Rabu, 20 Januari 2010

Stigma Politik Gerakan Mahasiswa

Stigma Politik Gerakan Mahasiswa
Oleh : Yusuf Hasyim, S.Ag, M.S.I


Pemerintah Indonesia menetapkan tanggal 9 Desember diperingati sebagai hari anti korupsi nasional yang ditandai dengan dikeluarkannya Inpres No. 5 Tahun 2004 Tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi. Hari anti korupsi global ini tercetus tatkala PBB merativifikasi konvensi anti korupsi di Merida Mexico pada tanggal 9 Desember 2003.
Peringatan Hari Anti Korupsi 9 Desember 2009 saat ini mendapat respon yang sangat luar biasa dari berbagai elemen masyarakat, LSM, dan Mahasiswa dengan menggelar berbagai aksi damai, demonstrasi, dan berbagai aktivitas lain.
Kondisi ini didukung oleh beberapa hal, Pertama, situasi bangsa Indonesia pasca perseteruan Polri-Kejaksaan-KPK dalam penanganan kasus Bank Century. Situasi ini menguntungkan pihak-pihak yang berkepentingan untuk mencari dukungan dan legitimasi publik
Kedua, bagi pihak yang merasa tersingkirkan dalam politik pemerintahan SBY-Boediono, peringatan ini bisa menjadi moment strategis untuk melakukan gerakan-gerakan oposisi yang dilakukan secara massif dan terorganisir. Jika gerakan ini berhasil, mereka kemungkinan besar akan mengangkat grand-isue sebagai pioneer untuk menjatuhkan pemerintahan SBY-Boediono.
Ketiga, di pihak lain pemerintahan SBY-Boediono dengan kabinet barunya sedang berusaha membangun citra publik melalui program 100 hari Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II. Periode ini sangat vital bagi kelanjutan pemerintahannya.

Maka wajar jika pemerintah sangat khawatir dengan rencana aksi-aksi 9 desember 2009 akan ditunggangi oleh kelompok-kelompok sakit hati, sebagaimana Menteri Negara Pemuda dan Olah raga (Menpora) Andi Mallarangeng (Senin,7/12) yang mengingatkan kepada para pemuda dan mahasiswa Indonesia agar berhati-hati dengan kemungkinan adanya penumpang-penumpang gelap yang ikut dalam gerakan antikorupsi itu.
Namun, jika kita analisis lebih jauh, pernyataan Menpora tersebut terlalu berlebihan dalam melihat gerakan mahasiswa. Padahal dalam pandangan penulis, gerakan mahasiswa saat ini telah mengalami berbagai upaya depolitisasi yang menyebabkan hilangnya kekuatan revolusioner sebagaimana terjadi pada era awal reformasi.
Gerakan mahasiswa pasca reformasi seakan-akan telah kehilangan "ruh kemahasiswaan", merapuh dan terkotak-kotak dalam berbagai kepentingan. Hal ini menimbulkan stigma baru bagi gerakan mahasiswa yang seringkali dianggap tidak lagi “murni”.
Depolitisasi Gerakan Mahasiswa
Kekuatan dinamika kejiwaan yang didorong oleh kematangan daya intelektual mahasiswa akan melahirkan gerakan massif yang strategis. Sejarah telah membuktikan, bagaimana mahasiswa melalui gerakan-gerakannya mampu berperan aktif dalam perubahan-perubahan sosial dan politik.

Namun dewasa ini terjadi perubahan orientasi mahasiswa dari idealis-kritis ke arah pragmatis-akademis. Penulis melihat paling tidak ada beberapa faktor yang sangat berpengaruh terhadap perubahan pola gerakan mahasiswa saat ini.
Pertama, faktor kebijakan akademis, yang mau tidak mau menuntut mahasiswa untuk lulus tepat waktu dengan Indek Prestasi Cumlaude. Implikasi kebijakan ini cenderung mengurung mahasiswa untuk aktif kuliah, membaca buku/diktat, menyelesaikan tugas-tugas akademis, dan sebagainya.
Kebijakan akademis lain yang memiliki andil dalam pengebirian gerakan mahasiswa adalah diterapkannya sistem Drop Out (DO) bagi mahasiswa yang tidak mencapai target waktu kelulusan yang ditentukan oleh perguruan tinggi.
Kedua adalah faktor tuntutan dunia kerja. Globalisasi dan industrialisasi tanpa disadari telah merubah paradigma masyarakat tentang dunia pendidikan. Dalam konteks industrialisasi, masyarakat banyak yang memandang bahwa dunia pendidikan merupakan wahana untuk menyiapkan calon-calon tenaga kerja (employer) ketimbang sebagai kawah candradimuka bagi dunia intelektual.
Nampaknya ada indikasi yang signifikan, antara perubahan paradigma masyarakat industri dengan orientasi akademis mahasiswa. Semakin maraknya tuntutan profesionalitas juga telah memaksa kecenderungan mahasiswa untuk tekun belajar di kampus yang berakibat pada semakin melemahnya aksi-aksi sosial.


Lokalisasi Gerakan
Aspek lain yang juga menarik untuk dikaji adalah kecenderungan gerakan mahasiswa yang bersifat lokal. Ada beberapa hal yang menyebabkan terjadinya lokalisasi gerakan mahasiswa.
Pertama, kebijakan otonomi daerah. Otonomi daerah telah menyebabkan terjadinya perbedaan kebijakan antara daerah yang satu dengan daerah yang lain. Dalam konteks gerakan, kebijakan otonomi daerah akan mempersempit ruang gerak mahasiswa untuk melakukan gerakan-gerakan yang bersifat nasional, sehingga mahasiswa lebih banyak dihadapkan secara langsung pada kebijakan-kebijakan yang bersifat lokal kedaerahan dengan mengusung isu-isu yang juga bersifat lokal.
Kedua, kebijakan otonomisasi kampus. Otonomi kampus telah merubah wajah kampus yang dulunya egaliter, elegan, dan merakyat menjadi wajah kampus yang otoriter, elitis, dan cenderung status quo. Otonomi kampus juga berakibat pada mahalnya biaya pendidikan, ketatnya peraturan-peraturan terhadap aktivitas mahasiswa, dan munculnya elit-elit penguasa baru dunia intelektual.
Mahasiswa dimanjakan dengan megahnya fasilitas belajar mengajar, disibukkan dengan aktivitas perkuliahan dan kegiatan-kegiatan kemahasiswaan formal lainnya. Mahasiswa sibuk dengan diskusi dan seminar dalam kampus dan kurang melihat pada dunia riil di luar kampus. Mahasiswa lebih banyak berbicara teori daripada melakukan aksi.
Beberapa faktor di atas bisa menjadi asumsi adanya upaya depolitisasi gerakan-gerakan mahasiswa untuk tidak banyak melakukan aksi turun ke jalan dan lebih banyak terfokus pada dunia kampus.
Barangkali mahasiswa harus mencari format baru gerakan, agar tidak kehilangan identitas yang selama ini dibanggakan masyarakat. Bangkitlah Mahasiswa!!!


 Yusuf Hasyim, S.Ag, M.SI
Penulis adalah Alumni Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta,
dan Wakil Sekretaris Gerakan Pemuda Ansor Cabang Pati

Tidak ada komentar: