Sabtu, 21 April 2012

Kevaliditasan Ujian Nasional

(Artikel ini telah dimuat dalam Wacana Nasional Harian Suara Merdeka, 11 April 2011) 
          PELAKSANAAN ujian nasional (UN) 2011 sudah di ambang pintu, untuk tingkat SMA/MA/ SMK dilaksanakan tanggal 18-21 April, SMP/MTs 25-28 April, dan SD/MI 10-12 Mei mendatang. Berdasarkan prosedur operasi standar (POS) yang dikeluarkan BSNP, pelaksanaan UN tahun ini berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Perbedaan itu antara lain dalam hal kriteria lulusan, ketiadaan ujian ulangan, ketiadaan tim pengawas independen, jumlah paket soal, dan akan diadakannya uji petik di lapangan. 
        Meski muncul pro-kontra dari kalangan akademisi dan pendidik, UN tetap dilaksanakan dengan alasan bahwa pemerintah perlu mengetahui tingkat pencapaian kompetensi lulusan secara nasional, khususnya pada mata pelajaran tertentu dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi. Sebagaimana dijelaskan dalam POS UN bahwa kelulusan peserta didik ditentukan oleh satuan pendidikan berdasarkan rapat dewan guru dengan menggunakan beberapa kriteria.
          Sebenarnya setiap satuan pendidikan memiliki wewenang penuh untuk meluluskan peserta didiknya, namun pemerintah juga memiliki intervensi penuh untuk mengendalikan sistem tersebut melalui kriteria kelulusan. Pertanyaannya adalah sejauhmana tingkat validitas sistem evaluasi yang dilakukan satuan pendidikan? 

         Sistem evaluasi pendidikan dengan menggunakan UN model baru pun, ternyata masih memberikan kelonggaran terjadinya kecurangan secara sistemik. Hal ini bisa kita lihat dari sistem penentuan kelulusan yang didasarkan pada rumus nilai akhir = 0,60 x ujian nasional + 0,40 x nilai sekolah. Nilai sekolah yang berasal dari rata-rata nilai semester satu sampai semester ganjil kelas akhir dan memiliki bobot 40% terhadap kelulusan, masih memungkinkan terjadinya manipulasi data dari satuan pendidikan. 
          Meskipun ada uji petik dari panitia pusat untuk menguji validitas nilai sekolah, karena dilaksanakan setelah proses upload data secara online selesai, maka banyak waktu bagi satuan pendidikan (sekolah) untuk mengubah nilai. Manipulasi itu antara lain dengan cara mengganti nilai pada buku rapor dengan buku yang baru. 
       Ada beberapa alasan yang sering diperbincangkan pihak sekolah untuk melakukan kecurangan sistemik ini. Pertama; hasil UN tidak serta merta menjamin peserta didik bisa melanjutkan ke jenjang berikutnya karena sekolah favorit masih memercayai hasil tes ujian masuk ketimbang hasil UN. Demikian juga ketika siswa ingin melanjutkan ke perguruan tinggi, mereka harus berjuang mati-matian untuk lolos dalam SNMPTN.  Kedua; nilai hasil ujian dalam ijazah, tidak serta merta bisa dijadikan standar masuk ke dunia kerja. Sebagian besar perusahaan menggunakan tes keahlian dan tes kelayakan untuk calon pegawainya. Hal ini menunjukkan bahwa output pendidikan belum mampu menghasilkan calon tenaga kerja yang memiliki kualitas standar. Ketiga; masyarakat masih berpandangan bahwa kelulusan UN menjadi satu-satunya alat ukur kualitas (prestasi) dari sekolah dan juga harga diri jika ada peserta didiknya yang tidak lulus.
          Padahal pada masa lalu, siswa tidak naik kelas, tidak lulus atau mengulang merupakan sesuatu yang lazim. Keempat; pemerintah belum menemukan sebuah sistem evaluasi yang efektif, terukur, valid, dan komprehensif yang mampu dijadikan standar pencapaian kompetensi siswa secara nasional, baik pada evaluasi proses maupun hasil. Akibatnya masih muncul anggapan bahwa pelaksanaan UN tahunnya hanya formalitas. 
            Menurunnya kualitas pencapaian kompetensi peserta didik ini dirasakan oleh praktisi pendidikan. Di antara faktor yang berpengaruh adalah belum meratanya kualitas tenaga pendidik dan kependidikan, terbatasnya sarana dan prasarana pendidikan, lemahnya daya dukung lingkungan dan masyarakat, serta pengaruh globalisasi dan perkembangan teknologi. 
        Sebenarnya pemerintah telah melakukan berbagai upaya peningkatan kualitas pendidikan melalui berbagai kebijakan antara lain sertifikasi guru, kualifikasi tenaga pendidik dan kependidikan, program induksi guru, dan sebagainya. Faktanya, implementasi dari kebijakan tersebut masih belum sesuai dengan harapan. 
— Yusuf Hasyim SAg MSI, delegasi International Teachers Conference and Educational Exhibition 2011, peneliti manajemen dan kebijakan pendidikan tinggal di Pati

2 komentar:

Plat AB mengatakan...

Siip Bro..kabar2 ke NewYorkarto yo.

YH Addakhil mengatakan...

InsyaAllah...kalau ada libur main ke Djokja