Senin, 27 Oktober 2008

dinamika sistem pendidikan pesantren

Model Penelitian Kultur Pendidikan Islam Dr. Mastuhu Tentang
"DINAMIKA SISTEM PENDIDIKAN PESANTREN"
oleh : Yusuf Hasyim
A. Latar Belakang
Pesantren merupakan salah satu jenis pendidikan Islam di Indonesia yang bersifat tradisional untuk mendalami ilmu agama Islam, dan mengamalkannya sebagai pedoman hidup keseharian, atau disebut tafaqquh fiddin dengan menekankan pentingnya moral dalam kehidupan masyarakat.[1] Hal ini sesuai dengan hakekat sistem pendidikan nasional yang juga mencari nilai tambah melalui pembinaan dan pengembangan SDM secara utuh; jasmaniah dan rohaniah, agar mampu melayani kebutuhan pembangunan dan kemajuan ilmu pengetahuan & teknologi. Maka dari itu upaya pengembangan sistem pendidikan nasional harus dilaksanakan bertolak dari kandungan nilai-nilai sosial budaya bangsa.
Pesantren telah terbukti mampu hidup menyatu dengan masyarakat sekitarnya dalam bidang moral. Namun demikian tantangan nilai yang dihadapi pesantren sebagai akibat dari kemajuan di bidang komunikasi dan informasi yang terjadi pada sistem di luar pesantren telah memaksa pesantren mau tidak mau harus berhubungan atau berkomunikasi dengan berbagai sistem nilai di luarnya. Dunia pesantren berada dalam kehidupan berjuang antara mempertahankan identitasnya dan menghadapi nilai-nilai yang datang dari luar. [2]
Dengan demikian, Mastuhu memandang bahwa pesantren tampaknya berada dalam dua pilihan dilematis: apakah pesantern akan tetap mempertahankan tradisinya, yang mungkin dapat menjaga nilai-nilai agamanya seperti keadaan sekarang, ataukah mengikuti perkembangan dengan resiko akan kehilangan asetnya.
Untuk meneliti lebih jauh tentang dinamika pesantren,
Mastuhu melakukan penelitin terhadap enam pesantren di Jawa Timur sebagai obyek penelitian yakni Pesantren Guluk-Guluk Kab. Sumenep, Pesantren Sukorejo Kab. Situbondo, Pesantren Blok Agung Kab. Banyuwangi, Pesanten Tebu Ireng Kab. Jombang, Pesantren Paciran Kab. Lamongan, dan Pesantren Gontor Kab. Ponorogo. Pemilihan obyek penelitian tersebut didasarkan atas pertimbangan bahwa Jawa Timur merupakan daerah konsentrasi pesantren kedua sesudah Jawa Barat. Menurut Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sebagaimana dikutip oleh Mastuhu, Jawa Timur dapat digolongkan menjadi 3 wilayah budaya Islam : (a) Pesisir, meliputi : Bojonegoro, Tuban, Pasuruan. (b) Madura, meliputi : Madura, Gresik, Surabaya, dan Banyuwangi bagian utara dan timur. (c) Pedalaman, meliputi : Banyuwangi Selatan dan Barat, Jember Selatan, Lumajang, Malang, Blitar, Pacitan, Trenggalek, Jombang, Tulung Agung, Kediri, Nganjuk, Madiun, Ponorogo, sampai daerah perbatasan Jawa Tengah. Selain itu ada pertimbangan lain dalam pemilihan obyek penelitian ini, antara lain : dari segi senioritas (umur pendirian), jumlah santri yang diasuhnya, dan luasnya pengaruh yang dapat dijangkau oleh pesantren tersebut.
B. Kegelisahan Akademik (Sense of Academic Crisis)
Kegelisahan akademik Mastuhu dalam penelitian tentang Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, diawali dengan masalah bahwa pembangunan nasional memerlukan adanya tata pikir yang berwawasan luas, rasional dan hubungan antar manusia yang modern, tidak tergantung pada otoritas perorangan tetapi pada otoritas sistem yang telah disepakati bersama. Namun dalam realitas, masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim terkesan masih terdapat kecenderungan tata pikir yang berwawasan sempit, irasional dan pola hubungan yang tradisional, sehingga terjadi kesenjangan antara tata pikir lama yang berada di kalangan masyarakat luas dan ata pikir baru yang dituntut oleh masyarakat modern.[3]
Demikian juga dengan pesantren yang telah menjadi rujukan moral masyarakat seringkali dinilai kurang berorientasi pada pendidikan keduniawian, terlalu mementingkan orientasi kehidupan ukhrawi. Pesantren dinilai sebagai lembaga pendidikan yang lebih mendidik santrinya untuk menjadi orang saleh yang idealis, dan moralis. [4]
Oleh karena itu menurut Mastuhu, masalah dasar dan makro yang menjadi tanggung jawab sistem pendidikan nasional dan pesantren adalah bagaimana mengubah dan mengembangkan tata pikir dan perilaku bangsa sesuai dengan tantangan pembangunan nasional dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang pemikiran di atas, masalah dasar dan makro yang menjadi tanggung jawab sistem pendidikan nasional dan pesantren dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Apa unsur-unsur yang terdapat di dalam sistem pendidikan pesantren; mana diantaranya yang perlu diubah dan disempurnakan atau diperbaiki lebih dahulu sebelum dikembangkan dalam sistem pendidikan nasional?
2. Apa nilai-nilai luhur yang dikandung dalam unsur-unsur tersebut; dimana diantaranya yang perlu dikembangkan lebih lanjut, yang tidak perlu dipertahankan dan yang perlu diperbaiki lebih dulu sebelum dikembangkan dalam sistem pendidikan nasional?
3. Bagaimana perspektif atau dinamika sistem pendidikan pesantren di dalam menghadapi tantangan zamannya, yaitu kebutuhan pembangunan nasional lengkap dengan kemajuan ilmu dan teknologi yang dibutuhkannya? Apa kemungkinan bentuk-bentuk pendidikan pesantren yang akan terjadi di masa depan sehubungan dengan tantangan zamannya tersebut?
D. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Mencari butir-butir sistem pendidikan pesantren yang kiranya perlu dikembangkan dalam sistem pendidikan nasional, yang selanjutnya disebut butir-butir positif.
2. Mencari butir-butir sistem pendidikan pesantren yang kiranya sudah tidak perlu dikembangkan dalam sistem pendidikan nasional dan perspektif pesantren di masa depan, karena sudah tidak sesuai lagi dengan tantangan zamannya, yang selanjutnya disebut butir-butir negative.
3. Mencari butir-butir sistem pendidikan pesantren yang sekiranya perlu diperbaiki lebih dulu sebelum dikembangkan dalam sistem pendidikan nasional dan sistem pendidikan pesantren dalam menyongsong masa depannya, yang selanjutnya disebut butir-butir plus minus.
4. Mengantisipasi berbagai kemungkinan bentuk-bentuk pendidikan pesantren yang akan terjadi sehubungan dengan tantangan zamannya.
E. Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaan penelitian yang dilakukan Mastuhu antara lain :
1. Untuk memperkenalkan dunia pesantren sebagai salah satu kekayaan budaya bangsa dalam bidang pendidikan.
2. Untuk mengintegrasikan pesantren sebagai salah satu sumber pendidikan moral ke dalam sistem pendidikan umum atau nasional untuk mengimbangi pendidikan ilmu pengetahuan atau akal.
3. Untuk menggali lebih mendalam model pendekatan dengan bahasa agama dan dengan gaya kepemimpinan karismatik yang dipergunakan dalam mengajak umatnya untuk berpartisipasi dalam pembangunan sebagai pengamalan agamanya.
4. Untuk memperoleh bahan pemikiran untuk mengantisipasi bentuk pendidikan Islam di Indonesia pada umumnya dan pesantren pada khususnya di masa depan sesuai dengan tantangan zaman.
F. Telaah Pustaka
Penelitian berjudul Tradisi Pesantren; Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai oleh Zamakhsyari Dhofier. Dalam penelitian ini Zamakhsyari memilih studi lapangan yang dilaksanakan pada bulan September 1977 sampai dengan Agustus 1978 atas dua buah pesantren, yaitu Pesantren Tebuireng di Jombang dan Pesantren Tegalsari di Salatiga.[5] Penelitian ini membahas tradisi pesantren dengan focus utama pada peranan kyai dalam memelihara dan mengembangkan faham Islam tradisional di Jawa, yakni Islam tradisional yang masih terikat kuat dengan pikiran-pikiran para "ulama " ahli fiqih (hukum Islam), hadis, tafsir, tauhid (teologi Islam) dan tasawuf yang hidup antara abad ke 7 sampai dengan abad ke 13.
Hasil penelitian yang kemudian diterbitkan menjadi sebuah buku ini menggambarkan dan mengamati perubahan-perubahan yang terjadi dalam lingkungan pesantren dan Islam tradisional di Jawa yang dalam periode Indonesia modern sekarang ini tetap menunjukkan vitalitasnya sebagai kekuatan sosial, kultural dan keagamaan yang turut membentuk bangunan kebudayaan Indonesia modern.
Zamakhsyari mengemukakan bahwa pada umumnya studi tentang Islam di Jawa selama ini menitikberatkan analisanya dari segi pendekatan intelektual dan pendekatan teologi, sehingga seringkali memberikan kesimpulan yang meleset. Oleh karena itu dalam melakukan penelitian ini Zamakhsyari menggunakan pendekatan sosiologis yang bersifat histories dan etnografis untuk memahami Islam di Jawa, pendekatan ini akan mengurangi kecenderungan menarik kesimpulan yang terlalu cepat sebagaimana dilakukan banyak peneliti sebelumnya.[6]
Perberbedaan penelitian Zamakhsyari Dhofier dengan peneltian Mastuhu dapat dilihat dari obyek dan focus penelitiannya. Pertama, Obyek penelitian Zamakhsyari pada pesantren Pesantren Tebuireng di Jombang dan Pesantren Tegalsari di Salatiga, sedang penelitian Mastuhu pada enam pesantren di Jawa Timur yakni Pesantren Guluk-Guluk Kab. Sumenep, Pesantren Sukorejo Kab. Situbondo, Pesantren Blok Agung Kab. Banyuwangi, Pesanten Tebu Ireng Kab. Jombang, Pesantren Paciran Kab. Lamongan, dan Pesantren Gontor Kab. Ponorogo. Kedua, focus penelitian Zamakhsyari membahas tradisi pesantren dengan focus utama pada peranan kyai dalam memelihara dan mengembangkan faham Islam tradisional di Jawa, sedangkan Mastuhu membahas tentang dinamika sistem pendidikan pesantren dengan focus utamanya pada nilai-nilai dan unsur-unsur sistem pendidikan pesantren. Ketiga, perbedaan pendekatan dan kerangka teori.
G. Pendekatan Penelitian
Penelitian tentang Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren yang dilakukan oleh Mastuhu menggunakan beberapa pendekatan antara lain :
Pertama, pendekatan sosiologis-antropologis. Pendekatan ini digunakan untuk mengeksplorasi rahasia nilai-nilai kehidupan pesantren, dengan asumsi bahwa nilai-nilai kehidupan pesantren itu tersembunyi di balik hubungan antar sesame manusiaatau di balik fenomena-fenomena dan symbol-simbol yang dipergunakan dalam kehidupan mereka.[7]
Kedua, pendekatan fenomenologis-interaksi symbol. Pendekatan ini digunakan untuk menafsirkan setiap makna yang terkandung dalam gejala-gejala dan simbol-simbol dan sistem kehidupan pesantren, dan semua ini berada dalam struktur relevansi sudut pandang sosiologis-antropologis tersebut.
Ketiga, pendekatan grounded research.[8] Pendekatan grounded research mendasarkan semua analisisnya pada data dan fakta yang ditemui di lapangan, jadi bukan melalui ide yang ditetapkan sebelumnya. Metode ini biasanya digunakan dalam penelitian anropologis yang bersifat induktif dan grounded yaitu turun ke lapangan tanpa berpijak pada teori-teori formal yang pada dasarnya sangat abstrak.[9]
Selain metode di atas, dalam mengumpulkan data penelitian Mastuhu juga menggunakan metode wawancara mendalam, observasi, enumerasi, dan genealogi intelektual maupun genealogi sosial.
H. Pembatasan Penelitian dan Landasan Teori
a. Pembatasan Penelitian
Untuk memberikan kejelasan dalam penelitian, maka perlu diberikan batasan-batasan istilah dalam penelitian ini sebagai berikut :
1. Sistem Pendidikan
Sistem pendidikan adalah totalitas interaksi dari seperangkat unsur-unsur pendidikan yang bekerja sama secara terpadu, dan saling melengkapi satu sama lain menuju tercapainya tujuan pendidikan yang telah dicita-citakan bersama para pelakunya. Dalam konteks penelitian ini yang menjadi para pelaku pesantren adalah Kyai (tokoh kunci), Ustadz (pembantu kyai yang mengajar ilmu agama), Guru (pembantu kyai yang mengajar ilmu umum), santri (pelajar), dan pengurus (pembantu kyai yang mengurus kepentingan umum pesantren).
2. Pesantren
Istilah pesantren berasal dari kata santri yang berarti tempat tinggal para santri.[10] Pesantren adalah lembaga pendidikan tradisional Islam untuk memahami, menghayati, dan mengamalkan ajaran agama Islam (tafaqquf fiddin) dengan menekankan pentingnya moral agama Islam sebagai pedoman hidup bermasyarakat sehari-hari.
3. Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren
Dinamika sistem pendidikan pesantren ialah gerak perjuangan pesantren di dalam memantapkan identitas dan kehadirannya di tengah-tengah kehidupan bangsa yang sedang membangun ini sebagai subsistem pendidikan nasional. Kualitas dan dinamika suatu sistem pendidikan pesantren sangat tergantung pada kualitas para pengasuhnya dan bobot interaksi antara unsure-unsurnya, terutama orientasi unsur-unsur organiknya atau para pelakunya dalam menghadapi tantangan pembangunan nasional dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
b. Landasan Teori
Ada beberapa teori yang digunakan dalam penelitian Mastuhu tentang dinamika sistem pendidikan pesantren, antara lain :
Teori tentang Konsepsi Manusia dan Kehidupan, Mastuhu banyak sekali mengutip pendapat tentang konsepsi manusia dari berbagai perspektif, antara lain : Pertama, Pendapat Harun Nasution, yang mengemukakan bahwa dalam konsep Islam manusia terdiri dari tiga unsur yaitu tubuh, hayat, dan jiwa.[11] Kedua, menurut Imam Al Ghazali bahwa salah satu sifat kodrati manusia ialah tidak pernah berhenti bertanya dalam mencari kebenaran. Manusia selalu ingin mengetahui rahasia alam, makin jauh rahasia alam yang dapat diselidiki, makin banyak daerah misteri yang tidak diketahui dan makin tinggi kekagumannya pada pencipta-Nya.[12] Ketiga, Dalam filsafat agama Islam manusia adalah zat theomorfis dalam persaingannya, artinya merupakan kombinasi dua hal yang saling berlawanan. Ia berorientasi untuk menjadi pribadi yang bergerak diantara dua titik ekstrim "Allah – Syaithan".[13]
Teori tentang Pendidikan. Ada beberapa teori pendidikan yang dipakai Mastuhu dalam penelitian ini, yaitu : Pertama, teori tiga aliran pendidikan yakni empirisme dengan teori tabularasa, nativisme dengan teori bakat, dan konvergensi dengan teori realisme. Kedua, dikemukakan teori fitrah menurut ajaran Islam yang berdasar pada filsafat theocentric.
Teori tentang Pesantren. Dalam hal ini Mastuhu memaparkan bahwa sistem pendidikan pesantren tidak terdapat aliran-aliran pendidikan di atas, seluruh pesantren berangkat dari sumber yang sama yaitu ajaran Islam.
I. Ruang Lingkup
Adapun ruang lingkup penelitian untuk menjawab berbagai permasalahan di atas adalah :
  1. Tujuan Pendidikan Pesantren
Mastuhu memandang bahwa tidak pernah dijumpai perumusan tujuan pendidikan pesantren yang jelas dan standar yang berlaku bagi semua pesantren. Tetapi tidak berarti pendidikan pesantren tidak memiliki tujuan, hanya tidak dituangkan dalam bentuk tulisan. Dari hasil wawancara Mastuhu dengan para pengasuh pesantren yang menjadi obyek penelitian, dapat dirumuskan tujuan pendidikan pesantren adalah menciptakan dan mengembangkan kepribadian muslim, yaitu kepribadian yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan, berakhlak mulia, bermanfaat bagi masyarakat atau berkhidmat kepada masyarakat dengan jalan menjadi kawula atau abdi masyarakat, mencintai ilmu dalam rangka mengembangkan kepribaian Indonesia.[14] Mafred Ziemek, memberikan rumusan tujuan pesantren adalah membentuk kepribadian, memantapkan akhlak, dan melengkapinya dengan pengetahuan.[15] Sementara Zamakhsyari Dhofier mengemukakan tentang tujuan pesantren Tebuireng dalam 30 tahun pertama adalah untuk mendidik calon ulama. Sekarang diperluas untuk mendidik para santri agar kelak dapat mengembangkan dirinya menjadi "ulama intelektual" dan "intelektual ulama".[16]
Berkaitan dengan peran tradisionalnya, pesantern kerap diidentifikasi dengan tiga peran dalam masyarakat Indonesia, yaitu : (1) sebagai pusat berlangsungnya transmisi ilmu-ilmu Islam tradisional, (2) sebagai penjaga dan pemelihara keberlangsungan Islam tradisional, (3) sebagai pusat reproduksi ulama.[17]
2. Filsafat dan Tata Nilai
Nilai-nilai yang mendasari pesantren dapat digolongkan menjadi dua kelompok, yaitu : (1) nilai-nilai agama yang memiliki kebenaran mutlak, yang dalam hal ini bercorak fiqih-sufistik dan berorientasi kepada kehidupan ukhrawi. (2) nilai-nilai agama yang memiliki kebenaran relative, bercorak empiris dan pragmatis untuk memecahkan berbagai masalah kehidupan sehari-hari menurut hukum agama.[18] Pesantren memilliki prinsip-prinsip atau nilai yang membedakan dengan lembaga pendidikan lainnya, yaitu : (1) filsafat pendidikan theosentris, suatu pandangan yang menyatakan bahwa semua kejadian, proses dan kembali kepada Tuhan, (2) kesukarelaan (keikhlasan) dan pengabdian, (3) kearifan hidup, (4) kesederhanaan, (5) kkolektivitas, (6) mengatur kegiatan bersama, (7) kebebasan terpimpin, (8) kemandirian, (9) pesantren adalah tempat mencari ilmu dan mengabdi, (10) mengamalkan ajaran agama, (11) tanpa ijazah, dan (12) restu kyai.[19]
3. Struktur Organisasi
Gambaran mengenai struktur pendidikan pesantren antara lain berkaitan dengan status kelembagaan, struktur organisasi, gaya kepemimpinan, dan suksesi kepemimpinan.
Status kelembagaan pesantren dapat dikelompokkan menjadi dua golongan yaitu sebagai milik pribadi dan milik institusi. Dari keenam pesantren obyek penelitian, 4 pesantren merupakan milik pribadi yaitu pesantren Guluk-Guluk, pesantren Sukorejo, pesantren Blok Agung, pesantren Tebu Ireng. Sedang 2 pesantren lainnya adalah milik institusi yaitu pesantren Paciran dan pesantren Gontor.
Struktur organisasi pesantren antara satu dengan lainnya berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan masing-masing, namun demikian ada beberapa kesamaan yang menjadi cirri-ciri umum struktur organisasi pesantren antara lain : (a) terdapat dua sayap sesuai dengan pembagian jenis nilai yang mendasarinya yakni nilai agama dengan kebenaran absolute dan nilai agama dengan kebenaran relatif, (b) sayap 1 mempunyai supremasi terhadap sayap 2 , dan sayap 2 tidak boleh bertentangan dengan sayap 1, (c) sayap 1 dijaga oleh kyai utama dibantu oleh kyaikyai dan ustadz yang telah dinilai kemampuan ilmu agamanya oleh kyai utama, (d) kyai utama merupakan pimpinan spiritual dan tokoh kunci pesantren, (e) pembagian kerja antar unit-unit seringkali kurang tajam dan banyak kesamaan, (f) gaya kerja dalam strruktur organisasi pesantren pada umumnya masih merupakan garis lurus ke atas, artinya bergantung pada atasan langsung.[20]
Dari keenam pesantren terdapat gaya kepemimpinan yang berbeda-beda, secara umum adalah jenis kepemimpinan pesantren adalah kharismatik keagamaan, pada dasarnya gaya kepemimpinan pesantren adalah kombinasi dari gaya kepemimpinan kharismatik, otoriter-paternalistik, dan Laisser-Faire, dan terdapat perbedaan gradual antara gaya kepemimpinan pesantren serta terjadi kecenderungan perubahan dari kharismatik menuju ke rasional, dari otoriter-paternalistik menuju diplomatic-partisipatif, dan dari Laisser-Faire menuju ke birokratik. Estafet pergantian kepemimpinan pesanren terutama pada pesantren milik pribadi adalah dari pendiri – anak – menantu – cucu – santri senior.
4. Kurikulum dan Sumber Belajar
Dari segi kurikulumnya, Arifin menggolongkan pesantren menjadi tiga kelompok yaitu pesantren modern, pesantren takhassus (ilmu alat, ilmu fiqih/ushul fiqh, tafsir/hadits, tasawuf/thariqat dan qira'at al qur'an) dan pesantren campuran.[21]
Jenis pendiidkan pesantren bersifat non formal, hanya mempelajari agama, bersumber pada kitab-kitab klasik meliputi bidang-bidang studi tauhid, tafsir, hadits, fikih, usul fikih, tasawuf, bahasa arab, mantic, dan akhlak. Kurikulum dalam jenis pendidikan pesantren berdasarkan tingkat kemudahan dan kompleksitas ilmu atau masalah yang dibahas dalam kitab, jadi ada tingkat awal, tingkat menengah, dan tingkat lanjut, sedangkan jenis pendidikan madrasah dan sekolah umum bersifat formal dan kurikulumnya mengikuti ketentuan pemerintah.
J. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian Mastuhu tentang dinamika sistem pendidikan pesantren, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Butir-butir positif dari sistem pendidikan pesantren yang perlu dikembangkan dalam Sistem Pendidikan Nasional dengan melalui berbagai penyesuaian dengan tantangan zamannya, antara lain : (a) pandangan bahwa manusia dilahirkan menurut fitrahnya. (b) pandangan bahwa tugas melaksanakan pendidikan dipandang sebagai ibadah. (c) hubungan baik dan saling menghormati antara murid dan guru. (d) lembaga pendidikan pesantren dipandang sebagai tempat mencari ilmu dan mengabdi, bukan mencari kelas dan ijazah. (e) metode belajar halaqah dan sorogan disesuaikan dengan zamannya. (f) nilai pendidikan dengan sistem asrama (hak, kewajiban dan keteladanan). (g) pandangan hidup jangka panjang dan menyeluruh. Sedangkan butir-butir negative dari sistem pendidikan pesantren yang tidak perlu dikembangkan lebih lanjut, antara lain : (a) pandangan tentang ilmu adalah hal yang sudah mapan dan dapat didapat melalui berkah kyai. (b) pandangan tentang apa yang diajarkan kyai, ustadz, dan kitab-kitab agama diterima sebagai kebenaran yang tidak perlu dipertanyakan lagi. (c) pandangan bahwa kehidupan ukhrawi lebih penting dari duniawi. (d) metode belajar dengan menghafal yang diterapkan untuk semua ilmu. (e) kepatuhan mutlak kepada guru dan kehidupan kolektif (asrama). (f) pandangan hidup fatalistis.
2. Butir-butir yang perlu dikembangkan lebih lanjut dari sistem pesantren ke dalam sistem Pendidikan Nasional, tetapi sebelumnya harus disempurnakan lebih dulu, antara lain : (a) sistem asrama harus berfungsi sebagai forum dialog dan pengembangan kepribadian individual dan kolektif, (b) metode halaqah perlu dikembangkan dari metode hafalan menjadi dialog, (c) jenis kepemimpinan kharismatik perlu dilengkapi dengan kepemimpinan rasional.
3. Bentuk pendidikan pesantren di masa depan seharusnya merupakan sekolah (madrasah) dengan kurikulum 30 % moral (agama), 70 % akal (pengetahuan umum), dan dilaksanakan dalam kultur pesantren lengkap dengan konsep asrama masa depan. Untuk itu pesantren perlu mengadopsi dan mengembangkan budaya berfikir deduktif, induktif, kausalitas, dan kritis dari Sistem Pendidikan Nasional.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, M., Kapita Selekta Pendidikan Islam dan Umum, Jakarta: Bani Aksara, 1991.
Dhofier, Zamakhsyari, Tradisi Pesantren, Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, Jakarta: LP3ES, Cet. Keenam, 1994.
Ghazali, Imam, Minhajul Abidin, Jakarta: Darul Ulum Press, 1986.
Jabali, Jamhari Fuad, IAIN dan Modernisasi Islam di Indonesia, Jakarta: Logos, 2002.
Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, Jakarta : INIS, 1994.
Nasution, Harun, "Manusia Menurut Konsep Islam", dalam Islam dan Pendidikan Nasional, Jakarta: Lembaga Penelitian IAIN Jakarta, 1983.
Syari'ati, Ali, Tentang Sosiologi Islam, terjemahan Syaefullah Maryuddin, Yogyakarta: Ananda, 1982.
Taufik, Ahmad, dkk., Metodologi Stufi Islam Suatu Tinjauan Perkembangan Islam Menuju Tradisi Islam Baru, Malang: Bayumedia Publishing, 2004).
Ziemek, Mafred, Pesantren dalam Perubahan Sosial, terjemahan Butche B. Soendjojo, Jakarta: P3M, 1986.


[1] Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, (Jakarta : INIS, 1994), hal. 3
[2] Ibid., hal. 71.
[3] Ibid., hal. 4
[4] Ibid., hal. 4-5
[5] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta: LP3ES, Cet. Keenam, 1994), hal. vii
[6] Ibid.,hal. 2
[7] Mastuhu, Dinamika …….,, hal. 44
[8] Ibid., hal. 7
[9]Ahmad Taufik, dkk., Metodologi Stufi Islam Suatu Tinjauan Perkembangan Islam Menuju Tradisi Islam Baru, (Malang : Bayumedia Publishing, 2004) hal. 16.
[10] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi….., hal. 18
[11] Lebih jelas lihat Harun Nasution, "Manusia Menurut Konsep Islam", dalam Islam dan Pendidikan Nasional, (Jakarta : Lembaga Penelitian IAIN Jakarta, 1983), hal. 59-79.
[12] Lebih jelas baca Imam Al Ghazali, Minhajul Abidin, (Jakarta: Darul Ulum Press, 1986)
[13] Lebih jelas lihat Ali Syari'ati, Tentang Sosiologi Islam, terjemahan Syaefullah Maryuddin, (Yogyakarta: Ananda, 1982), hal. 125.
[14] Mastuhu, Dinamika….., hal. 55-56.
[15] Mafred Ziemek, Pesantren dalam Perubahan Sosial, terjemahan Butche B. Soendjojo, (Jakarta: P3M, 1986), hal. 157.
[16] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi …..., hal. 113.
[17] Jamhari Fuad Jabali, IAIN dan Modernisasi Islam di Indonesia, (Jakarta: Logos, 2002), hal. 97.
[18] Mastuhu, Dinamika…., hal. 58
[19] Mastuhu, Dinamika…., hal. 62-66
[20] Mastuhu, Dinamika…., hal. 73-78
[21] M. Arifin, Kapita Selekta Pendidikan Islam dan Umum, (Jakarta: Bani Aksara, 1991), hal. 251-252.

Tidak ada komentar: