Kamis, 18 April 2013

Siswa 'NAKAL'? Benarkah?



Siswa 'NAKAL'? Benarkah?
Yusuf Hasyim Addakhil

Profesi  GURU merupakan pekerjaan yang mulia, karena mampu membangkitkan kehendak, perasaan, dan pikiran seseorang dari yang biasa-biasa menjadi luar biasa, dari yang tidak tahu apa-apa menjadi pandai segala-galanya. Banyak juga yang merasakan profesi  guru tidaklah mudah dan penuh dengan masalah, karena profesi ini akan berhadapan dengan manusia yang notabenenya punya keinginan, potensi, kemampuan, dan kemauan yang berbeda-beda. Kita sering melihat dan mendengar keluh kesah dan kegelisahan seorang guru, di saat mereka masuk kelas harus mengeluarkan energy besar bukan karena beban materi pelajaran yang harus diajarkan, tetapi karena direpotkan oleh siswa didiknya yang dipandang “NAKAL”. 

Parameter “NAKAL” seringkali masih diukur dengan kedisplinan terhadap peraturan dan kemampuan kognitif saja, padahal banyak anak yang dikategorikan “NAKAL” memiliki kemampuan IQ yang tidak rendah dan kemampuan psikomotorik otak kanan. Potensi inilah yang seringkali terabaikan oleh para pendidik, bahwa setiap anak tentu memiliki “fitrah” potensi yang telah dibekali sejak lahir. Imam Al Ghazali di dalam kitab ‘ikhya’ulumuddin” memberikan gambaran jelas bahwa manusia memiliki 4 potensi yang bias dikembangkan yakni ; akal (Al ‘Aqlu), hati (Al qalb), ruh (Arruh), dan nafsu/jiwa (An-Nafs).
Kalau kita lihat dari perspektif Al Ghazali ini, maka pendidikan di Indonesia masih cenderung berorientasi pada aspek akal/kognitif an sich. Sehingga pola pendidikan yang dikembangkan cenderung bersifat formalistic. Hal ini bisa kita lihat dari berbagai kebijakan pendidikan, diantaranya tentang evaluasi dan system penilaian pendidikan melalui parameter Ujian Nasional yang dibatasi hanya mata pelajaran-pelajaran tertentu sebagai penentu akhir, sementara proses pendidikan yang telah berjalan pada tahun-tahun sebelumnya pun diukur dengan aspek kognitif.
Paradigma ini menjadi acuan lembaga pendidikan baik secara konseptual yang terimplementasikan melalui kurikulum pendidikan maupun secara operasional melalui kebijakan-kebijakan. Wajarlah kalau model pendidikan yang dipakai guru masih cenderung berorientasi pada pendidikan dengan akal ketimbang dengan hati nurani, pembelajaran masih berorientasi pada penyelesaian materi ketimbang pembentukan pribadi (Character Building) siswa. Sebenarnya pemerintah telah mengeluarkan kebijakan pendidikan karakter untuk masuk dalam kurikulum pendidikan, namun kebijakan ini belum diimplementasikan kedalam system pendidikan Nasional, apalagi menjadi Mode of Thougt” para pendidik dalam melaksanakan pembelejaran. Maka wajar, jika pendidikan dikritik banyak ahli baru sekedar menghasilkan orang-orang yang pintar tapi gak benar, orang cerdas tapi berhati keras, orang-orang mapan tapi gak sopan, orang-orang yang creator tapi koruptor. Mari..mendidiklah dengan akal dan hati nurani. (Yusuf Hasyim Addakhil 26/4/12)

Tidak ada komentar: