Jumat, 29 April 2011

REKONSTRUKSI METODOLOGIS
PEMBELAJARAN PAI DI MADRASAH
Oleh : Yusuf Hasyim, S.Ag, M.S.I

Tulisan ini berawal dari keprihatinan beberapa guru madrasah terhadap kondisi pendidikan yang kering dari nilai-nilai budi pekerti. Ironisnya, kondisi ini juga terjadi di lembaga pendidikan Islam (madrasah) sebagai basis pendidikan agama. Hal ini bisa dilihat dari lemahnya implementasi nilai-nilai agama dan budi pekerti yang diajarkan melalui pembelajaran Pendidikan Agama Islam. Dewasa ini kita masih sering menjumpai perilaku dan karakteristik siswa madrasah yang kurang menunjukkan nilai-nilai yang terkandung dalam materi pendidikan Agama Islam.


Azzumardi Azra (2001;84) melihat ada beberapa persoalan yang muncul dalam pelaksanaan pendidikan agama Islam sekarang ini antara lain adalah terjadinya krisis metodologi dan krisis paedagogik. Pola pelaksanaan pendidikan yang terjadi lebih merupakan proses teaching (pengajaran), daripada proses learning (pendidikan) dan hanya mengisi aspek kognitif-intelektual, tapi tidak mengisi aspek pembentukan pribadi dan watak.

Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Kasinyo Harto (2005;175), bahwa pola pendidikan agama Islam yang semacam itu tidak akan mampu berperan untuk menanamkan nilai-nilai fundamental bagi pembentukan sikap keagamaan peserta didik. Model pengajaran yang cenderung ­normatif-dogmatis dengan fokus utama kognitif dapat dipastikan tidak akan mampu menjadi pembimbing, oasis dan sumber motivasi yang handal bagi peserta didik untuk dapat berbuat dan berperilaku sosial-agamis dalam kehidupan sehari-harinya. Metodologi pengajaran pendidikan agama Islam dengan pola konvensional-tradisional tidaklah menarik bagi anak didik dan akan cepat membosankan. Karena itu perlu adanya terobosan baru sehingga isi dan metodologi pembelajaran menjadi aktual-kontekstual.

Bagian tulisan ini mencoba menguraikan tentang perlunya reformulasi metodologi pembelajaran Pendidikan Agama Islam, khususnya di lembaga madrasah, hal ini karena metode pengajaran memiliki peranan yang sangat strategis dalam menentukan berhasil tidaknya suatu proses belajar mengajar dan merupakan bagian integral dalam suatu sistem pengajaran.


Rekonstruksi Paedagodik

Madrasah secara kelembagaan harus selalu proaktif merespon berbagai perkembangan informasi, ilmu pengetahuan, teknologi dan seni, serta tuntutan desentralisasi dengan tetap memperhatikan ciri khas yang dimiliki. Ciri khas madrasah bukan hanya sekedar menyajikan mata pelajaran agama Islam di dalam lembaga madrasah tetapi yang lebih penting adalah perwujudan dari nilai-nilai keislaman didalam totalitas kehidupan madrasah.

Ada dua unsur penting dalam pembelajaran PAI di madrasah yang perlu dikembangkan secara serius, yaitu unsur yang menyangkut materi pelajaran berupa konsep dan pengertiannya atau keilmuannya dan unsur strategi-metodologi pembelajaran yang berkaitan dengan bagaimana cara mewujudkan materi pendidikan agama Islam dalam diri setiap murid. Oleh karena itu, peranan dan efektivitas pendidikan agama di madrasah sebagai landasan bagi pengembangan spiritual terhadap kesejahteraan masyarakat mutlak harus ditingkatkan, jika pengembangan nilai spiritual dilakukan dengan baik, maka kehidupan masyarakat akan lebih baik.

Oleh karena itu alangkah lebih bijaksananya apabila antara strategi, metode, dan pendekatan itu digunakan secara terintegrasi (terpadu), agar strategi yang satu dapat menutupi kelemahan strategi lainnya sehingga dapat saling menguatkan dalam mencapai hasil pembelajaran akhlak yang maksimal. Begitu pula berlaku untuk metode dan pendekatan. Perlu dipertimbangkan pula tentang faktor perkembangan usia murid dalam memilih strategi, metode, dan pendekatan dalam pembelajaran PAI tersebut. Sesuai dengan tuntutan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) bahwa pembelajaran PAI harus mengarah kepada aspek afektif, psikomotorik dan kognitif anak didik, oleh karena itu cakupan materi PAI pada setiap aspek dikembangkan dalam suasana pembelajaran yang terpadu melalui berbagai pendekatan antara lain Keimanan, Pengamalan, Pembiasaan, Rasional, Emosional, Fungsional,  dan Keteladanan.

Pemakaian metode juga harus sesuai dan selaras dengan karakteristik siswa, materi, kondisi lingkungan, kemampuan, pribadi guru, tujuan, serta sarana dan prasarana yang digunakan. Dalam pengamatan penulis, metodologi yang dipakai guru agama sementara ini lebih banyak sebagai keilmuan yang sasarannya lebih cenderung pada aspek rasio (kognitif), padahal agama yang intinya keimanan lebih banyak menyentuh dimensi rasa (afektif). Oleh karenanya pendekatan yang digunakan harus bersifat integralistik yang menyangkut semua dimensi dan ranah pembelajaran.

Paradigma baru pembelajaran menawarkan kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan kemampuannya. Siswa diberi ruang seluas-luasnya untuk berpikir dan belajar. Di sini, guru berposisi sebagai fasilitator. Siswa dirangsang untuk memperoleh ilmu pengetahuan dari manapun. Untuk ini, siswa diberikan kemampuan untuk menguasai teknik membelajarkan diri secara independen. Dengan pemberian teknik seperti ini anak dilatih untuk berpikir, bertindak dan menghayati pengalaman, bukan semata hapalan isi materi. Hasilnya diharapkan anak dapat berdaya imajinasi yang kreatif, mampu merangsang berpikir, ketekunan, ketelitian dan kemampuan eksploratif.

Pembelajaran dengan paradigma baru seperti itu tidak mudah. Memerlukan banyak faktor yang mendukung untuk keberhasilannya. Dan di antara yang harus diperhatikan ialah strategi dan metode pembelajaran. Strategi dan metode merupakan faktor yang harus ada dalam setiap pembelajaran. Sesederhana apapun suatu pembelajaran, tidak dapat meninggalkan kedua hal tersebut. Bahkan proses belajar dan mengajar yang nampaknya tidak menggunakan strategi dan metode pun, pada hakikatnya, tetap menggunakannya, meskipun secara tradisional dan dalam bentuknya yang paling minimal.

Beberapa Alternatif Pendekatan

Dalam pembelajaran PAI ada beberapa aspek pembelajaran yang harus dipertimbangkan oleh pendidik, antara lain; Pertama, internalisasi doktrin kepada murid dengan pendekatan yang efektif melalui cerita kisah-kisah, perumpamaan, nasehat yang mengarah pada penguatan emosional-spiritual. Kedua, Penampakan contoh (keteladanan) dari berbagai komponen yang ada di sekitar murid dan di lingkungan madrasah. Ketiga, penanaman pembiasaan pada pribadi murid dalam perilaku sehari-hari, hal ini bisa dilakukan melalui kurikulum pengembangan diri. Keempat, pemberian hadiah dan hukuman (reward and punishman). Kelima, penanaman kerangka berfikir rasional (deduktif dan induktif). Keenam, pendekatan penghayatan (reflektif) materi-materi pelajaran yang mengarah pada kecerdasan intuitif dan kesalehan sosial.

Aspek-aspek pembelajaran di atas dapat dijabarkan menjadi sebuah metode atau beberapa pendekatan dengan berbagai sisi kelebihan dan kekurangannya, antara lain:
a.       Pendekatan Doktrinal, maksudnya adalah menanamkan akhlak pada murid dengan jalan memberikan doktrin atau tekanan bahwa yang benar itu tidak perlu dipersoalkan bahkan juga tidak dipikirkan, tetapi cukup diterima seperti apa adanya secara bulat. Pendekatan ini sesuai dengan strategi tradisional, yang mempunyai kelemahan kreatifitas anak jadi tidak muncul dan anak tidak mempunyai wawasan yang cukup luas serta akan terbiasa hanya menerima sesuatu yang datang dari guru.
b.      Pendekatan Otoritatif. Pendekatan yang menggunakan cara kekuasaan. Kebaikan yang datang dari orang yang memiliki otoritas (keahlian, kekuasaan, orang tua) adalah pasti benar dan baik, karena itu perlu diikuti. Pendekatan ini hanya sesuai dengan strategi tradisional dan kurang tepat untuk strategi reflektif dan transinternal. Kelemahan dasar dari pendekatan ini adalah bahwa orang yang memiliki kelebihan otoritas formal itu belum tentu memiliki akhlak yang lebih baik.
c.       Pendekatan Action. Maksud pendekatan ini dengan jalan murid-murid dilibatkan dalam tindakan nyata atau ikut berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat sehingga diharapkan muncul kesadaran dari dalam diri sendiri akhlak kebaikan dan kebenaran. Pendekatan ini sangat tepat untuk mengembangkan akhlak kejasmanian dan kemasyarakatan, khususnya pembentukan nilai sportifitas dan kejujuran yang akan lebih baik jika muncul sendiri dari murid atas hasil interaksi dengan masyarakat. Sikap ini lebih baik dari pada sportifitas dan kejujuran itu muncul atas suruhan atau hasil indoktrinasi.
d.      Pendekatan Kharismatik. Maksudnya, dalam memberikan contoh murid dengan melihat dan mengamati kepribadian sesorang yang memiliki konsistensi dan keteladanan yang dapat diandalkan, akan tumbuh kesadaran untuk menerima akhlak itu sebagai akhlak yang baik dan benar. Suatu kesulitan dari penerapan pendekatan ini adalah sulitnya ditemukan pendidik yang memiliki kharisma seperti yang diharapkan, yakni kharisma yang benar-benar dapat mempengaruhi orang lain secara sadar untuk mengikutinya.
e.       Pendekatan Penghayatan.Maksudnya, pendidikan akhlak dikembangkan dengan jalan melibatkan murid dalam kegiatan empirik keseharian dan lebih menekankan keterlibatan aspek afektifnya dari pada aspek rasionya. Dengan demikian diharapkan tumbuh kesadaran akan kebenaran. Akhlak yang dihasilkan dari pendekatan ini lebih mendalam dari pendekatan sebelumnya, karena murid secara empirik terlibat secara langsung dalam berbagai akibat dari dikembangkannya akhlak yang baik dan yang buruk dalam kehidupan sehari-hari.
f.       Pendekatan Rasional.Maksudnya, penanaman kesadaran tentang akhlak yang baik dan benar ada kalanya harus dimulai daari kesadaran rasional, sebab proses pertumbuhan afektif sebenarnya tidak terlepas sama sekali dengan pertumbuhan rasio. Bila kesimpulan rasionya menanggapi obyek secara salah dan tidak benar maka akan melahirkan sikap afektif yang cenderung menjauh dan tidak menyukai akhlak tersebut, sebaliknya bila kesadaran rasionya menerima obyek akhlak itu sebagai kebenaran maka sikap afektifnya akan mendorong untuk menyenangi, menyetujui, serta menghargai terhadap akhlak tersebut. Pendekatan ini perlu dikembangkan untuk pendidikan ketuhanan sehingga menghasilkan integrasi antara ilmu dan iman, antara kesadaran rasional yang didukung dan dikembangkan ke dalam kesadaran afektif atau akal yang menyatu.
g.      Pendekatan Afektif. Pendekatan akhlak dengan jalan proses emosional yang diarahkan untuk menumbuhkan motifasi untuk berbuat. Akhlak yang mempribadi dari pendekatan ini belum tentu akhlak yang telah terseleksi secara kritis dan filosofis tetapi lebih banyak akhlak yang diterapkan dan berkembang dalam masyarakat. Pendidikan keagamaan dengan pendekatan afektif ini kurang memberikan akar yang kuat dalam pertumbuhan pribadi murid secara utuh.

Pada dasarnya metode Pendidikan Islam sangat efektif dalam membina kepribadian anak didik dan memotivasi mereka sehingga aplikasi metode ini memungkinkan dapat membuka hati manusia untuk menerima petunjuk Ilahi dan konsep-konsep peradaban Islam. Dalam hal ini, Abudurrohman An-Nahlawi dalam bukunya yang diterjemahkan oleh Drs. Syihabuddin (1995; 204) juga menawarkan beberapa metode yang dianggap paling penting adalah  metode dialog Qur’ani dan Nabawi, Metode mendidik melalui kisah-kisah Qur’ani dan Nabawi, metode mendidik melalui perumpamaan Qur’ani dan Nabawi, metode mendidik melalui keteladanan, metode mendidik melalui aplikasi dan pengamalan, metode mendidik melalui ibrah dan nasehat, metode mendidik targhib dan tarhib.

Beberapa metodologi pembelajaran pendidikan agama Islam di atas merupakan upaya alternatif untuk melakukan rekonstruksi metodologis terhadap model pendekatan lama yang lebih bersifat statis-indoktrinatif-doktriner dan masih mengarah pada ranah kognitif dogmatis. Apalagi dalam menanamkan ketauhidan atau aqidah kepada anak didik, seorang guru harus mampu mengembangkan berbagai metode yang variatif dan tepat, karena keyakinan dapat dibangun melalui proses pencarian yang melibatkan indera dan kekuatan akal. Metode doktriner tanpa diikuti oleh bukti-bukti dan alasan-alasan yang cukup tidak akan menghasilkan keyakinan yang kukuh.

Pemilihan serta penentuan setiap strategi dan metode membawa konsekuensi masing-masing. Setiap strategi dan metode, bagaimanapun, tetap menyisakan kelemahan, meskipun telah digunakan berkali-kali. Karena itulah, terutama pengajar dituntut untuk selalu mengevaluasi strategi dan metode yang digunakan: apakah strategi dan metodenya telah sesuai, tepat, ataukah belum. Apakah telah mengantarkan pada pencapaian tujuan pembelajaran ataukah belum.

µ Yusuf Hasyim, S.Ag, M.S.I
Penulis adalah Dewan Eksekutif Madrasah Research  & Development Forum (MaRDeF) Jawa Tengah.

Alamat korespon: Ds. Pekalongan Rt. 03 Rw. 01, Kec.Winong, Kab. Pati. Email : yusufhasy@yahoo.com, yusufhasyim@gmail.com


1 komentar:

otakkiri mengatakan...

masih banyak yang kurang dari bberapa metode....bahkan termasuk dalam meetode klasik.....menurut saya nilai@ afektif,dan psikomotorik dalam keberhasilan pembelajaran juga menekankan pada kesadaran siswa yang bermula dari keberhasilan seorang ustadz dalam mencapai nilai kognitif,,, nah hari ini yang terjadi...pembeljaran masih bnyak yang belum mnyentuh nilai kognitif.oleh karena itu jangan mimpi afektif,dan psikomotorik akan tersentuh....