Jumat, 05 April 2013

Problematika dan Strategi Pengembangan Madrasah di Era Otonomi Daerah


Problematika dan Strategi Pengembangan Madrasah
di Era Otonomi Daerah
Oleh : Yusuf Hasyim, S.Ag*

Sebagai lembaga pendidikan yang berciri khas Islam, madrasah merupakan salah satu wujud dari pelaksanaan otonomi pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah dan masyarakat sehingga memiliki peranan yang sangat strategis dalam upaya peningkatan Sumber Daya Manusia Indonesia. Menurut catatan Departemen Agama jumlah MI sebesar 23.517 lembaga, 93 persen diantaranya swasta; MTs sebesar 12.054 lembaga, 90 persen diantaranya swasta; serta sedangkan MA sebesar 4.687 lembaga, 86 persen diantaranya swasta. Dari angka-angka ini diinterpretasi bahwa eksistensi madrasah di Indonesia sangatlah menentukan “merah-putihnya” pendidikan nasional.
Menguatnya aspirasi bagi otomisasi atau desentralisasi pendidikan tidak terlepas dari kenyataan adanya kelemahan konseptual dalam penyelenggaraan pendidikan nasional, khususnya semasa Orde Baru yang mana proses pendidikan, kurikulum, metodologi pendidikan, merupakan pengejawantahan dari system kekuasaan yang ada atau merupakan upaya pelestarian kekuasaan Orde Baru pada saat itu. Diantara masalah dan kelemahan yang terjadi dalam konteks ini
menurut Azyumardi Azra (2002) antara lain : Pertama, kebijakan pendidikan nasional sangat sentralistik dan serba seragam, yang pada gilirannya mengabaikan keragaman sesuai dengan realitas kondisi ekonomi, budaya masyarakat Indonesia di berbagai daerah. Kedua, kebijakan penyelenggaraan pendidikan nasional lebih berorientasi pada pencapaian target-target tertentu, seperti target  kurikulum yang pada gilirannya mengabaikan proses pembelajaran yang efektif  menjangkau seluruh ranah dan potensi anak didik.
Kosekuensi dari pelaksanaan Undang-Undang otonomi daerah tersebut dalam penyelenggaraan pendidikan berimplikasi pada bentuk otonomi atau desentralisasi pendidikan, hal ini akan mengubah beberapa paradigma pendidikan dari sentralisasi mengarah kepada desentralisasi serta prinsip demokratisasi, keterbukaan, akuntabilitas yang mengarah pada munculnya kebijakan arus bawah.
Namun demikian implikasi kebijakan otonomi daerah (desentralisasi pendidikan) tersebut di sisi lain telah melahirkan kesenjangan kualitas pendidikan antar daerah. Perbedaan mutu pendidikan masing-masing daerah sangat ditentukan oleh besarnya perhatian pemerintah daerah pada bidang pendidikan, selain itu juga dipengaruhi oleh kemampuan pemerintah daerah dalam menyediakan sarana dan prasarana, kualitas sumber daya manusia serta pemberdayaan masyarakat. Dalam konteks globalisasi, menurut Suyanto daerah-daerah perlu melakukan  benchmarking sektor pendidikan yang dikelolanya secara otonomi dalam aspek input, process, product, maupun outcome agar otonomi daerah tidak membuat sektor pendidikan justru ketinggalan zaman.

Tantangan dan Problematika Madrasah
Secara  yuridis, madrasah telah diakui sebagai sub sistem pendidikan nasional sebagaimana dinyatakan dalam Undang-Undang Sisdiknas No.20 Tahun 2003,  namun demikian posisi ini menimbulkan beberapa konsekuensi antara lain adalah dimulainya suatu pola pembinaan yang mengikuti satu ukuran yang mengacu kepada sekolah-sekolah pemerintah. Padahal secara struktural madrasah sebagai sekolah yang bercirikan khas agama Islam berada di bawah naungan Departemen Agama. Dengan demikian terjadi dualisme dalam pembinaan pendidikan antara sekolah (madrasah) yang berada di bawah Departemen Agama dengan sekolah yang berada dibawah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Dualisme ini berimplikasi pada munculnya kebijakan-kebijakan yang kurang menguntungkan sekolah-sekolah yang berada di bawah Departemen Agama.
Salah satu “kekeliruan” kebijakan pendidikan otonomi daerah yang berpengaruh secara  langsung maupun tidak langsung terhadap rendahnya kinerja pendidikan (educational performance) Indonesia adalah kurang diperhitungkannya madrasah dalam sistem pendidikan nasional. Kalau kita berbicara mengenai peningkatan mutu pendidikan dan masalah-masalah kependidikan lainnya seolah-olah semuanya ditentukan oleh sekolah. Padahal di satu sisi madrasah dituntut menghasilkan lulusan yang sama dengan sekolah umum akan tetapi kurang memperoleh dukungan financial yang memadai, lebih-lebih lagi bagi madrasah swasta yang pada umumnya sebagai penyangga financial kehidupan madrasah adalah wali murid.
Menurut Undang-Undang Pemerintahan Daerah No. 32 Tahun 2004 pasal 10 ayat 3 huruf f tentang pembagian urusan pemerintahan, urusan agama termasuk salah satu urusan pemerintahan yang tidak didesentralisasikan atau diotonomkan ke daerah. Hal ini menimbulkan multi interpretasi terhadap kedudukan Pendidikan Agama dalam hal ini madrasah. Di lapangan seringkali terjadi lempar tanggung jawab antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah. Pemerintah daerah berdalih bahwa madrasah tidak menjadi bagian tugasnya karena belum diotonomikan, sedangkan pemerintah pusat mengira jika kebutuhan madrasah juga telah dicukupi oleh daerah sebagaimana mengurus pendidikan di daerah pada umumnya, akhirnya nasib madrasah bertambah sengsara tidak ditopang oleh kedua-duanya, baik pusat maupun daerah.
Sikap diskriminasi pendidikan terhadap madrasah tersebut semakin dipertegas oleh keluarnya Surat Edaran Mentri Dalam Negeri (Mendagri), Moh Ma'ruf, tanggal 21 September 2005 No 903/2429/SJ tentang Pedoman Penyusunan APBD Tahun Anggaran 2006 yang melarang pemerintah daerah untuk mengalokasikan APBD kepada organisasi vertikal. Sementara madrasah  sebagai lembaga pendidikan Islam selama ini berada di bawah koordinasi Departemen Agama yang termasuk organisasi vertikal karena agama adalah bidang yang tidak diberi kewenangan otonomi.
Dari segi anggaran , perolehan anggaran untuk operasional pendidikan terdapat perbedaan antara lembaga-lembaga pendidikan di bawah naungan Departemen Agama dengan sekolah-sekolah di bawah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Sebagai akibat perbedaan anggaran tersebut maka wajar ketika terjadi pula perbedaan dalam pengadaan sarana fisik serta kegiatan pendidikan yang bersifat non fisik lainnya. Masalah lain yang muncul adalah kekurangan tenaga pengajar khususnya guru-guru yang sesuai dengan bidang studi keahlian dan problem-problem lain yang tidak sedikit.
Seharusnya pemerintah bersikap adil, demokratis dan bertangungjawab terhadap penyelenggaraan pendidikan di Indonesia tanpa harus mendiskriminasikan antara lembaga pendidikan yang berada dalam pengelolaan Departemen Agama maupun yang berada dalam pengelolaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan sesuai dengan prinsip-prinsip dasar kebijakan otonomi daerah, karena madrasah juga memiliki kontribusi yang cukup besar dalam mencerdaskan anak bangsa.

Strategi Pengembangan Madrasah
Dengan demikian pendidikan Islam (madrasah) perlu menyusun strategi dan kebijakannya sebagaimana dirumuskan oleh Kelompok Kerja Pengkajian dan Perumusan, Rangkuman Filosofi Depdikbud RI, antara lain:(1) menyelenggarakan pendidikan Islam yang relevan dan bermutu sesuai dengan kebutuhan masyarakat madani indonesia dalam menghadapi tantangan global. (2) menyelenggarakan pendidikan Islam yang dapat dipertanggungjawabkan (accountable) kepada masyarakat sebagai pemilik sumber daya dan dana serta pengguna hasil pendidikan, (3) menyelenggarakan proses pendidikan Islam yang demokratis secara profesional sehingga tidak mengorbankan mutu pendidikan, (4) meningkatkan efisiensi internal dan eksternal  pada semua jalur, jenjang dan jenis pendidikan, (5) memberi peluang yang luas dan meningkatkan kemampuan masyarakat, sehingga terjadi diversifikasi program pendidikan sesuai dengan sifat multikultural bangsa indonesia, (6) secara bertahap mengurangi peran pemerintah (Departemen Agama) enuju ke peran fasilitator dalam implementasi sistem pendidikan Islam, (7) merampingkan birokrasi pendidikan Islam sehingga lebih lentur (fleksibel) untuk melakukan penyesuaian terhadap dinamika  perkembangan masyarakat  dalam lingkungan global.
Disamping strategi tersebut ada beberapa cara yang perlu dipertimbangkan dalam memecahkan problema besar kemadrasahan. Ki Supriyoko (2008) melihat paling tidak ada dua cara yaitu cara knvensional dan cara modern. Cara yang paling konvensional adalah menyampaikan “ilmu umum” yang porsinya sama dengan yang diberikan di sekolah, kemudian ditambah dengan “ilmu agama”. Cara ini bagus akan tetapi hanya efektif dijalankan oleh madrasah dengan siswa yang diasrama alias dipondokkan. Madrasah yang eksistensinya di tengah pesantren biasanya bisa menjalankan cara ini secara produktif; namun pada madrasah nonpesantren yang siswanya tidak menginap, cara ini sangat berat untuk dijalankan.
Cara modern yang bisa dijalankan adalah membenahi metode pembelajaran (learning method), meningkatkan mutu guru (teacher quality), atau melengkapi sarana dan fasilitas belajarnya (facility). Ketiga pembenahan ini bisa dilakukan secara sendiri-sendiri tetapi lebih produktif dijalankan secara terintegrasi. Lebih daripada itu bahkan di antara cara konvensional dengan cara modern tersebut pun bisa dipadukan secara produktif.
Bagaimanapun juga, pembaharuan-pembaharuan yang akan dilakukan dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan Islam (madrasah) harus tetap mempertimbangkan aspek realitas struktural dan kultural yang terjadi. Menurut A. Malik Fajar, ada tiga kepentingan yang perlu diakomodasikan dalam kebijakan mengembangkan madrasah, yaitu: Pertama, kebijakan itu harus memberi ruang tumbuh yang wajar bagi aspirasi utama ummat Islam, yakni menjadikan madrasah sebagai wahana untuk membina ruh atau praktek hidup Islami. Kedua, kebijakan itu memperjelas dan memperkukuh madrasah sebagai ajang membina warga negara yang cerdas, berpengetahuan, berkepribadian,  serta produktif sederajat dengan sistem sekolah. Ketiga, kebijakan itu harus bisa menjadikan madrasah mampu merespon tuntutan-tuntutan masa depan.
Oleh karena itu madrasah juga harus mulai berbenah diri untuk memperbaiki manajemen melalui berbagai upaya alternatif untuk mengatasi berbagai problematika baik secara internal maupun eksternal, sehingga mampu meningkatkan kualitas dan daya saing di era globalisasi.
* Yusuf Hasyim, S.Ag, M.S.I

Tidak ada komentar: