(Refleksi atas kasus Terorisme di Indonesia)
Oleh : Yusuf Hasyim, S.Ag
Meletusnya
Bom Bali I tahun 2002 dan Bom Bali II 1 Oktober 2005 telah menimbulkan berbagai
spekulasi tentang siapa dalang di balik aksi biadab itu. Kasus ini telah
menyeret Islam pada posisi yang rawan, apalagi dituduhnya gerakan Islam "Al
Qaida" Osama Bin Laden sebagai dalang dibalik pengeboman gedung World
Trade Center (WTC) 11 September 2001, semakin memperkuat tuduhan
barat terhadap gerakan-gerakan Islam sebagai teroris-teroris dunia. Tertangkapnya
Amrozi, Ali Ghufron dan Imam Samudra Cs. tersangka peledakan Bom di berbagai
tempat di Indonesia, disusul Abu Bakar Ba'asyir pimpinan pondok pesantren
Ngruki Solo yang ditengarai sebagai dedengkot munculnya gerakan Islam garis
keras dengan Jama'ah Islamiyahnya semakin memperkuat asumsi bahwa ada keterkaitan
erat antara aksi teror bom dengan gerakan Islam garis keras (Islam radikal).
Dari manakah gerakan ini lahir ? adakah keterkaitannya dengan pesantren?
Pertanyaan diatas kiranya sangat penting dijawab, agar tuduhan-tuduhan miring terhadap aktivitas gerakan Islam tidak menjadi sebuah teori pembenaran bahwa aktivitas gerakan Islam telah membidani lahirnya aksi terorisme. Tuduhan ini pada akhirnya menyeret pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia, masuk dalam wilayah pengawasan ketat pihak keamanan karena dicurigai terlibat dalam penyemaian benih-benih teroris. Hal ini bisa kita analisa dari aksi penyisiran oleh kepolisian terhadap pesantren-pesantren pasca peledakan bom dan aksi terorisme, pesantren selalu menjadi incaran sweeping intelegen. Tindakan sweeping aparat keamanan di pesantren-pesantren tersebut telah menimbulkan kegelisahan para pengasuh pesantren / kyai-kyai yang dibikin repot dengan urusan terorisme. Padahal dunia pesantren sangat tabu dengan istilah-istilah terorisme apalagi sampai pada gerakan aksi teror. Justru aksi sweeping terhadap pesantren-pesantren tanpa adanya bukti-bukti yang kuat telah menjadi bentuk teror baru terhadap dunia pesantren dan memperkuat stigma dunia barat bahwa Islam identik dengan teroris.
Terseretnya
dunia pesantren kedalam masalah terorisme berawal dari ditemukannya data
kelompok Imam Samudra Cs, yang menyebutkan rencana pengeboman serta
keterlibatan sejumlah pesantren dan tokoh masyarakat yang disebut-sebut menjadi
bagian dari gerakannya. Bahkan pada waktu kasus peledakan Bom Bali I,
kepolisian mensinyalir ada 141 pesantren dan 336 kyai di Indonesia yang
terlibat Jamaah Islamiyah (JI) sebuah organisasi yang dicap sebagai terorisme (Warta,
September 2003).
Hal ini dikuatkan oleh pengakuan pelaku peledakan
Bom Bali I di surga bule "Sari
Club" Legian Kuta Bali (Imam
Samudra Cs.) yang mengaku bertanggung jawab atas tragedi Sabtu kelabu itu.
Mereka diyakini oleh Amerika Serikat sebagai anak buah organisasi Al Qaeda
Osama Bin Laden, yang dengan mengatasnamakan agama dan jihad menghalalkan
segala cara. Mereka menyebut aksi peledakan bom adalah bentuk perjuangan suci,
sebagaimana juga dilakukan Osama terhadap Amerika.
Tuduhan miring terhadap pesantren sebagai basis
persemaian gerakan Islam radikal (teroris) semakin menguat dengan terbongkarnya jaringan
Jama'ah Islamiyah dan Majlis Mujahiddin Indonesia yang berpusat di Pesantren
Abu Bakar Ba'asyir Ngruki Solo serta keterlibatan pesantren Al Islam Tenggulun
Lamongan sebagai persembunyian Amrozi, Cs.
Melihat berkembangnya wacana pesantren dan masalah
terorisme di Indonesia, maka kiranya perlu diadakan pembuktian lebih lanjut.
Ada beberapa argumentasi yang bisa kita sangkalkan bahwa dunia pesantren tidak
memiliki karakteristik sebagai sarang teroris; Pertama: visi dan missi
yang dikembangkan oleh pesantren (baik
pesantren salaf maupun pesantren modern) tidak ada satupun yang mengarah pada visi dan missi terbentuknya
khilafah Islamiyah atau negara Islam. Sejarah telah membuktikan hal itu, jika
pesantren memiliki pemikiran radikal untuk mendirikan negara Islam barangkali
sejak dideklarasikannya piagam Jakarta dan perumusan dasar negara ulama-ulama
pesantren tidak akan rela menerima konsep negara republik Indonesia, dan
pancasila sebagai dasar negara. Kedua, aspek
sosial-kultural, dunia pesantren bukanlah sebuah komunitas yang tertutup dengan
komunikasi masyarakat luar, bahkan kita sulit membedakan komunitas pesantren
dengan masyarakat sekitarnya, keduannya saling bersimbiosis. Ini artinya
pesantren tidak pernah membatasi diri pada komunitas atau kelas sosial tertentu,
ia hadir dengan corak yang sangat egaliter. Ketiga, Tradisi Pemikiran Keagamaan. Pesantren identik dengan lembaga pendidikan yang konservatif, tidak peka dengan perubahan dan perkembangan zaman. Padahal dalam
perkembangannya pesantren sangat dinamis. Barangkali sikap konservativ yang
ditampilkan pesantren adalah pada tradisi pemikiran keagamaan yang berhubungan
dengan norma-norma agama yang bersifat dogmatis. Tetapi pada perwujudan
gerakan, pesantren tidak pernah mengambil pola gerakan radikal, sebagaimana
dilakukan oleh kelompok Islam radikal/garis keras. Justru dalam tradisi
pesantren dikenal pola pendekatan tasamuh,
tawazzun,dan tawasuth yang sangat moderat. atau telah teruji sebagai institusi pendidikan
Islam yang pertama di Indonesia, bahkan menjadi tonggak bagi sejarah
perkembangan Islam di Indonesia. Justru kalau kita analisa lebih mendalam dunia
pesantren merupakan "Agent
of religious and social-morality"
yang tidak mungkin melakukan pendidikan yang tak bermoral.
Menelusuri
Gerakan Islam Garis Keras
Aksi
anarkisme, radikalisme, bahkan terorisme seringkali dihubungkan dengan kelompok
gerakan Islam Garis Keras. Sebutan Islam garis keras sering diasumsikan pada
kelompok Islam radikal atau Islam Fundamentalis, yaitu gerakan-gerakan yang
menolak dan membasmi segala sesuatu yang dilihat tidak Islami. Gerakan ini
didorong oleh motivasi imani dengan
tanggung jawab untuk mewujudkan risalah Islam di muka bumi melalui perjuangan
suci untuk merubah situasi yang belum Islami kedalam situasi yang Islami (Abdul
Aziz, dkk.1989).
Secara
umum kaum fundamentalis memiliki tiga
corak gerakan : Pertama, Reformatif yaitu pemurnian ajaran Islam dari
pengaruh unsur-unsur di luar Islam. Kedua, Kesadaran diri untuk keluar
dari isolasi kekuatan lain di luar Islam. Dan Ketiga, pertumbuhan
kepercayaan diri untuk tampil sebagai kekuatan alternatif yang membawa
penyelesaian atas problem-problem yang
dihadapi umat manusia.
Corak
gerakan ini seringkali melahirkan pola-pola gerakan yang cenderung bersifat eksklusif,
simbolis, progressif dan repressif dengan dilandasi oleh nilai-nilai "Jihad
Fisabilillah", "Amar Ma'ruf nahi Munkar"dan
"Militansi Islam" dan lain sebagainya.
Di
Indonesia gerakan ini sering dilakukan oleh kelompok-kelompok Islam militan
atau Islam jama'ah dengan mengangkat simbol-simbol Islam dalam setiap aksi
gerakannya. Target utama gerakan kelompok ini adalah untuk memperjuangkan
berdirinya Negara Islam Indonesia dengan berlakunya sistem khilafah Islam di
Indonesia.
Pada tahun 70-an gerakan Islam Garis Keras (radikal)
telah muncul di Indonesia yang menurut data Badan intelejen gerakan ini
dibangun ala mafia dengan sistem sel terpisah sehingga seringkali tidak saling
mengenal. Gerakan ini awalnya terfokus pada kalangan remaja, tapi pada saat
yang bersamaan gerakan ini juga membina secara khusus sejumlah aktivis
potensial yang direkrut di masjid-masjid melalui kelompok-kelompok kecil (usrah).
Pada akhir tahun 80-an dan awal 90-an terjadi perubahan gerakan, muncul
pertentangan antara kelompok dakwah
kultural dan kelompok yang
menginginkan pencetakan kader-kader militan (radikal) yang dikembangkan oleh kelompok wahaby radikal. Gerakan ini lebih banyak berkembang di Malaysia, Pakistan, Singapura,
Afghanistan dll. Dan tidak memiliki akar yang kuat di Indonesia, karena
kekuatan gerakan Islam di Indonesia telah terorganisir oleh dua organisasi
besar yaitu Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah yang cenderung bersifat moderat.
Munculnya
"gerakan jihad radikal” yang dilakukan oleh kelompok
Islam Militan menurut Prof. Dr. Imam Bawani, MA ada dua faktor yang mendasari; Pertama, Faktor
Internal yakni karena pemahaman seseorang terhadap Islam yang sangat rigid (kaku,
keras). Kedua, Faktor Eksternal yakni ketidakadilan dan kebiadaban Israel
terhadap rakyat Palestina yang dibiarkan terus berlanjut oleh Amerika Serikat
menjadi stimulus terhadap kekerasan kelompok ini.
Dari pemikiran-pemikiran di atas, sangat berlebihan
dan tidak layak kalau pemerintah akan melakukan pengawasan super ketat atau
bahkan membatasi kegiatan pondok pesantren dalam upaya meredam aksi terorisme
di Indonesia, sebagaimana pernyataan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Jika
pembatasan ini dilakukan maka pemerintah akan mengulang kembali sejarah kelabu
dunia pesantren pada masa orde baru. Imbasnya tidak hanya dunia pesantren
dengan khasanah tradisi keagamaan yang akan terpinggirkan, tetapi juga
perkembangan Islam di Indonesia akan mengalami kemunduran. Wallahua'lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar