Jumat, 05 April 2013

ISLAM RADIKAL, PESANTREN DAN MASALAH TERORISME­



ISLAM RADIKAL, PESANTREN DAN MASALAH TERORISME­
(Refleksi atas kasus Terorisme di Indonesia)
Oleh : Yusuf Hasyim, S.Ag

Meletusnya Bom Bali I tahun 2002 dan Bom Bali II 1 Oktober 2005 telah menimbulkan berbagai spekulasi tentang siapa dalang di balik aksi biadab itu. Kasus ini telah menyeret Islam pada posisi yang rawan, apalagi dituduhnya gerakan Islam "Al Qaida" Osama Bin Laden sebagai dalang dibalik pengeboman gedung World Trade Center (WTC) 11 September 2001, semakin memperkuat tuduhan barat terhadap gerakan-gerakan Islam sebagai teroris-teroris dunia. Tertangkapnya Amrozi, Ali Ghufron dan Imam Samudra Cs. tersangka peledakan Bom di berbagai tempat di Indonesia, disusul Abu Bakar Ba'asyir pimpinan pondok pesantren Ngruki Solo yang ditengarai sebagai dedengkot munculnya gerakan Islam garis keras dengan Jama'ah Islamiyahnya semakin memperkuat asumsi bahwa ada keterkaitan erat antara aksi teror bom dengan gerakan Islam garis keras (Islam radikal). Dari manakah gerakan ini lahir ? adakah keterkaitannya dengan pesantren?

Pertanyaan diatas kiranya sangat penting dijawab, agar tuduhan-tuduhan miring terhadap aktivitas gerakan Islam tidak menjadi sebuah teori pembenaran bahwa aktivitas gerakan Islam telah membidani lahirnya aksi terorisme. Tuduhan ini pada akhirnya menyeret pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia, masuk dalam wilayah pengawasan ketat pihak keamanan karena  dicurigai terlibat dalam penyemaian benih-benih teroris. Hal ini bisa kita analisa dari aksi penyisiran oleh kepolisian terhadap pesantren-pesantren pasca peledakan bom dan aksi terorisme, pesantren selalu menjadi incaran sweeping intelegen. Tindakan sweeping aparat keamanan di pesantren-pesantren tersebut telah menimbulkan  kegelisahan para pengasuh pesantren / kyai-kyai yang dibikin repot dengan urusan terorisme. Padahal dunia pesantren sangat tabu dengan istilah-istilah terorisme apalagi sampai pada gerakan aksi teror. Justru aksi sweeping terhadap pesantren-pesantren tanpa adanya bukti-bukti yang kuat telah menjadi bentuk teror baru terhadap dunia pesantren dan memperkuat stigma dunia barat bahwa Islam identik dengan teroris.
Terseretnya dunia pesantren kedalam masalah terorisme berawal dari ditemukannya data kelompok Imam Samudra Cs, yang menyebutkan rencana pengeboman serta keterlibatan sejumlah pesantren dan tokoh masyarakat yang disebut-sebut menjadi bagian dari gerakannya. Bahkan pada waktu kasus peledakan Bom Bali I, kepolisian mensinyalir ada 141 pesantren dan 336 kyai di Indonesia yang terlibat Jamaah Islamiyah (JI) sebuah organisasi yang dicap sebagai terorisme (Warta, September 2003).
Hal ini dikuatkan oleh pengakuan pelaku peledakan Bom Bali I di surga bule "Sari Club" Legian Kuta Bali (Imam Samudra Cs.) yang mengaku bertanggung jawab atas tragedi Sabtu kelabu itu. Mereka diyakini oleh Amerika Serikat sebagai anak buah organisasi Al Qaeda Osama Bin Laden, yang dengan mengatasnamakan agama dan jihad menghalalkan segala cara. Mereka menyebut aksi peledakan bom adalah bentuk perjuangan suci, sebagaimana juga dilakukan Osama terhadap Amerika.
Tuduhan miring terhadap pesantren sebagai basis persemaian gerakan Islam radikal (teroris) semakin menguat dengan terbongkarnya jaringan Jama'ah Islamiyah dan Majlis Mujahiddin Indonesia yang berpusat di Pesantren Abu Bakar Ba'asyir Ngruki Solo serta keterlibatan pesantren Al Islam Tenggulun Lamongan sebagai persembunyian Amrozi, Cs.
Melihat berkembangnya wacana pesantren dan masalah terorisme di Indonesia, maka kiranya perlu diadakan pembuktian lebih lanjut. Ada beberapa argumentasi yang bisa kita sangkalkan bahwa dunia pesantren tidak memiliki karakteristik sebagai sarang teroris; Pertama: visi dan missi yang dikembangkan oleh pesantren (baik pesantren salaf maupun pesantren modern) tidak ada satupun yang mengarah pada visi dan missi terbentuknya khilafah Islamiyah atau negara Islam. Sejarah telah membuktikan hal itu, jika pesantren memiliki pemikiran radikal untuk mendirikan negara Islam barangkali sejak dideklarasikannya piagam Jakarta dan perumusan dasar negara ulama-ulama pesantren tidak akan rela menerima konsep negara republik Indonesia, dan pancasila sebagai dasar negara.  Kedua, aspek sosial-kultural, dunia pesantren bukanlah sebuah komunitas yang tertutup dengan komunikasi masyarakat luar, bahkan kita sulit membedakan komunitas pesantren dengan masyarakat sekitarnya, keduannya saling bersimbiosis. Ini artinya pesantren tidak pernah membatasi diri pada komunitas atau kelas sosial tertentu, ia hadir dengan corak yang sangat egaliter. Ketiga, Tradisi Pemikiran Keagamaan. Pesantren identik dengan lembaga pendidikan yang konservatif, tidak peka dengan perubahan dan perkembangan zaman. Padahal dalam perkembangannya pesantren sangat dinamis. Barangkali sikap konservativ yang ditampilkan pesantren adalah pada tradisi pemikiran keagamaan yang berhubungan dengan norma-norma agama yang bersifat dogmatis. Tetapi pada perwujudan gerakan, pesantren tidak pernah mengambil pola gerakan radikal, sebagaimana dilakukan oleh kelompok Islam radikal/garis keras. Justru dalam tradisi pesantren dikenal pola pendekatan tasamuh, tawazzun,dan tawasuth yang sangat moderat.  atau     telah teruji sebagai institusi pendidikan Islam yang pertama di Indonesia, bahkan menjadi tonggak bagi sejarah perkembangan Islam di Indonesia. Justru kalau kita analisa lebih mendalam dunia pesantren merupakan "Agent of religious and social-morality" yang tidak mungkin melakukan pendidikan yang tak bermoral.

Menelusuri Gerakan Islam Garis Keras
Aksi anarkisme, radikalisme, bahkan terorisme seringkali dihubungkan dengan kelompok gerakan Islam Garis Keras. Sebutan Islam garis keras sering diasumsikan pada kelompok Islam radikal atau Islam Fundamentalis, yaitu gerakan-gerakan yang menolak dan membasmi segala sesuatu yang dilihat tidak Islami. Gerakan ini didorong  oleh motivasi imani dengan tanggung jawab untuk mewujudkan risalah Islam di muka bumi melalui perjuangan suci untuk merubah situasi yang belum Islami kedalam situasi yang Islami (Abdul Aziz, dkk.1989).
Secara umum kaum  fundamentalis memiliki tiga corak gerakan : Pertama, Reformatif yaitu pemurnian ajaran Islam dari pengaruh unsur-unsur di luar Islam. Kedua, Kesadaran diri untuk keluar dari isolasi kekuatan lain di luar Islam. Dan Ketiga, pertumbuhan kepercayaan diri untuk tampil sebagai kekuatan alternatif yang membawa penyelesaian atas problem-problem  yang dihadapi umat manusia.
Corak gerakan ini seringkali melahirkan pola-pola gerakan yang cenderung bersifat eksklusif, simbolis, progressif dan repressif dengan dilandasi oleh nilai-nilai "Jihad Fisabilillah", "Amar Ma'ruf nahi Munkar"dan "Militansi Islam" dan lain sebagainya.
Di Indonesia gerakan ini sering dilakukan oleh kelompok-kelompok Islam militan atau Islam jama'ah dengan mengangkat simbol-simbol Islam dalam setiap aksi gerakannya. Target utama gerakan kelompok ini adalah untuk memperjuangkan berdirinya Negara Islam Indonesia dengan berlakunya sistem khilafah Islam di Indonesia.   
Pada tahun 70-an gerakan Islam Garis Keras (radikal) telah muncul di Indonesia yang menurut data Badan intelejen gerakan ini dibangun ala mafia dengan sistem sel terpisah sehingga seringkali tidak saling mengenal. Gerakan ini awalnya terfokus pada kalangan remaja, tapi pada saat yang bersamaan gerakan ini juga membina secara khusus sejumlah aktivis potensial yang direkrut di masjid-masjid melalui kelompok-kelompok kecil (usrah). Pada akhir tahun 80-an dan awal 90-an terjadi perubahan gerakan, muncul pertentangan antara kelompok dakwah kultural dan kelompok yang menginginkan pencetakan kader-kader militan (radikal) yang dikembangkan oleh kelompok wahaby radikal. Gerakan ini lebih banyak berkembang di Malaysia, Pakistan, Singapura, Afghanistan dll. Dan tidak memiliki akar yang kuat di Indonesia, karena kekuatan gerakan Islam di Indonesia telah terorganisir oleh dua organisasi besar yaitu Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah yang cenderung bersifat moderat.
Munculnya "gerakan jihad radikal” yang dilakukan oleh kelompok Islam Militan menurut Prof. Dr. Imam Bawani, MA ada dua faktor  yang mendasari; Pertama, Faktor Internal yakni karena pemahaman seseorang terhadap Islam yang sangat rigid (kaku, keras). Kedua, Faktor Eksternal  yakni ketidakadilan dan kebiadaban Israel terhadap rakyat Palestina yang dibiarkan terus berlanjut oleh Amerika Serikat menjadi stimulus terhadap kekerasan kelompok ini.
Dari pemikiran-pemikiran di atas, sangat berlebihan dan tidak layak kalau pemerintah akan melakukan pengawasan super ketat atau bahkan membatasi kegiatan pondok pesantren dalam upaya meredam aksi terorisme di Indonesia, sebagaimana pernyataan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Jika pembatasan ini dilakukan maka pemerintah akan mengulang kembali sejarah kelabu dunia pesantren pada masa orde baru. Imbasnya tidak hanya dunia pesantren dengan khasanah tradisi keagamaan yang akan terpinggirkan, tetapi juga perkembangan Islam di Indonesia akan mengalami kemunduran. Wallahua'lam.

                                                       





­ Disampaikan dalam Kajian Ke-Islam-an Pesantren Tarbiyatul Banin, 1427 H  

Tidak ada komentar: