Jumat, 05 April 2013

PARADIGMA PENDIDIKAN NAHDLATUL ‘ULAMA (Studi Atas Pendidikan Pesantren dan Madrasah)



PARADIGMA
PENDIDIKAN NAHDLATUL ‘ULAMA
(Studi Atas Pendidikan Pesantren dan Madrasah)

Oleh : Yusuf Hasyim, S.Ag

A.     Abstract
Nahdlatul ‘Ulama isn’t the biggest religious social organization  only in Indonesia but also in the world, therefore many foreign scholars and researchers concern to study of the dynamic and thought of Nahdlatul 'Ulama in many aspects. This is, Nahdlatul 'Ulama doesn’t move linier only in the corridor of mass or social organization and politic, but also beats together with the breath of social life, especially in the contect of the Indonesian religious society.

  As the biggest member organization, Nahdlatul 'Ulama plays the strategic role of  Islamic development in Indonesia. Indeed in this context is to develop the quality of Indonesian human resources wholly and completely through education. In this history of  Islamic education throughout Indonesia, Nahdlatul 'Ulama is one of renewal  locomotives to develop education institutions such as Islamic Boarding School (pesantren), Majlis Ta’lim, Diniyah Religious School usually takes palce in the afternoon, and madrasah as formal religious school under the supervision of the Religious Departement as well as universities and is strongly  supported by the so many roots of the members of Nahdlatul 'Ulama (nahdliyin) in society, which previously was a strategic as a base for the development of permanent Islamic and high moral education.
From pesantren, the base of the strength of Nahdlatul 'Ulama is developed by bearing Moslems scholar and kyai, who then from Jam’iyyah of Nahdlatul 'Ulama and struggle in it. But up to now, the educational instutions under the umbrella of Nahdlatul 'Ulama  also face some problems and is possible questioned. Starting from the curriculum density, the slow renewal of curriculum, the weak input of madrasah, the low quality of teacher, the lack of educational infrastructure, the limited fund, and also the uncontrolled process of evaluation of students. Though do not entirely that way.
This article try to study farther about how reality education of Nahdlatul 'Ulama  and base which is background of theology concept

B.     Paradigma Teologi Nahdlatul ‘Ulama
Nahdlatul ‘Ulama didirikan di Surabaya pada tanggal 16 Rajab 1344 H bertepatan dengan tanggal 31 Januari 1926 M [1] oleh para ulama pengasuh pesantren yang didalam komunitas Islam mempunyai kesamaan wawasan, pandangan, sikap dan tata cara pemahaman, penghayatan dan pengamalan ajaran Islam Ahlus sunnah wal jama’ah[2]. Besarnya pengaruh kyai/ulama melalui lembaga pendidikan pesantren mengakibatkan Nahdlatul 'Ulama mudah berkembang dengan pesat, khususnya di daerah basis pesantren. Sebagai Jam’iyyah Diniyah yang bermotif keagamaan dan berlandaskan keagamaan, sehingga segala sikap, perilaku, dan karakteristik perjuangan Nahdlatul ‘Ulama selalu disesuaikan dan diukur dengan norma dan ajaran agama Islam Ahlus sunnah wal jama’ah, serta bercita-cita keagamaan yakni Izzul Islam Wal Muslimin atau dengan kata lain tercapainya Sa’adatud darain bagi umat dan warganya.[3]
Sejak awal Nahdlatul 'Ulama menegaskan bahwa ia merupakan penganut Ahlusunnah wal Jama'ah, sebuah paham keagamaan yang bersumber pada Al Qur’an, As sunnah, Al Ijma’, dan Al Qiyas. Ada lima istilah utama yang diambil dari Al Qur’an dan Hadits dalam menggambarkan karakteristik Ahlus sunnah wal jama’ah sebagai landasan Nahdlatul 'Ulama dalam bermasyarakat atau sering disebut dengan konsep Mabadiu Khaira Ummat.[4]  yaitu :
1.      At-Tawassuth
Tawassuth berarti pertengahan, maksudnya menempatkan diri antara dua kutub dalam berbagai masalah dan keadaan untuk mencapai kebenaran serta menghindari keterlanjuran ke kiri atau ke kanan secara berlebihan.
2.      Al I’tidal
I’tidal berarti tegak lurus, tidak condong ke kanan dan tidak condong ke kiri. I’tidal juga berarti berlaku adil, tidak berpihak kecuali pada yang benar dan yang harus dibela.
3.      At-Tasamuh
Tasamuih berarti sikap toleran pada pihak lain, lapang dada, mengerti dan menghargai sikap pendirian dan kepentingan pihak lain tanpa mengorbankan pendirian dan harga diri, bersedia berbeda pendapat, baik dalam masalah keagamaan maupun masalah kebangsaan, kemasyarakatan, dan kebudayaan.
4.      At-Tawazun
Tawazun berarti keseimbangan, tidak berat sebelah, tidak kelebihan sesuatu unsur atau kekurangan unsur lain.
5.      Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Amar ma’ruf nahi munkar artinya menyeru dan mendorong berbuat baik yang bermanfaat bagi kehidupan duniawi maupun ukhrawi, serta mencegah dan menghilangkan segala hal yang dapat merugikan, merusak, merendahkan dan atau menjerumuskan nilai-nilai moral keagamaan dan kemanusiaan. [5]
Selain lima karakteristik di atas, dalam merespon berbagai persoalan baik yang berkenaan dengan persoalan keagamaan maupun kemasyarakatan, Nahdlatul 'Ulama memiliki manhaj Ahlusunnah wal Jama’ah yang dijadikan sebagai landasan berpikir Nahdlatul 'Ulama (Fikrah Nahdliyah). Adapun ciri-ciri dari Fikrah Nahdliyah [6]antara lain :
1.      Fikrah Tawassuthiyah (pola pikir moderat), artinya Nahdlatul 'Ulama senantiasa bersikap tawazun (seimbang) dan I’tidal (moderat) dalam menyikapi berbagai persoalan.
2.      Fikrah Tasamuhiyah (pola pikir toleran), artinya Nahdlatul 'Ulama dapat hidup berdampingan secara damai dengan berbagai pihak lain walaupun aqidah, cara piker, dan budayanya berbeda.
3.      Fikrah Ishlahiyyah (pola pikir reformatif), artinya Nahdlatul 'Ulama selalu mengupayakan perbaikan menuju kea rah yang lebih baik (al ishlah ila ma huwa al ashlah).
4.      Fikrah Tathawwuriyah (pola pikir dinamis), artinya Nahdlatul 'Ulama senantiasa melakukan kontekstualisasi dalam merespon berbagai persoalan.
5.      Fikrah Manhajiyah (pola pikir metodologis), artinya Nahdlatul 'Ulama senantiasa menggunakan kerangka  berpikir  yang mengacu kepada manhaj yang telah ditetapkan oleh Nahdlatul 'Ulama.
Konsep Fikrah Nahdliyah  itulah yang menyebabkan Nahdlatul 'Ulama nampak sebagai organisasi social keagamaan yang sangat moderat, toleran, dinamis, progressif dan modern. Secara konseptual sebenarnya pola pikir Nahdlatul 'Ulama  tidak  tradisionalis, ortodok, ataupun konservativ, hal ini bisa kita lihat pada perkembangan intelektual di lingkungan Nahdlatul 'Ulama khususnya kaum muda Nahdlatul 'Ulama yang menunjukkan kecenderungan radikal dalam berpikir dalam berpikir dan moderat dalam bertindak  sebagaimana laporan penelitian Mitsuo Nakamura saat mengikuti Muktamar Nahdlatul 'Ulama Ke-26 di Semarang (1979), demikian pula Martin Van Bruinessen (1994).[7] Perubahan kultur dan pola pikir ini juga dapat dilihat dalam prosedur perumusan hukum dan ajaran Ahlusunnah wal Jama'ah dalam tradisi jam’iyah Nahdlatul 'Ulama yang menggunakan pola Maudhu’iyah (tematik) atau terapan (Qonuniyah) yang berbentuk tashawur lintas disiplin keilmuan empiric dan Waqi’iyah (kasuistik) dengan pendekatan tathbiq al-syari’ah dan metode takhayyur (eklektif).[8]   

C.     Paradigma Pendidikan Nahdlatul 'Ulama
Secara historis sosiologis, paradigma pendidikan Nahdlatul 'Ulama, tidak akan terlepas dari paradigma teologi yang mendasarinya, karena pendidikan bagi organisasi memiliki multifungsi sebagai sarana transfer of value, transfer of religious character, sekaligus sebagai media kaderisasi organisasi. Sehingga model pendidikan pesantren yang kemudian berkembang menjadi madrasah ini dianggap oleh sebagian pakar pendidikan sudah “out of date”, “the second education” dan tidak lagi mempresentasikan pendidikan modern karena cenderung mempertahankan nilai-nilai “tradisional”, “konservativ”dan “ortodok”.  Sebagaimana Clifford Geertz yang memberikan atribut sangat negative terhadap kaum tradisionalis sebagai anti modernisme dan contra-reformist organization.[9]
Secara kultural tradisi pendidikan Islam lahir, tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat Nahdlatul ‘Ulama. Hal ini bisa kita lihat dari sejarah lahirnya pesantren sebagai lembaga pendidikan tertua di Indonesia dan madrasah sebagai pola pengembangan pendidikan Islam. Keterdekatan Nahdlatul 'Ulama dengan pesantren bisa kita lihat dari warna khas dan pola pendidikan yang kental dengan nilai nilai-nilai cultural teologis dan praktik keagamaan (amaliyah ubudiyah).
Melalui Lembaga Pendidikan Ma'arif Nahdlatul 'Ulama , Nahdlatul 'Ulama  merekomendasikan kebijakan, tugas dan tanggung jawab di bidang pendidikan kepada lembaga ini untuk mengelola lembaga pendidikan di lingkungan Nahdlatul 'Ulama di seluruh Indonesia. Di dalam mengelola lembaga pendidikan, ada beberapa prinsip dasar, orientasi dan identitas pendidikan di lingkungan NU, yaitu ; Pertama, Komitmen pada paham keagamaan Ahlusunnah wal Jama'ah. Kedua, Kebijakan pendidikan NU didasarkan pada prinsip bahwa pendidikan merupakan usaha untuk mengembangkan sumber daya manusia menjadi manusia yang seutuhnya. Ketiga, Mengutamakan perpaduan antara pergerakan jiwa dan tugas untuk mengelola diri sendiri.  Sebagai lembaga pendidikan yang tumbuh dari masyarakat, pondok pesantren, madrasah, dan sekolah Ma’arif Nahdlatul 'Ulama memiliki karakter yang khusus, yaitu karakter masyarakat, diakui sebagai milik masyarakat dan selalu bersatu dengan masyarakat. Sejak awal masyarakat mendirikan madrasah  dilandasi oleh mental al it’timad alannafsi.[10]
Bagi Lembaga Pendidikan Ma'arif, pendidikan dipahami sebagai  usaha sadar, terencana dan terarah untuk mengembangkan potensi anak didik  baik intelektual, emosional, praktek, sosial, moral dan spiritual sehingga mereka mampu mengelola fungsi mereka sebagai khalifatullah fil 'ard, penggerak dan pemelihara kesatuan bangsa serta pengembang nilai-nilai dan prinsip Ahlusunnah wal Jama'ah.[11]
Sebagai lembaga pendidikan Islam pesantren memiliki lima elemen pokok, yaitu pondok tempat menginap santri, masjid, santri, kitab-kitab klasik, dan kyai.[12] Secara kultural mayoritas pesantren memiliki kesamaan pola kehidupan dan pendidikan. Ciri kehidupan dan pendidikan pesantren yang khas dan berkembang tanpa tersistemisasikan sebagai sebuah pola pendidikan menurut A. Mukti Ali ada beberapa ciri khusus, antara lain :
1.      adanya kehidupan yang akrab antara murid (santri) dan kyai.
2.      tunduknya santri kepada kyai
3.      hidup hemat dan sederhana benar-benar dilakukan dalam kehidupan pesantren
4.      semangat menolong diri sendiri amat terasa dan kentara di pesantren
5.      jiwa tolong menolong dan suasana persaudaraan sangat mewarnai pergaulan pesantren.
6.      disiplin sangat ditekankan dalam kehidupan pondok pesantren
7.      berani menderita untuk mencapai tujuan, merupakan satu pendidikan yang diperoleh dalam pesantren.[13]
Selain beberapa ciri khusus di atas, ada beberapa prinsip-prinsip atau nilai yang membedakan antara pesantren dengan lembaga pendidikan lainnya,[14] yaitu :
1.      Filsafat pendidikan teosentris, yaitu suatu pandangan yang menyatakan bahwa semua kejadian, proses dan kembali pada kebenaran Tuhan.
2.      Kesukarelaan (keikhlasan) dan pengabdian
3.      Kearifan hidup
4.      Kesederhanaan
5.      Kolektivitas
6.      Mengatur kegiatan bersama
7.      Kebebasan terpimpin
8.      Kemandirian
9.      Pesantren adalah tempat mencari ilmu dan mengabdi
10.  Mengamalkan ajaran agama
11.  Tanpa ijazah
12.  Restu kyai
Berkaitan dengan peran tradisionalnya, pesantren kerap diidentifikasikan dengan tiga peran dalam masyarakat Indonesia, yaitu Pertama, sebagai pusat berlangsungnya transmisi ilmu-ilmu Islam tradisional, Kedua, sebagai penjaga dan pemelihara keberlangsungan Islam tradisional, Ketiga, sebagai pusat reproduksi ulama’.[15]
Pendidikan pesantren secara umum jarang yang merumuskan tujuan pendidikan yang diselenggarakan secara eksplisit. Namun tidak berarti bahwa pesantren merupakan lembaga pendidikan yang  tidak memiliki arah dan tujuan yang pasti, hal ini disebabkan karena sifat kesederhanaan dan keikhlasan yang tinggi. Menurut Prof. Mastuhu, tujuan pendidikan pesantren adalah :  ”Menciptakan dan mengembangkan kepribadian muslim, yaitu kepribaian yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan, berakhlak mulia, bermanfaat bagi masyarakat atau berkhidmat kepada masyarakat dengan jalan menjadi kawula atau abdi masyarakat sekaligus menjadi rasul, yaitu mrnjadi pelayan masyarakat sebagaimana kepribadian Nabi Muhammad saw, mampu berdiri sendiri, bebas dan teguh dalam kepribadian, menyebarkan agama atau menegakkan  Islam dan kejayaan umat Islam di tengah-tengah masyarakat (izzul Islam wal Muslimin) serta mencintai ilmu dalam rangka mengembangkan kepribadian Indonesia.[16]
Dari tujuan pendidikan pesantren di atas, dapat kita asumsikan bahwa filosofi pengajaran dan tata nilai pesantren ditekankan pada adanya fungsi mengutamakan beribadat sebagai pengabdian kepada Tuhan dan memuliakan guru sebagai jalan untuk memperoleh pengetahuan agama yang hakiki. Sub kultur ini menetapkan pandangan hidupnya sendiri yang bersifat khusus. Pesantren berdiri atas landasan pendekatan ukhrawi kepada kehidupan dan ketundukan kepada ulama.[17] Kurikulum pesantren “salaf” yang statusnya sebagai lembaga pendidikan non formal hanya mempelajari kitab-kitab klasik yang meliputi : Tauhid, Tafsir, Hadits, Fiqih, Ushul Fiqih, Tasawuf, Bahasa Arab (Nahwu, Sharaf, Balaghah, dan Tajwid), Mantik, Akhlak. Pelaksanaan kurikulum pendidikan pesantren ini berdasarkan kemudahan dan kompleksitas ilmu atau masalah yang dibahas dalam kitab, jadi ada tingkat awal, menengah, dan tingkat lanjutan.[18]
Materi pendidikan di pondok pesantren pada hakikatnya bertumpu pada pengajaran ilmu-ilmu keislaman, seperti akhlak, nahwu, sharaf, aqidah, fiqih, hadis, tasawuf, tafsir, dan Al Qur'an, namun dalam proses pengajarannya antara satu pesantren dengan yang lainnya berbeda. Ada dua istilah dalam proses pendidikan di pondok pesantren, yakni Ta'lim (pengajaran) dan Tarbiyah (pendidikan). Adapun sistem pembelajarannya menggunakan model sorogan, bandongan, wetonan, dan klasikal.[19]  Berdasarkan proses pendidikan dan pengajarannya maka pondok pesantren di Indonesia dapat dikategorikan menjadi tiga tipe, yaitu Pertama, Pesantren tradisional. Kedua, pesantren modern dan Ketiga, pesantren terpadu.
Sedangkan orientasi dan perilaku pendidikan pesantren menurut penulis pada awalnya masih cenderung bersifat idealistik normatif. Menurut Muhammad Tholhah Hasan, orientasi dan perilaku pendidikan idealistik adalah pendidikan yang berpegang pada nilai-nilai luhur yang diidealkan dan yang seharusnya diwujudkan dalam kehidupan kehidupan nyata sesuai dengan kepercayaan yang dianut atau ajaran agama yang diyakini. Sedangkan orientasi dan perilaku pendidikan yang normatif lebih mengutamakan pada keselarasan dan keserasian hingga terdapat keseimbangan dengan norma-norma atau tradisi masyarakat.[20] Namun dalam perkembangan modern, pesantren mengalami ekspansi fungsional menjadi lembaga pengembangan masyarakat sehingga terjadi perubahan paradigma dari teosentris menuju anthroposentris.
Menurut data Education Management Information System  (EMIS) Departemen Agama RI tahun 2003, dari 14.067 pesantren di Indonesia banyak yang telah mengembangkan life skill education (pendidikan kecakapan hidup), sebanyak 1529 pesantren mengembangkan pertanian dan agribisnis, 404 pesantren mengembangkan ketrampilan perindustrian, 111 pesantren mengembangkan bidang perdagangan dan 41 pesantren mengembangkan sector kelautan dan perikanan.[21] Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan pesantren telah mengalami pembaharuan baik dari segi paradigmatik, institusional, metodologis maupun kurikulum.
Dari segi paradigma, kita bisa melihat terjadinya pembaharuan pendidikan pesantren dan madrasah di lingkungan Nahdlatul ‘Ulama dengan munculnya intelektual muda Nahdlatul 'Ulama. K.H.A. Wahid Hasyim ketika menjabat sebagai Menteri Agama dan ketua Lembaga Pendidikan Ma’arif Nahdlatul 'Ulama telah melakukan beberapa upaya pembaharuan pendidikan pesantren dan madrasah melalui beberapa paradigma pengembangan,[22] antara lain :
1.      Pembaharuan paradigma dari teosentris ke anthroposentris dengan merekonstruksi tujuan pembelajaran di pesantren, yang semula santri diarahkan untuk mencetak ahli agam (ulama), dengan menyarankan agar tidak semua santri menjadi ulama, namun tetap memahami ajaran agama sebagaimana  di pelajari di pesantren. Santri harus memperkuat diri dengan berbagai macam keahlian yang dalam dunia pendidikan sekarang dikenal dengan life skill education.
2.      Perubahan paradigma dikotomik kepada non-dikotomik antara ilmu agama dan non agama. Menurut Wahid Hasyim, bahwa materi yang diajarkan di pesantren dan madrasah haruslah merupakan ilmu-ilmu yang komprehensif yang tidak hanya mempelajari ilmu-ilmu agama yang bersumber dari kitab-kitab klasik saja.
3.      Perubahan paradigma teoritik ke praktis. Dalam konsep ini Wahid Hasyim menekankan pentingnya pengamalan ilmu yang dipelajari di pesantren. Orientasi dari paradigma ini adalah terciptanya insane yang berakhlakul karimah dan tujuan pendidikan bukan semata-mata transfer of knowledge namun juga transfer of values.
Untuk mewujudkan konsep pembaharuan di atas, maka pendidikan pesantren maupun madrasah harus melakukan paling tidak empat bentuk pembaharuan, yaitu pembaharuan pada aspek institusi pendidikan, aspek isi kurikulum, aspek metodologi dan aspek fungsi kelembagaan. Pembaharuan tersebut dilakukan agar pendidikan pesantren dan madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam Indonesia mampu menjawab tantangan dan tuntutan perubahan zaman.

E.     Penutup
Demikian makalah singkat tentang paradigma pendidikan Nahdlatul 'Ulama, barangkali masih banyak hal yang belum tercover dalam tulisan ini dan terjadi beberapa kesalahan, penulis mohon kritik dan saran konstruktif untuk perbaikan selanjutnya. Wallohua’lam bishowwab



[1] Anggaran Dasar  & Anggaran Rumah Tangga  Nahdlatul ’Ulama 2004,  , PCNU Kabupaten Pati, (2004), p. 6.
[2] Secara harfiah Ahlusunnah wal Jama'ah berarti penganut sunnah Nabi Muhammad saw dan jama’ah (para sahabat) atau segolongan pengikut sunnah Rasulullah saw yang didalam melaksanakan ajaran-ajarannya berjalan di garis yang dipraktekkan oleh jama’ah (para sahabat). Lebih jelas lihat; Siradjudin Abbas, I’tiqad Ahlusunnah wal Jama’ah, Pustaka Tarbiyah (Jakarta, 1993), p.16, lihat juga Syaifuddin Zuhri, Menghidupkan Nilai-Nilai Aswaja dalam Praktik, PP.IPNU, (Jakarta, 1976), p.8. Dalam pengertian yang lebih rinci, KH. Bisri Mustofa Rembang, mengartikan aswaja sebagai paham yang berpegang teguh kepada tradisi sebagai berikut : Pertama, dalam bidang hukum Islam, menganut salah satu ajaran dari empat madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali). Kedua, dalam bidang tauhid menganut ajaran-ajaran Imam Abu Hasan Al Asy’ari dan Imam Abu Mansur Al Maturidi. Ketiga, dalam bidang tasawuf menganut dasar-dasar ajaran Imam Abu Qasim Al Junaidi. Lebih jelas lihat : Zamakhsari Dhofier, Tradisi Pesantren, Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, LP3ES, (Jakarta, 1982), P.149.
[3] Sahal Mahfudh, ”Kata Pengantar” dalam Quo Vadis NU, Setelah Kembali ke Khittah 1926, Penerbit Erlangga, (Jakarta, 1992), p. viii.
[4] Mabadi Khaira Ummah adalah sebuah gerakan untuk mengembangkan identitas dan karakteristik anggota Nahdlatul 'Ulama dengan pengaturan nilai-nilai mulia dari konsep keagamaan Nahdlatul 'Ulama. The Mabadi Khaira Ummah movement was the beginning of the establishment of ”the leading follower” (khaira ummah), which are members who are capable of carrying out amar ma’ruf and nahy munkar responsibilities which from a very important part of NU’s progress, because these two notions are essential to support the formation of life order blessed by Allah in accordance with NU ideal. Lebih jelas lihat : Dr. Endang Turmudi, MA, (Ed.), Nahdlatul ’Ulama;, Ideology Politics and The Formation of Khaira Ummah, The Central Board of The Ma’arif Education Institution of NU, printed by LKiS, (Yogyakarta, 2003), p. 76-83.
[5] Tim Penulis, Materi Dasar Nahdlatul ‘Ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah, PW. LP Ma’arif NU Jawa Tengah, (Semarang, 2002), P. 4
[6] Soelaiman Fadeli dan Mohammad Subhan, Antologi NU, “Khalista” Surabaya bekerja sama dengan  Lajnah Ta’lif Wan Nasyr Jawa Timur, (Surabaya, 2007), p. 46.
[7] Zainal Arifin Thoha, Runtuhnya Singgasana Kyai (Nahdlatul 'Ulama, Pesantren dan Kekuasaan: Pencarian Tak Ujung Usai),  KUTUB, (Yogyakarta, 2003), p. 139.
[8] Tim PWNU Jawa Timur, Ahlusunnah wal Jama'ah An-Nahdliyah, “Khalista” Surabaya bekerja sama dengan  Lajnah Ta’lif Wan Nasyr Jawa Timur, (Surabaya, 2007), p. 7-10.
[9] Clifford Geertz, Abangan, Santri Priyayi dalam Masyarakat Jawa ,Pustaka Jaya, (Jakarta, 1981), p. 461.
[10] Achmad Siddiq, Khittah Nahdliyyah, “Khalista” Surabaya, (Surabaya, Cet. 3, 2005), p. 87-90.
[11] Endang Turmudi, (Ed.), Nahdlatul ’Ulama;, Ideology Politics and The Formation of Khaira Ummah, The Central Board of The Ma’arif Education Institution of NU, printed by LKiS, (Yogyakarta, 2003), p. 137-145.

[12] Zamakhsari Dhofier, Tradisi Pesantren, Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, LP3ES, (Jakarta, 1982), P.44-60.
[13] Kacung MarijanQuo Vadis NU, Setelah Kembali ke Khittah 1926, Penerbit Erlangga, (Jakarta, 1992), p. 42-43.
[14] Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren: Suatu Kajian Tentang Unsur dan Nilai Sistem Pendidikan Pesantren, INIS, (Jakarta, , 1994), p. 62-66.
[15] Jamhari Fuad Jabali, IAIN dan Modernisasi Islam di Indonesia, Logos, (Jakarta, 2002), p. 97.
[16] Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren ……, p. 56.
[17] Zaenal Arifin Thoha, Kenylenehan Gus Dur, Gugatan Kaum Muda NU dan Tantangan Kebudayaan, Gama Media, (Yogyakarta, 2001), p. 33-34.
[18] Ridwan Abawihda,  “Kurikulum Pendidikan  Pesantren dan Tantangan Perubahan Global” dalam Ismail, dkk (Ed.), Dinamika Pesantren dan Madrasah, Pustaka Pelajar dan Fak. Tarbiyah IAIN Walisongo, (Semarang, 2002), p. 88.
[19] Tim PekapontrenPotensi Ekonomi Pondok Pesantren di Indonesia, Direktorat Pekapontren Depag RI, (Jakarta, 2004), p. 9-10.

[20]Muhammad Tholhah Hasan, “Reorientasi Wawasan Pendidikan”, dalam Muhammadiyah dan NU; Reorientasi Wawasan Keislaman,  LPPI UMY, LKPSMNU, dan PP. Al Muhsin, (Yogyakarta, 1994), p. 51.
[21] Tim PekapontrenPotensi Ekonomi Pondok Pesantren ………… p. 15-17.
[22] Ruchman Basori, The Founding Father Pesantren Modern Indonesia, Jejak Langkah K.H.A. Wahid Hasyim, Penerbit iNCeis, (Tangerang Banten, 2006), p. 101-143.

Tidak ada komentar: