Kamis, 26 April 2012

KEBIJAKAN OTONOMI DAERAH DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PENDIDIKAN MADRASAH

KEBIJAKAN OTONOMI DAERAH DAN
IMPLIKASINYA TERHADAP PENDIDIKAN MADRASAH
Oleh : Yusuf Hasyim, S.Ag*

(Artikel ini telah dimuat dalam Jurnal Pendidikan Agama Islam Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Vol V, No.1.2008 )
A. Abstrak
Di Era Otonomi Daerah, madrasah tidak mengalami otonomi seperti halnya sekolah-sekolah di bawah Departemen Pendidikan Nasional. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan bahwa salah satu urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah untuk Kabupaten/kota merupakan urusan yang berskala Kabupaten/kota adalah penyelenggaraan pendidikan. Padahal secara struktural madrasah sebagai sekolah yang bercirikan khas agama Islam berada di bawah naungan Departemen Agama yang notabenenya tidak termasuk urusan yang diotonomkan ke daerah.
Meskipun pengelolaan madrasah tetap berada di bawah naungan Depag, tetapi diterapkan kebijakan baru. Kalau dulu madrasah murni dikelola oleh Depag pusat, tetapi sekarang diberlakukan kebijakan "dekonsentrasi" artinya, kewenangan-kewenangan penyelenggaraan madrasah yang semula dipegang sepenuhnya oleh pemerintah pusat maka sebagian dapat diturunkan ke daerah. Ini terutama menyangkut masalah-masalah teknis di lapangan yang berkaitan dengan sumber anggaran melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).



Namun demikian, tidak semua daerah menterjemahkan sama dalam mengimplementasikan kebijakan tersebut. Di beberapa daerah masih banyak kebijakan yang belum memperhatikan eksistensi madrasah, baik dalam hal pembinaan kelembagaan, ketenagaan, anggaran, maupun sarana dan prasarana. Tulisan ini mencoba menganalisis sejauhmana implikasi kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi pendidikan terhadap madrasah, dan mencari alternatif-alternatifnya.
Kata kunci : Otonomi Daerah, Kebijakan pendidikan, Madrasah

B. Eksistensi Madrasah dalam Sistem Pendidikan Nasional
Eksistensi madrasah tidak bisa dipisahkan dari kesadaran masyarakat muslim akan pentingnya pendidikan, dari mulai isiniatif pendiriannya, tanah dan bangunan, fasilitas dan tenaga guru, semuanya dilakukan oleh masyarakat secara swadaya baik oleh organisasi-organisasi sosial keagamaan maupun yayasan-yayasan pendidikan Islam. Madrasah merupakan lembaga pendidikan yang lahir dari dan untuk masyarakat, maka madrasah tidak dapat digantikan dengan lembaga pendidikan lainnya karena madrasah mempunyai visi, misi, dan karakteristik yang sangat khas di dalam masyarakat dan bangsa Indonesia.
Secara historis, perkembangan madrasah tidak bisa terlepas dari dinamika sejarah pendidikan Islam di Indonesia. Lahirnya madrasah merupakan akumulasi antara tuntutan zaman (modernisasi) dan ideology keagamaan (tradisionalisme). Secara epistimologi, tradisi keilmuan madrasah mengacu pada dua basis keilmuan, Pertama, tradisi keilmuan pesantren yang lebih bersifat tradisional dan konservatif serta penuh dengan nilai-nilai agama yang sacral. Kedua, tradisi keilmuan modern yang penuh dengan muatan ilmu pengetahuan dan teknologi non agama.
Madrasah dibentuk dan tumbuh di masyarakat sejak puluhan tahun lalu. Lembaga pendidikan itu mengalami pertumbuhan yang cukup pesat. Jumlah madrasah secara nasional sampai tahun 2001 telah mencapai 36.105 buah, terdiri atas madrasah ibtidaiyah/MI (setingkat SD) 22.035 buah, madrasah tsanawiyah/MTs (setingkat SLTP) 10.365 buah, dan madrasah aliyah/MA (setingkat SMU) 3.705 buah. Dari aspek partisipasi, madrasah menempati sekitar 15 persen dari populasi anak sekolah di Indonesia. Dengan demikian, madrasah berperan signifikan dalam dunia pendidikan di Indonesia. Di samping itu, eksistensi madrasah pada umumnya merupakan lembaga swasta, yaitu 95 persen atau 34.300 madrasah.
Dalam konteks nasional, pendidikan Islam merupakan sub-sistem dari pendidikan nasional. Sebagai sistem, pendidikan Islam hanya berlaku di pondok-pondok pesantren dan lembaga pendidikan Islam lainnya yang sepenuhnya berlandaskan ajaran Islam. Dengan dikeluarkannya Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional maka pendidikan Islam tersebut menjadi salah satu bentuk pendidikan luar sekolah yang juga harus berorientasi pada pendidikan nasional.
Integrasi madrasah ke dalam sistem pendidikan nasional dengan demikian bukan merupakan integrasi dalam arti pe¬nyelenggaraan dan pengelolaan madrasah oleh Departemen Pendidikan Nasional, tetapi lebih pada pengakuan yang lebih mantap bahwa madrasah adalah bagian dari sistem pendidikan nasional walaupun pengelolaannya dilimpahkan pada Departemen Agama.
Undang-Undang Pendidikan Nasional No.2 Tahun 1989 telah memperkuat posisi madrasah terhadap sekolah, namun disisi lain dianggap memperlemah posisi madrasah sebagai lembaga pendidikan agama yang fokus utamanya agama dan pengetahuan umum sebagai tambahan. Posisi ini diperkuat pada era Otonomi Daerah melalui UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang secara de jure juga mengakui eksistensi madrasah sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional. Dalam Bab VI tentang jalur, jenjang, dan jenis pendidikan pada pasal 17, 18 tentang pendidikan dasar dan menengah dijelaskan bahwa
Pasal 17 :
(1) Pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah.
(2) Pendidikan dasar berbentuk sekolah dasar (SD) dan madrasah ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta sekolah menengah pertama (SMP) dan madrasah tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang sederajat.
(3) Ketentuan mengenai pendidikan dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Pasal 18 :
(1) Pendidikan menengah merupakan lanjutan pendidikan dasar.
(2) Pendidikan menengah terdiri atas pendidikan menengah umum dan pendidikan menengah kejuruan.
(3) Pendidikan menengah berbentuk sekolah menengah atas (SMA), madrasah aliyah (MA), sekolah menengah kejuruan (SMK), dan madrasah aliyah kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat.
(4) Ketentuan mengenai pendidikan menengah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Secara de jure, persoalan madrasah sebagai sekolah umum yang berciri khas Islam sudah terselesaikan sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional yang diakui sama dengan sekolah. Namun secara de facto madrasah yang berada di bawah naungan Departemen Agama sebagian besar berlokasi di pedesaan. Mayoritas siswanya juga dari kalangan keluarga kurang mampu. Karena itu, madrasah mengalami sejumlah kendala yang cukup berat dalam menjalankan proses pembelajaran, seperti sarana dan prasarana yang minim, kurangnya buku-buku dan fasilitas penunjang pembelajaran lainnya, serta kurangnya tenaga guru baik secara kualitatif maupun kuantitatif.
Eksistensi madrasah selama ini dilihat dari analisis edukatif variabel mutu pendidikan, bahwa biaya dari pemerintah bukan satu-satunya faktor penentu untuk memajukan lembaga pendidikan madrasah. Yang paling penting adalah variabel sumber daya manusia (SDM) dan dukungan masyarakat di sekitarnya. Selama ini madrasah bersifat bottom up atau lahir dan dikembangkan oleh masyarakat (umat Islam), sedangkan sekolah umum lebih bersikap top down atau merupakan program dari pemerintah pusat. Karena madrasah berkembang dari bawah, sehingga risikonya madrasah tidak mendapat dukungan dana yang kuat dari pemerintah. Kalaupun ada dana, nilainya jauh lebih kecil dari sekolah-sekolah umum.
C. Problematika Pendidikan Madrasah
Philip H. Coombs dalam bukunya “What is Educational Planning?”, paling tidak ada 4 tahapan permasalahan yang dilewati dunia pendidikan, yaitu ; 1) Tahap rekonstruksi, pendidikan dihadapkan pada permasalahan pengkondisian otoritas pendidikan, desentralisasi pendidikan, serta perencanaan fasilitas pendidikan 2) Tahap Ketenagakerjaan/Penyiapan SDM, pendidikan dihadapkan pada penyiapan tenaga kerja yang terampil dan cakap (tenaga ahli), 3) Tahap Perluasan/Pengembangan pendidikan meliputi pengembangan kurikulum, metode, pengujian, demokrasi pendidikan, serta adaptasi sistem pendidikan dan ekonomi, 4) Tahap Inovasi, berhubungan dengan perencanaan pendidikan dan strategi-strategi pengembangan.
Kalau kita analisis dari permasalahan yang dihadapi madrasah, ada beberapa problem yang sampai sekarang masih menjadi masalah pelik, khususnya madrasah swasta, antara lain :
1. Problem Manajemen
Lemahnya manajemen penyelenggaraan pendidikan berkaitan erat dengan kemampuan managerial para penyelenggara pendidikan yang masih dipengaruhi oleh sumber daya manusia yang terbatas dan pengaruh budaya pedesaan yang cenderung mengacu pada pola management “alon-alon asal kelakon”. Dalam pengamatan penulis, ada beberapa problem manajerial yang dihadapi madrasah :
Pertama, Bidang Sumber Daya Manusia/ tenaga Kependidikan. Masalah yang dihadapi adalah masih adanya tenaga pendidik atau guru yang mengajar kurang sesuai dengan kompetensi yang dimilikinya (miss-match and underqualified), disamping itu masih banyak pula guru-guru swasta yang mempunyai peran ganda sebagai pengajar di lembaga pendidikan lain, sehingga kurang bisa berperan secara maksimal. Kondisi tenaga kependidikan –terutama profesionalisme guru- masih perlu mendapat perhatian serius karena hal ini juga akan berpengaruh terhadap out put pendidikan yang dihasilkan. Menurut hasil penelitian dari Departemen Agama RI, bahwa semakin nampak persoalan yang dihadapi madrasah adalah guru yang Miss-match dan underqualified. 21,7 % dari total guru yang mengajar berstatus PNS, dan 78,3 % adalah non-PNS., 66,5 % memiliki spesialisasi pendidikan agama dan hanya 33,5 % yang memiliki spesialisasi pendidikan umum. Misalnya guru Biologi dapat mengajar Kimia atau Fisika, ataupun guru IPS dapat mengajar Bahasa Indonesia, bahkan guru PAI mengajar Bahasa Inggris. Banyak diantaranya yang tidak berkualitas dalam menyampaikan materi sehingga mereka kurang mampu menyajikan dan menyelenggarakan pendidikan yang benar-benar berkualitas. Diantara faktor yang menyebabkan kurangnya profesionalisme guru, sehingga pemerintah berupaya agar guru yang tampil di abad pengetahuan adalah guru yang benar-benar professional yang mampu mengantisipasi tantangan dalam dunia pendidikan.
Kedua, Bidang Kurikulum, permasalahan klasik yang dihadapi pada umumnya adalah ketidakmapanan kurikulum pendidikan. Pergantian kurikulum yang terlalu cepat dan kebelumsiapan tenaga-tenaga kependidikan menjadi faktor penyebab ketidakjelasan arah dan target kurikulum. Disisi lain perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi menuntut relevansi kurikulum pendidikan dengan dunia kerja. Out put yang dihasilkan pendidikan dipertanyakan, apalagi jika dihadapkan pada permasalahan IPTEK.
Ketiga, Bidang Sarana dan Prasarana, keterbatasan finansial merupakan kendala utama bagi upaya pengembangan pendidikan. Terutama adalah berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan sarana dan prasarana pendidikan, baik fisik maupun non-fisik. Seperti terbatasnya fasilitas belajar mengajar, buku-buku teks, alat peraga, ruang praktikum, dsb. Apalagi kalau kita melihat alokasi anggaran pendidikan di Indonesia masih jauh dari amanat Undang-Undang yakni 20 % dari APBN. Lebih tragis lagi kalau kita melihat anggaran pendidikan untuk madrasah yang hanya berasal dari anggaran keagamaan, berbeda dengan sekolah umum di bawah naungan Departemen Pendidikan Nasional, bagaimana mungkin mencukupi kebutuhan-kebutuhan penunjang pendidikan, sementara untuk kelangsungan penyelenggaraan pendidikan saja masih ditopang oleh bantuan masyarakat, walaupun sekarang ada Bantuan Operasional Siswa (BOS) yang hanya cukup untuk membiayai operasional pendidikan. Keempat, masalah Networking / pengembangan jaringan Sementara ini jaringan yang dikembangkan madrasah kebanyakan masih terbatas pada pelibatan peran masyarakat dalam skala lokal, misalnya yayasan dan wali murid, tetapi masih banyak madrasah yang mencoba membuat networking dengan perusahaan atau lembaga-lembaga ekonomi produktif melalui kerjasama investasi, program, pelatihan dan sebagainya.
2. Problem Konseptual-Teoritis dan Operasional-Praktis
Perjalanan pendidikan Islam di Indonesia senantiasa dihadapkan pada persoalan yang komplek, mulai dari konseptual-teoritis sampai dengan operasional-praktis. Hal ini dapat dilihat dari ketertinggalan pendidikan Islam dibandingkan dengan pendidikan umum, sehingga terkesan pendidikan Islam sebagai pendidikan "kelas dua".
Azyumardi Azra mencatat beberapa fenomena yang menyebabkan pendidikan Islam selalu dalam posisi tersingkirkan, antara lain :
Pertama, pendidikan Islam sering terlambat merumuskan diri untuk merespon perubahan dan kecenderungan perkembangan masyarakat, sekarang dan masa datang. Kedua, sistem pendidikan Islam kebanyakan masih cenderung mengorientasikan diri pada bidang-bidang humaniora dan ilmu-ilmu sosial ketimbang ilmu-ilmu eksakta semacam fisika, kimia, biologi, dan matematika modern. Ketiga, usaha pembaharuan dan peningkatan sistem pendidikan Islam sering bersifat sepotong-sepotong atau tidak komprehensif dan menyeluruh, yang hanya dilakukan sekenanya atau seingatnya sehingga tidak terjadi perubahan secara esensial didalamnya. Keempat, sistem pendidikan Islam tetap lebih cenderung berorientasi ke masa silam ketimbang berorientasi ke masa depan, atau kurang bersifat futurei-oriented. Kelima, sebagian besar sistem pendidikan Islam belum dikelola secara professional baik dalam perencanaan, penyiapan tenaga pengajar, kurikulum, maupun pelaksanaan pendidikannya, sehingga kalah bersaing dengan lainnya.

Sedangkan Abdurrahman Mas'ud, menyoroti kelemahan pendidikan Islam secara umum adalah :
(1) dunia pendidikan Islam kini terjangkiti penyakit simtom dikotomik, dan masalah spirit of inquiry. (2) kurang berkembangnya konsep humanisme religius dalam dunia pendidikan Islam, yakni adanya tendensi pendidikan Islam yang lebih berorientasipada konsep "Abdullah" daripada "khalifatullah" dan "hablun minallah" daripada "hablun minannas", (3) adanya orientasi pendidikan yang timpang, sehingga melahirkan masalah-masalah besar dalam dunia pendidikan Islam, dari persoalan filosofis sampai ke metodologis, bahkan sampai ke the tradition of learning.

3. Problem Kebijakan dan Politik Pendidikan
Dalam konteks kebijakan pendidikan di Indonesia, madrasah sebagai salah satu lembaga pendidikan Islam yang telah diakui secara konstitusional memiliki peranan yang sangat strategis dalam melaksanakan cita-cita pendidikan nasional. Menurut pandangan HAR Tilaar, hal ini disebabkan antara lain : Pertama, pendidikan di madrasah yang sementara ini seakan-akan tersisih dari mainstream pendidikan nasional namun berkenaan dengan pendidikan anak bangsa. Kedua, madrasah sebagai pendatang baru dalam system pendidikan nasional relative menghadapi berbagai masalah dan kendala di dalam hal mutu, manajemen, termasuk masalah kurikulumnya. Namun demikian madrasah mempunyai potensi atau nilai-nilai positif karena madrasah sarat akan nilai-nilai budaya bangsa.
Dalam pandangan H.A.R. Tilaar, hal ini disebabkan karena Politik pendidikan kolonial yang menimbulkan dampak serius bagi pendidikan Islam termasuk madrasah dalam menghadapi arus modernisasi. Dampak tersebut antara lain :
1. termarginalisasi dari arus modernisasi dan cenderung kepada sifat ketertutupan dan ortodoksi.
2. karena sikap yang diskriminatif dari pemerintah kolonial maka pendidikan Islam terdorong menjadi milik rakyat pinggiran/pedesaan.
3. isi pendidikan Islam cenderung berorientasi pada praktek-praktek ritual keagamaan dan kurang memperhatikan ilmu pengetahuan dan teknologi.
4. mengalami berbagai kelemahan manajemen.

Sebagai lembaga pendidikan yang berciri khas Islam, madrasah merupakan salah satu wujud dari pelaksanaan otonomi pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah dan masyarakat sehingga memiliki peranan yang sangat strategis dalam upaya peningkatan Sumber Daya Manusia Indonesia. Menurut catatan Departemen Agama (2007) sebagaimana dikutip oleh Ki Supriyoko, jumlah MI sebesar 23.517 lembaga, 93 persen diantaranya swasta; MTs sebesar 12.054 lembaga, 90 persen diantaranya swasta; serta sedangkan MA sebesar 4.687 lembaga, 86 persen diantaranya swasta. Dari angka-angka ini diinterpretasi bahwa eksistensi madrasah di Indonesia sangatlah menentukan “merah-putihnya” pendidikan nasional.
Menguatnya aspirasi bagi otonomisasi atau desentralisasi pendidikan tidak terlepas dari kenyataan adanya kelemahan konseptual dalam penyelenggaraan pendidikan nasional, khususnya semasa Orde Baru. Diantara masalah dan kelemahan yang terjadi dalam konteks ini menurut Azyumardi Azra, antara lain : Pertama, kebijakan pendidikan nasional sangat sentralistik dan serba seragam, yang pada gilirannya mengabaikan keragaman sesuai dengan realitas kondisi ekonomi, budaya masyarakat Indonesia di berbagai daerah. Kedua, kebijakan penyelenggaraan pendidikan nasional lebih berorientasi pada pencapaian target-target tertentu, seperti target kurikulum yang pada gilirannya mengabaikan proses pembelajaran yang efektif menjangkau seluruh ranah dan potensi anak didik.
Dengan demikian kosekuensi dari pelaksanaan Undang-Undang tersebut dalam penyelenggaraan pendidikan berimplikasi pada bentuk otonomi atau desentralisasi pendidikan. Dalam dunia pendidikan era otonomisasi ini akan mengubah beberapa paradigma pendidikan dari sentralisasi mengarah kepada desentralisasi serta prinsip demokratisasi, keterbukaan, akuntabilitas yang mengarah pada munculnya kebijakan arus bawah.
Di samping itu otonomi daerah akan melahirkan kesenjangan kualitas pendidikan antar daerah. Perbedaan mutu pendidikan masing-masing daerah sangat ditentukan oleh besarnya perhatian pemerintah daerah pada bidang pendidikan, selain itu juga dipengaruhi oleh kemampuan pemerintah daerah dalam menyediakan sarana dan prasarana, kualitas sumber daya manusia serta pemberdayaan masyarakat. Dalam konteks globalisasi, menurut Suyanto daerah-daerah perlu melakukan benchmarking sektor pendidikan yang dikelolanya secara otonomi dalam aspek input, process, product, maupun outcome agar otonomi daerah tidak membuat sektor pendidikan justru ketinggalan zaman.
Problematika ini juga disinyalir dalam Program Pembangunan Nasional (propenas) 2000-2004 sebagai pengganti GBHN, yang menyoroti beberapa persoalan yang dihadapi dunia pendidikan di Indonesia sebagaimana dikutip oleh Prof. Dr. H. Muchsin, SH, yaitu : (1) rendahnya pemerataan memperoleh pendidikan, (2) rendahnya kualitas dan relevansi pendidikan, (3) lemahnya manajemen pendidikan, (4) belum terwujudnya kemandirian dan keunggulan iptek di kalangan akademisi, (5) ketimpangan pemerataan pendidikan antar wilayah geografis.
Dengan pemberlakuan otonomi daerah dan desentralisasi pendidikan, madrasah sebagai salah satu bentuk pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah dan masyarakat paling tidak memiliki kewenangan yang luas dalam beberapa hal, antara lain : Pertama, Penjabaran kurikulum Nasional. Kedua, Penetapan kurikulum local. Ketiga, Pelaksanaan proses belajar. Keempat, Penentuan tenaga pengajar dan kepala sekolah. Kelima, Pelaksanaan evaluasi belajar.
Secara yuridis, madrasah telah diakui sebagai sub sistem pendidikan nasional sebagaimana dinyatakan dalam Undang-Undang Sisdiknas No.20 Tahun 2003, namun demikian posisi ini menimbulkan beberapa konsekuensi antara lain adalah dimulainya suatu pola pembinaan yang mengikuti satu ukuran yang mengacu kepada sekolah-sekolah pemerintah. Padahal secara struktural madrasah sebagai sekolah yang bercirikan khas agama Islam berada di bawah naungan Departemen Agama. Dengan demikian terjadi dualisme dalam pembinaan pendidikan antara sekolah (madrasah) yang berada di bawah Departemen Agama dengan sekolah yang berada dibawah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Dualisme ini berimplikasi pada munculnya kebijakan-kebijakan yang kurang menguntungkan sekolah-sekolah yang berada di bawah Departemen Agama.
Menurut Undang-Undang Pemerintahan Daerah No. 32 Tahun 2004 pasal 10 ayat 3 huruf (f) tentang pembagian urusan pemerintahan, urusan agama termasuk salah satu urusan pemerintahan yang tidak didesentralisasikan atau diotonomkan ke daerah. Hal ini menimbulkan multi interpretasi terhadap kedudukan Pendidikan Agama dalam hal ini madrasah. Di lapangan seringkali terjadi lempar tanggung jawab antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah. Pemerintah daerah berdalih bahwa madrasah tidak menjadi bagian tugasnya karena belum diotonomikan, sedangkan pemerintah pusat mengira jika kebutuhan madrasah juga telah dicukupi oleh daerah sebagaimana mengurus pendidikan di daerah pada umumnya, akhirnya nasib madrasah bertambah sengsara tidak ditopang oleh kedua-duanya, baik pusat maupun daerah.
Posisi madrasah selama ini seringkali diperlakukan kurang adil, pada satu sisi madrasah dituntut menghasilkan lulusan yang sama dengan sekolah umum akan tetapi kurang memperoleh dukungan financial yang memadai, lebih-lebih lagi bagi madrasah swasta yang pada umumnya sebagai penyangga financial kehidupan madrasah adalah wali murid.
Dari segi anggaran , perolehan anggaran untuk operasional pendidikan terdapat perbedaan antara lembaga-lembaga pendidikan di bawah naungan Departemen Agama dengan sekolah-sekolah di bawah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Sebagai akibat perbedaan anggaran tersebut maka terjadi pula perbedaan dalam pengadaan sarana fisik serta kegiatan pendidikan yang bersifat non fisik lainnya. Masalah lain yang muncul adalah kekurangan tenaga pengajar khususnya guru-guru yang sesuai dengan bidang studi keahlian dan problem-problem lain yang tidak sedikit.
Seharusnya pemerintah bersikap adil, demokratis dan bertangungjawab terhadap penyelenggaraan pendidikan di Indonesia tanpa harus mendiskriminasikan antara lembaga pendidikan yang berada dalam pengelolaan Departemen Agama maupun yang berada dalam pengelolaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan sesuai dengan prinsip-prinsip dasar kebijakan otonomi daerah, karena madrasah juga memiliki kontribusi yang cukup besar dalam mencerdaskan anak bangsa.
Salah satu “kekeliruan” kebijakan pendidikan yang berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung terhadap rendahnya kinerja pendidikan (educational performance) Indonesia adalah kurang diperhitungkannya madrasah dalam sistem pendidikan nasional. Kalau kita berbicara mengenai peningkatan mutu pendidikan dan masalah-masalah kependidikan lainnya seolah-olah semuanya ditentukan oleh sekolah.

D. Wacana Reposisi Madrasah
Tarik ulur reposisi madrasah dalam pendidikan satu atap di bawah Departemen Pendidikan Nasional masih hanya sekedar wacana, walaupun di beberapa daerah sudah mulai mengapresiasi melalui peraturan-peraturan daerah dan kebijakan-kebijakan dalam penyelenggaraan pendidikan. Namun secara umum dalam implementasi kebijakan pendidikan masih dijumpai adanya diskriminasi terhadap madrasah.
Hal yang masih dipertimbangkan adalah implikasi plus dan minus jika madrasah direposisikan satu atap di bawah Departemen Pendidikan Nasional. Sisi positif antara lain; Pertama, terwujudnya persamaan hak dan kewajiban pendidikan anak bangsa. Kedua, madrasah tidak lagi dianaktirikan oleh pemerintah daerah. Ketiga, pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan bagi rakyat miskin, mengingat madrasah mayoritas berlatarbelakang ekonomi menengah ke bawah. Adapun sisi negatif antara lain : pertama, tidak semua pemerintah daerah bisa menerima kehadiran madrasah, khususnya di daerah-daerah yang mayoritas non muslim. Kedua, kekhawatiran madrasah akan kehilangan ciri khasnya (kurikulum pendidikan agama). Ketiga, ketidaksiapan madrasah untuk menerima pembaharuan-pembaharuan, baik secara institusional maupun manajerial.
Alternatif solusi yang mungkin bisa dipertimbangkan lebih lanjut antara lain: Pertama, APBN & APBD harus mampu mengalokasikan anggaran untuk pendidikan sebesar 20 % non gaji, dan seluruh penyelenggaraan pendidikan baik di bawah Depdiknas maupun Depag dialokasikan secara proporsional. Artinya seluruh penyelenggaraan pendidikan baik dari sisi ketenagaan, pembinaan kelembagaan maupun anggaran bisa memenuhi kebutuhan riil pendidikan. Meskipun dalam nimplementasinya mungkin masih didapati kebijakan-kebijakan yang diskriminatif. Kedua, madrasah tetap di bawah naungan Depag tidak dilepaskan secara total, namun ada beberapa kewenangan yang dilimpahkan kepada daerah dengan konsekuensi adanya pembagian urusan mengenai wewenang yang jelas antara Departemen Agama dan Depdiknas dalam mengelola pendidikan madrasah, khususnya yang menyangkut persoalan tenaga kependidikan dan kurikulum. Ketiga, urusan kelembagaan menjadi tanggung jawab Depag, sedang urusan kurikulum dan ketenagaan dilimpahkan ke pemda.
Ada beberapa cara yang perlu dipertimbangkan dalam memecahkan problema besar kemadrasahan. Ki Supriyoko melihat paling tidak ada dua cara yaitu cara knvensional dan cara modern. Cara yang paling konvensional adalah menyampaikan “ilmu umum” yang porsinya sama dengan yang diberikan di sekolah, kemudian ditambah dengan “ilmu agama”. Cara ini bagus akan tetapi hanya efektif dijalankan oleh madrasah dengan siswa yang diasrama alias dipondokkan. Madrasah yang eksistensinya di tengah pesantren biasanya bisa menjalankan cara ini secara produktif; namun pada madrasah nonpesantren yang siswanya tidak menginap, cara ini sangat berat untuk dijalankan.
Cara modern yang bisa dijalankan adalah membenahi metode pembelajaran (learning method), meningkatkan mutu guru (teacher quality), atau melengkapi sarana dan fasilitas belajarnya (facility). Ketiga pembenahan ini bisa dilakukan secara sendiri-sendiri tetapi lebih produktif dijalankan secara terintegrasi. Lebih daripada itu bahkan di antara cara konvensional dengan cara modern tersebut pun bisa dipadukan secara produktif.
Bagaimanapun juga, pembaharuan-pembaharuan yang akan dilakukan dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan Islam (madrasah) harus tetap mempertimbangkan aspek realitas struktural dan kultural yang terjadi. Menurut A. Malik Fajar, kebijakan-kebijakan mengembangkan madrasah perlu mengakomodasikan tiga kepentingan, yaitu: Pertama, kebijakan itu harus memberi ruang tumbuh yang wajar bagi aspirasi utama ummat Islam, yakni menjadikan madrasah sebagai wahana untuk membina ruh atau praktek hidup Islami. Kedua, kebijakan itu memperjelas dan memperkukuh madrasah sebagai ajang membina warga negara yang cerdas, berpengetahuan, berkepribadian, serta produktif sederajat dengan sistem sekolah. Ketiga, kebijakan itu harus bisa menjadikan madrasah mampu merespon tuntutan-tuntutan masa depan.
Oleh karena itu madrasah juga harus mulai berbenah diri untuk memperbaiki manajemen melalui berbagai upaya alternatif untuk mengatasi berbagai problematika baik secara internal maupun eksternal, sehingga mampu meningkatkan kualitas dan daya saing di era globalisasi.
Atas dasar itulah maka untuk memajukan dan meningkatkan penyelenggaraan pendidikan madrasah sangat bergantung pada kemampuan dan kesadaran masyarakat setempat. Kalau tingkat ekonomi masyarakat kurang mendukung, madrasah cenderung sulit berkembang dan terkesan asal jalan. Sebaliknya, bila kemampuan ekonomi masyarakat yang mendukung madrasah sangat kuat, maka kualitas madrasah dapat sejajar dengan sekolah-sekolah umum atau sekolah-sekolah negeri lainnya.
Di sinilah diperlukan kepandaian penyelenggara madrasah untuk menjalin kerja sama dengan tokoh-tokoh masyarakat di sekitarnya. Bagaimana agar masyarakat dapat turut merasa memiliki, sehingga dengan sukarela ikut berpartisipasi membesarkan madrasah. Untuk itu, madrasah hendaknya dikelola secara baik dan profesional sehingga dapat bersaing dengan sekolah lainnya. Sudah bukan masanya lagi penyelenggara madrasah bekerja hanya berorientasi ibadah semata-mata tanpa memperhatikan profesionalisme dan manajemen yang baik. Dewasa ini persaingan antarsekolah cukup ketat, sehingga sekolah atau madrasah yang tidak dikelola dengan baik akan kehilangan kepercayaan masyarakat.





DAFTAR PUSTAKA

Azra, Azyumardi, Paradigma Baru Penddikan Nasional: Rekonstruksi dan Demokratisasi, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2002.
Bakar, Usman Abu dan Surohim, Fungsi Ganda Lembaga Pendidikan Islam, Respon Kreatif terhadapUndang-Undang Sisdiknas, Yogyakarta, Safiria Insania Press, 2005.
Coombs, Philip H., What is Educational Planning?, Paris: United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization, 1970.
Dauly, Haidar Putra, Pendidikan Islam Dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia, Jakarta: Prenada Media, 2004.
Depag RI, Kebijakan Strategis Ditjen Kelembagaan Agama Islam Tahun 2003-2005, Jakarta, Ditjen Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI, 2003.
Hasyim, Yusuf, "Eksistensi Madrasah di Tengah Polemik Pembaharuan Pendidikan", dalam Majalah Rindang, Kanwil Depag Jawa Tengah, No. 3 Th.XXVIII, Oktober, 2002.
Kemmerer, Fransisca, “Desentralization of Schooling in Developing Nation”, dalam Ensiclopedia of Education, (tp).
Ki Supriyoko, "Hakikat Politik Pendidikan Nasional" dalam Ali Muhdi Amnur (Ed.), Konfigurasi Politik Pendidikan Nasional, Yogyakarta: Pustaka Fahima, 2007.
Ludjito, Ahmad, "Pendekatan Integralistik Pendidikan Agama pada Sekolah di Indonesia", dalam Chabib Thoha, dkk., Reformulasi Filsafat Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.
Mas'ud, Abdurrahman, Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik: Humanisme Religius sebagai Paradigma Pendidikan Islam, Yogyakarta: Gama Media, 2002.
Masyhuri AM, dkk., Problematika Madrasah, Jakarta: Dirjen Kelembagaan Agama Islam Depag RI, 2001.
Muchsin, Politik Hukum Dalam Pendidikan Nasional, Surabaya: Pascasarjana UNSURI, 2007.
Suprayogo, Imam, Quo Vadis Madrasah; Gagasan, Aksi & Solusi Pembangunan Madrasah, Yogyakarta, Hikayat Publishing, 2007.
Supriyoko, Ki, "Problema Besar Madrasah", dalam Republika, 18 Maret 2008.
Suyanto, "Persoalan Pendidikan Indonesia Dalam Era Otonomi Daerah" dalam Edy Suandi Hamid dan Sobirin Malian (Ed), Memperkokoh Otonomi Daerah; Kebijakan, Evaluasi, dan Saran, Yogyakarta: UII Press, 2004.
Syaifuddin, Muhammad, Kebijakan Pemerintah Tentang Yayasan dan Eksistensi Madrasah Swasta di Indonesia; Antara Solusi dan Permasalahannya, dalam Jurnal Ilmiah Keislaman, Al Fikra, vol. 5, No. 1 Januari-Juni 2006.
Tilaar, H.A.R., Kekuasaan dan Pendidikan; Suatu Tinjauan Dari Perspektif Studi Kultural, Magelang: Indonesia Tera, 2003.
___________, H.A.R., Paradigma Baru Pendidikan Nasional, Jakarta : Rineka Cipta, 2004.

1 komentar:

valennabb mengatakan...

TITIAN WHITE Paintings - iTanium Art
TITIAN tecate titanium WHITE paint babyliss pro nano titanium flat iron is a titanium engagement rings chrome finish for the traditional Chinese paint, that has been microtouch titanium trim produced in many rocket league titanium white states of art since ancient times by painting artists