), ilmu-ilmu hadits (ulum al-hadits) dan ilmu pasti (ar-Riyadiyah).
Ibn Taimiyah sendiri sejak kecil dikenal sebagai anak yang cerdas, tinggi kemauan dalam studi, tekun dan cermat dalam memecahkan masalah, tegas dan teguh dalam menyatakan dan mempertahankan pendapat (pendirian), ikhlas dan rajin dalam beramal shaleh, rela berkorban dan siap berjuang untuk jalan kebenaran.
Pendidikannya diperoleh dari sejumlah guru terkenal, di antara adalah Syam ad-Din Abd ar-Rahman Ibn Muhammad ibn Ahmad al-Maqdisi (597-682 H.) seorang ahli hukum Islam (faqih) ternama dan hakim agung pertama dari kalangan mazhab Syafii di Siria, setelah Sultan Baybars (1260-1277 M) melakukan pembaharuan di bidang peradilan. Muhammad Ibn ‘Abd al-Qawi Ibn Badran al-Maqdisi al-Mardawi (603-699 H), seorang muhaddits, faqih, nahwyy dan mufti serta pengarang terpandang pada masanya, juga merupakan salah seorang guru Ibn Taimiyah. Demikian pula al-Manja Ibn Utsman Ibn As’ad al-Tanawukhi, seorang ahli fiqh dan ushul al-fiqh serta ahli tafsir dan ilmu tata bahasa; dan Muhammad Ibn Ismail Ibn Sa’ad al-Syaibani (687-704 H), seorang muhaddits, tata bahasa, sastra, sejarah dan kebudayaan. Masih banyak lagi gurunya yang tidak dapat disebutkan di sini.
2.       Konsep Pendidikan Ibnu Taimiyah
a.        Falsafah Pendidikan
Dasar atau asas yang digunakan sebagai acuan falsafah pendidikan oleh Ibn Taimiyah adalah ilmu yang bermanfaat sebagai asas bagi kehidupan yang cerdas dan unggul. Hal ini dibangun atas dua hal, (1) al-Tauhid (mengesakan Allah), (2) tabiat insaniyah (kemanusiaan).
b.       Tujuan Pendidikan
·          Tujuan Pendidikan Individual
Diarahkan pada terbentuknya pribadi muslim yang baik, yaitu seseorang yang berfikir, merasa dan bekerja pada berbagai lapangan kehidupan pada setiap waktu sejalan dengan perintah al-Quran dan al-Sunnah.
·          Tujuan Sosial
Pendidikan harus diarahkan pada terciptanta masyarakat yang bak sejalan dengan ketentuan al-Quran dan al-Sunnah.
c.        Kurikulum
Kurikulum atau materi pelajaran yang harus diberikan kepada anak didik adalah mengajarkan mereka sesuai yang diajarkan Allah kepadanya, dan mendidiknya agar selalu patuh dan tunduk kepada Allah dan rasulNya. Hal ini bisa dilakukan melalui empat tahap; Pertama, kurikulum yang berhubungan dengan mengesakan Allah (al-Tauhid). Kedua, kurikulum yang berhubungan dengan mengetahui secara mendalam (ma’rifat) terhadap ilmu-ilmu Allah. Ketiga, Kurikulum yang berhubungan dengan upaya yang mendorong manusia mengetahui secara mendalam (ma’rifat) terhadap kekuasaan (qudrat) Allah. Keempat, Kurikulum yang berhubungan dengan upaya yang mendorong untuk mengetahui perbuatan-perbuatan Allah.
Berdasarkan tujuan dan kurikulum tersebut, ia membagi ilmu melalui kekhususannya, (1) ilmu-ilmu yang dapat menyempurnakan agama dan akal, (2) ruang lingkup kurikulum, dibagi menjadi empat bagian; (a) Ilmu Ijbariyah (ilmu yang dipaksakan) dan (b) Ilmu Ikhtiyariyah (ilmu yang diusahakan).
d.      Bahasa Pengantar dalam Pengajaran
Ibn Taimiyah menganjurkan agar penggunaan bahsa Arab dalam pengajaran dan percakapan. Hal ini didasarkan pada pandangannya bahwa penguasaan secara mendalam dan teliti terhadap bahas Ara merupakan tuntutan Islam dan sesuatu yang fardhu ‘ain hukumnya di kalangan ulama salaf.
e.      Metode Pengajran
Menurut Ibn Taimiyah, pada garis besarnya metode pengajaran dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu metode ilmiah dan metode iradiyah. Hal ini didasarkan pada pemikirannya bahwa al-qalb (hati) merupaka alat untuk belajar. Hatilah yang mengendalikan anggota badan dan mengarahkan jalannya.
f.         Etika Guru dan Murid
·         Seorang alim merupakan khulafa’ hendaknya senantiasa saling menolong dalam kebaikan dan ketaqwaan, jangan saling menjegal dan menyakitinya dengan ucapan maupun perbuatan tanpa hak.
·         Seorang alim hendaknya menjadi panutan bagi murid-muridnya.
·         Seorang alim hendaknya menyebarkan ilmunya tanpa main-main atau sembrono.
·         Seoang alim hendaknya membiasakan menghafal dan menambah ilmunya serta tidak melupakannya.
g.       Etika Murid terhadap Guru
·         Seorang murid hendaknya memiliki niat yang baik dalam menuntut ilmu
·         Seorang murid hendaknya mengetahui tentang cara-cara memuliakan gurunya serta berterima kasih kepadanya.
·         Seorang murid hendaknya mau menerima setiap ilmu, sepanjang ia mengetahui sumbernya.
·         Seorang murid hendaknya tidak menolak atau menyalahkan mazhab yang lain atau memandang mazhab lain sesat.
V.     KONSEP PENDIDIKAN IBNU KALDUN
1.    Biografi Singkat Ibnu Khaldun
Nama lengkap Ibnu Kaldun adalah Abdurrahman Zaid Waliyuddin Bin Khaldun, lahir di Tunisia pada tanggal 1 Ramadhan732 H, bertepatan dengan tanggal 27 Mei 1332 M. nama kecilnya adalah Abdurrahman, sedangkan Zaid adalah nama pangilan keluarga sedangkan waliyuddin merupakan kehormatan yang dianugrahkan oleh raja Mesir sewaktu beliau diangkat menjadi ketua pengadilan di Mesir.
Berbagai macam disiplin ilmu agama telah beliau pelajari seperti ilmu bahasa Arab, Fiqih madzhab Maliki, ilmu tafsir dan hadist, bahkan ilmu yang ada di perguruan tinggi juga beliau capai seperti filsafat, fisika dan matematika dsb.
2.    Pemikiran Ibnu Khaldun Tentang Pendidikan Islam
a.    Falsafah Pendidikan Islam
Pendidikan menurut Ibnu Khaldun intinya bukanlah suatu aktivitas yang semata-mata bersifat pemikiran dan perenungan yang jauh dari aspek-aspek pragmatis dalam kehidupan labih jelasnya pendidikan bukan harus dibatasi dalam hal belajar mengajar melainkan suatu proses dimana manusia secara sadar menangkap, menyerap, dan menghayati peristiwa-peristiwa alam sepanjang zaman.
b.    Tujuan Pendidikan Islam
Tujuan pendidikan islam menurut Ibnu Khaldun adalah meliputi lima hal:
1)      Menyiapkan seseorang dari segi keagamaan.
2)      Menyiapkan seseorang dari segi akhlak
3)      Menyiapkan seseorang dari segi kemasyarakatan dan sosial
4)      Menyiapkan seseorang dari segi pekerjaan
5)      Menyiapkan seseorang dari segi pemikiran dan kesenian supaya bisa berkreasi
Jadi, tujuan pendidikan bukan hanya untuk mencapai ilmu pengetahaun saja, namun lebih jauh dari pada itu semua yaitu seseorang harus mengamalkannya dalam akhlak sehari-hari serta memiliki kemampuan untuk bisa berkreasi dan bekerja demi kehidupannya.
c.     Metode Pengajaran
Metode pengajaran yang ditawarkan oleh Ibnu Khaldun melalui tiga langkah pokok:
1)      Didalam memberikan pengetahuan kepada anak didik, pendidik hendaknya memberikan pengetahuan dan problem secara umumnya saja secara menyeluruh.
2)      Anak didik ikut interaktif dalam pemecahan masalah dan pengetahuan yang bersifat umum tadi dengan bantuan pendidik.
3)      Pendidik menyampaikan pengetahuan secara detial dan lebih terperinci serta menyeluruh agar anak didik mendapat pengetahuan yang lebih sempurnah.Maka dari keterangan itulah, Ibnu khaldun menawarkan metode yang bersifat diskusi, dimana dalam penyampaian pembelajaran, pendidik bukanlah satu-satunya orang yang berperan aktif namun anak didik juga diikut sertakan dalam proses pembelajaran dan pemecahan masalahnya.
d.      Kurikulum
Kurikulum pada menurut Ibnu Khaldun adalah mencakup 4 hal diantaranya harus sesuai dengan tujuan pendidikan yang diinginkan, bertumpu pada ilmu pengetahuan, makhlumat-maklumat (pembelajaran melalui kitab-kitab tradisional) serta memberikan tambahan berupa kegiatan-kegiatan penunjang. Yang terpenting menurut beliau adalah kurikulum dasar yakni berupa kurikulum campuran yang harus dipegang bagi anak-anak pada umumnya, yaitu pengkombinasian pembelajaran al Qur’an dan bahasa Arab dengan kaidah-kaidah dasar ilmu pengetahuan

B.      PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM TOKOH KONTEMPORER
I.        KONSEP PENDIDIKAN SYED NAQUIB AL-ATTAS
1.       Riwayat Hidup
Beliau adalah ilmuan Malaysia yang lahir di Bogor, Jawa Barat pada 5 September 1931. Pada usia lima tahun ia pindah ke Malaysia, tapi pada masa pendudukan Jepang ia kembali ke Jawa Barat dan belajar agama serta bahasa Arab di pesantren al-Urwah al-Wusqa di Sukabumi. Tahun 1946 ia kembali ke Malaysia dan hidup bersama keluarga Tengku Abdul Aziz yang saat itu menjabat sebagai Menteri Besar Johor.
Pendidikan formalnya dimulai di English College Johor, kemudian The Royal Militery Academy Sandhurst Inggris (selesai tahun 1955). Univesitas Malaya, Malaysia kajian ilmu-ilmu sosial (1057-1959). MA dari McGill University Kanada di bidang teologi dan metafisika. Ph.D di The School of Oriental and Afican Studies Universitas London Inggris (1966) dengan disertasi “The Misticism of Hamzah Fansuri).
2.       Pemikiran Naquib al-Attas
a.        Islamisasi Ilmu
Menurutnya, islamisasi ilmu berarti pembebasan ilmu dari penafsiran-penafsiran yang didasarkan pada ideologi sekuler dan dari makna-makna serta ungkapan manusia sekuler. Gagasan ini muncul karena tidak adanya landasan pengetahuan yang bersifat netral, sehingga ilmupun tidak dapat bebas nilai. Pengetahuan dan ilmu yang tersebar ke tengah masyarakat dunia—termasuk dunia Islam telah diwarnai oleh corak budaya dan peradaban Barat. Sementara peradaban sendiri telah melahirkan kebingungan, kehilangan hahekat, menyebabkan kekacauan hidup manusia, kehilangan kedamaian dan keadilan. Pengetahuan Barat didasarkan pada skeptisme lalu diilmiahkan dalam metodologi.
Naquib al-Attas membagi ilmu menjadi dua bagian:
·         Ilmu-Ilmu Agama; 1. Al-Quran; qiraat, tafsir dan takwil, 2. Hadits; sirah nabawi, sejarah dan pesan-pesan para rasul sebelumnya dan periwayatan otoritatif, 3. Syariah; hukum-hukum, prinsip-prinsip dan praktek-praktek Islam, 4. Teologi; tauhid (tentang Tuhan, wujudNya sifatNya, asma-asmaNya, dan perbuatan-perbuatanNya), 5. Metafisika Islam (tasawuf), psikologi, kosmologi, dan ontology, 6. Ilmu-ilmu linguistik; tata bahasa, leksikografi, dan kesusasteraan
·         Ilmu-ilmu Rasional; 1. Ilmu-ilmu kemanusiaan, 2. Ilmu-ilmu alamiah, 3. Ilmu-imu terapan, 4. Ilmu-ilmu teknologi,
Ide Islamisasi mengarah pada ilmu-ilmu kelompok kedua. Hal ini dikarenakan ilmu-ilmu rasional, intelektual dan filosofi dengan segenap cabangnya mesti dibersihkan dari unsur-unsur dan konsep-konsep kunci—yaitu Islam. Islamisasi ilmu adalah suatu proses eliminasi unsur-unsur dan unsur pokok yang membentuk kebudayaan Barat dan ilmu-ilmu yang dikembangkan; kemudian memasukkan unsur-unsur dan konsep-konsep Islam.
Istilah-istilah Islam merupakan pemersatu ummat muslm sedunia, karena tidak dapat diterjemahkan secara memuaskan dalam bahasa manapun. Sehingga ia tetap seperti itu dengan merujuk pemahaman seperti bahasa aslinya. Kata “Allah” ukan buatan manusia. Jadi tidak cukup diterjemahkan dengan “God” atau “Tuhan” dengan “T” besar ala Nurchalish Madjid.
b.                  Sekularisasi
Istilah sekuler berasal dari kata latin “saeculum” yang bermakna dua konotasi waktu dan lokasi; waktu menunjuk kepada pengertian ‘sekarang’ atau ‘kini’ dan lokasi menunjuk pada pengertian ‘dunia’ atau ‘duniawi’. Jadi saeculum berarti ‘zaman ini’ atau ‘masa kini’ yang menunjukkan pada peristiwa-peristiwa dunia ini. Sekularisasi berarti pembebasan manusia, pertama-tama dari agama dan kemudian dari metafisika yang mengatur nalar dan bahasanya.



II.    KONSEP PENDIDIKAN HASYIM ASY’ARI
1.    Biografi Singkat Hasyim Asy’ari
Hasyim Asy’ari dilahirkan di Desa Nggedang Jombang Jawa Timur, tepatnya pada tanggal 24 Dzulhijjah 1287 H bertepatan tanggal 14 februari 1871 M.
Beliau belajar agama dimulai dari ayahnya sendiri yaitu Kyai Asy’ari dan kakeknya yaitu Kyai Utsman. Kemudian beliau merantau keberbagai macam pondok pesantren di Indonesia, diantaranya Langitan Tuban, Wonokoyo Probolinggo, trenggilis Semarang Bangkalan Madura, Siwalan panji kabupaten Sidoarjo.
Beliau juga berguru ke Makkkah tentang ilmu hadist dan bahasa Arab kepada Syeh Ahmad Khattib dan Syeh Mahfud Attarmisi sekitar sembilan tahun. Kemudian kembali ke tanah air dengan mendirikan pondok pesantren Tebuireng Jombang pada tahun 1899 M.
2.    Pemikiran Hasyim Asy’ari Tentang Pendidikan Islam
a.    Falsafah Pendidikan Islam
Pendidikan Islam intinya adalah niat dan amal serta yang lebih penting adalah harus didasari oleh etika dalam pendidikan. Pemikiran seperti itu diilhami oleh imam Ghoyali dimana beliau lebih menekankan hati demi lancarnya proses belajar mengajar. Sehingga dalam hal ini Hasyim Asy’ari juga menekankan bahwa dalam belajar hati harus ditata untuk mencapai ridhonya Allah SWT.
b.    Tujuan Pendidikan Islam
Tujuan pendidikan haruslah berorientasi pada pengamalan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dengan tidak mengesampingkan kebahagiaan dunia dan akhirat. Lebih penting pula bahwa peserta didik harus memiliki etika dalam proses belajar mengajar baik terhadap guru, teman maupun kitab yang dipelajari. Jadi selain mengamalkannya, peserta didik harus memiliki akhlak yang baik.
c.     Metode Pengajaran
Ada dua gagasan besar yang dicetuskan oleh Hasyim Asy’ari dalam segi metode pembelajaran di pesantren yang beliau didirkan, diantaranya:
a)      Metode Musyawarah atau Diskusi. Metode ini meskipun buhan hal baru nampaknya, namun bagi beliau ini merupakan gagasan yang cukup fenomenal mengingat selama ini metode pembelajaran pendidikan dilakukan melalui metode ceramah saja, jadi metode mausyawarah dan diskusi yang ditawarkan beliau merupakan metode baru yang praktis untuk menunjang kreatifitas dan kritisitas peserta didik.
b)      Sistem Madrasah. Sistem madrasah dilakukan di dalam kelas, hal ini menafikan sistem pendidikan sebelumnya yang menggunakan Musholla ataupun Masjid sebagai lahan utama terbentuknya pembelajaran. Hal ini beliau lakukan guna memformalkan pendidikan Islam yang  akan diterima oleh peserta didik.
d.    Kurikulum
Meskipun tidak dengan jelas disebutkan bagaimana kurikulum yang ditawarkan oleh Hasyim Asy’ari, namun kurikulumnya nampak pada praktek dilapangan selama ini. Kurikulum pendidikan Islam versi beliau meliputi beberapa hal, diantaranya pelajaran yang bisa memberikan perbaikan hati (batin) sehingga peserta didik dapat mudah menerima pelajaran serta dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT. Yang kedua, yakni pembelajaran yang mengarahkan pada terbentuknya akhlakul karimah, terutama dalam proses belajar mengajar.

III.      KONSEP PENDIDIKAN MOHAMMAD ARKOUN
1.       Biografi Mohammad Arkoun
Mohammed Arkoun lahir pada tanggal 1 Pebruari 1928 di Mourirt Kabilia, Aljazair. Kabilia merupakan daerah pegunungan berpenduduk Berber, terletak di sebelah Timur Aljir. Bahasa yang digunakan adalah non-Arab (‘ajamiyah).Setelah tamat sekolah dasar, Arkoun melanjutkan ke sekolah menengah di kota pelabuhan Oran, kota utama Aljazair bagian Barat sejak 1950-954 ia belajar bahasa dan sastra Arab. Tahun 1962 ia menjadi mahasiswa di Paris. Tahun 1961 ia diangkat menjadi dosen di universitas Sorbonne Paris. I meraih gelar doktor sastra pada 1969. Sejak 1970-1972 Arkoun mengajar di Universitas Lyon. Kemudian ia kembali sebagai guru besar dalam bidang sejarah pemikiran Islam.
2.       Pemikiran Arkoun
Pemikiran Arkoun sangat kentara dipengaruhi oleh gerakan (post strukturalis) Perancis. Metode historisisme yang dipakainya adalah formulasi ilmu-ilmu sosial Barat modern ciptaan para pembaharu (post) strukturalis Perancis. Arkoun banyak meminjam konsep-konsep (post) strukturalisme untuk kemudian diterapkannya ke dalam wilayah kajian Islam. Konsep-konsep seperti korpus, epistema, wacana dekonstruksi, mitos, logosentrisme, yang ter, tak dan diperkirakan dan lain-lain adalah bukti bahwa Arkoun memang dimatangkan dalam kancah pergulatan dengan (post) strukturalisme.
Metode historisisme adalah metode rekonstruksi makna melalui cara penghapusan relevansi antara teks dengan konteks. Melalui metode ini, teks-teks klasik didekonstruksi menuju rekonstruksi (konteks). Bila metode ini diterapakan dalam wilayah agama, apa yang diburu oleh Arkoun adalah makna-makna baru yang secara potensial bersemayam dalam teks-teks tersebut. Arkoun juga membedakan dua tradisi. (1)Tradisi dengan T besar yang berarti tradisi transendental, abadi, tak berubah. (2)Tradisi dengan t kecil yang adalah produk sejarah, budaya manusia, baik ayng merupakan warisan turun-temurun maupun hasil penafsiran atas wahyu Tuhan lewat teks-teks suci. Bagi Arkoun, hanya tradisi kedualah yang dapat diuji lewat kritisi dan karenanya ia mengabaikan tradisi yang pertama.

IV.      STUDI KOMPARATIF PEMIKIRAN BEBERAPA TOKOH ISLAM TERHADAP PENDIDIKAN ISLAM
Kajian ini dimaksudkan guna menemukan persamaan dan perbedaan pemikiran ketiga tokoh di atas dalam hal pendidikan Islam dengan cara menganalisa melalui studi komparatif atau pembandingan pemikirannya.
1.       Falsafah Pendidikan Islam
Falsafah pendidikan menurut ketiga tokoh diatas memiliki persamaan dan perbedaan satu sama lainnya, seperti yang diungkapkan oleh Ibnu Taimiyah beliau lebih mengedepankan pendidikan Islam itu orientasinya kepada hubungan baik kepada Allah serta masyarakat sekitarnya. Hal senada juga didukung pendapatnya Hasyim Asy’ari dimana pendidikan Islam harus berorientasi pada tercapainya Ridhonya Allah SWT.
Namun berbeda dengan apa yang diungkapkan oleh Ibnu Kaldun mengenai falsafah pendidikan Islam itu sendiri, dimana beliau menganggap bahwasanya pendidikan itu tidak hanya akan diperoleh oleh peserta didik didalam kelas namun lebih jauh dari pada itu mereka akan dibentuk oleh kondisi masyarakat pada saat itu. Jadi baik tidaknya anak didik tergantung lingkungan disekitarnya.
2.       Tujuan Pendidikan Islam
Mengenai tujuan yang hendak dicapai dalam pendidikan Islam, nampaknya ketiga tokoh tersebut boleh dikatakan sama pendapatnya atau sepakat. Dimana tujuan pendidikan Islam harus mampu membentuk pribadi yang lebih baik, baik hubungan dengan Allah maupun dengan sesamanya, dengan tidak melupakan kewajibannya mencari kebahagiaan dunia dengan cara harus dibekali dengan ilmu-ilmu dunia atau keahlian-keahlian yang bisa dibuat untuk bekal hidup didunia. Jadi semua  sepakat bahwasanya orientasi dan tujuan pendidikan Islam tidak hanya dikhususnya untuk memikirkan akhirat saja, melainkan juga menyiapkan pribadi yang bisa bekerja dan berinteraksi dalam masyarakat
3.       Metode Pengajaran
Masalah metode pengajaran, sebenarnya banyak persamaan satu sama lainya. Seperti halnya pemikiran Ibnu Khaldun dan Hasyim Asy’ari yang lebih menekankan metode pembelajarannya pada sistem diskusi, dimana murid diberi kesempatan seluas-luasnya untuk mendiskusikan permaslahan yang ada, dengan demikian diharapkan peserta didik terlatih secara langsung baik pemikiran maupun pengetahuannya.
Berbeda dengan Ibnu Taimiyah, beliau lebih menekankan pembentukan hati yang bersih untuk mencapai pembelajaran yang baik dan benar, dengan cara berfikir dan mengamalkannya. Sebenarnya apa yang disampaikan oleh Ibnu Taimiyah ini juga didukung oleh Hasyim Asy’ari, dimana hati adalah pusat segalanya termasuk dalam proses belajar mengajar. Hati yang bersih akan lebih mudah mendapatkan ilmu serta dapat memanfaatkannya dengan baik dari pada mereka yang hatinya kotor karena maksiat kepada Allah SWT.
4.       Kurikulum
Berkenaan dengan kurikulum, Ibnu Taimiyah maupun Hasyim Asy’ari menekankan adanya kurikulum yang mampu mendekatkan diri kepada Allah, maka jalan satu satunya jalan untuk memudahkan langkah tersebut adalah hati. Hati merupakan senjata utama bagi peserta didik untuk mencapai ilmu yang bermanfaat yang sebagaimana diinginkan didalam tujuan itu sendiri.
Berbeda dengan Ibnu Khaldun, selain menekankan kurikulum yang bisa membawa peserta didik untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, beliau juga memasukkan kegiatan-kegitan non ilmu teoritik, dengan kata lain, beliau berusaha menggabungkan teori dan praktek dalam kurikulumnya sehingga terjadi keseimbangan antara teori pengetahuan dalam beragama dengan keilmuan praktek untuk memeprsiapkan kehidupan di dunia.
Masalah praktek atau kegiatan-kegiatan non teoritik sebenarnya juga menjadi bahasan oleh Ibnu Taimiyah dan Hasim asy’ari, namun hanya sebatas ekstrakulikuler atau tambahan saja, bukan masuk pada kurikulum pokok.

Referensi :
Nata Abudin, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, PT. Grafindo Persada, Jakarta, 2000.
Suwito, Sejarah Sosial Pendidikan Islam, Kencana, Jakarta, 2005.
Yunus Muhammad, Sejarah Pendidikan Islam Di Indonesia, Hadi Karya Agung, Jakarta 1985.




Tidak ada komentar: