Siswa 'NAKAL'? Benarkah?
Yusuf Hasyim Addakhil
Profesi GURU merupakan pekerjaan
yang mulia, karena mampu membangkitkan kehendak, perasaan, dan pikiran
seseorang dari yang biasa-biasa menjadi luar biasa, dari yang tidak tahu
apa-apa menjadi pandai segala-galanya. Banyak juga yang merasakan profesi
guru tidaklah mudah dan penuh dengan masalah, karena profesi ini akan
berhadapan dengan manusia yang notabenenya punya keinginan, potensi, kemampuan,
dan kemauan yang berbeda-beda. Kita sering melihat dan mendengar keluh kesah
dan kegelisahan seorang guru, di saat mereka masuk kelas harus mengeluarkan
energy besar bukan karena beban materi pelajaran yang harus diajarkan, tetapi
karena direpotkan oleh siswa didiknya yang dipandang “NAKAL”.
Parameter “NAKAL” seringkali masih diukur
dengan kedisplinan terhadap peraturan dan kemampuan kognitif saja, padahal
banyak anak yang dikategorikan “NAKAL” memiliki kemampuan IQ yang tidak rendah
dan kemampuan psikomotorik otak kanan. Potensi inilah yang seringkali terabaikan
oleh para pendidik, bahwa setiap anak tentu memiliki “fitrah” potensi yang telah dibekali sejak
lahir. Imam Al Ghazali di dalam kitab ‘ikhya’ulumuddin” memberikan gambaran jelas bahwa
manusia memiliki 4 potensi yang bias dikembangkan yakni ; akal (Al ‘Aqlu), hati (Al qalb), ruh (Arruh), dan
nafsu/jiwa (An-Nafs).
Kalau kita lihat dari perspektif Al
Ghazali ini, maka pendidikan di Indonesia masih cenderung berorientasi pada
aspek akal/kognitif an sich. Sehingga
pola pendidikan yang dikembangkan cenderung bersifat formalistic. Hal ini bisa kita lihat dari berbagai
kebijakan pendidikan, diantaranya tentang evaluasi dan system penilaian
pendidikan melalui parameter Ujian Nasional yang dibatasi hanya mata
pelajaran-pelajaran tertentu sebagai penentu akhir, sementara proses pendidikan
yang telah berjalan pada tahun-tahun sebelumnya pun diukur dengan aspek
kognitif.
Paradigma ini menjadi acuan lembaga
pendidikan baik secara konseptual yang terimplementasikan melalui kurikulum
pendidikan maupun secara operasional melalui kebijakan-kebijakan. Wajarlah
kalau model pendidikan
yang dipakai guru masih cenderung berorientasi pada pendidikan dengan akal
ketimbang dengan hati nurani, pembelajaran masih berorientasi pada penyelesaian
materi ketimbang pembentukan pribadi (Character Building)
siswa. Sebenarnya pemerintah telah mengeluarkan kebijakan pendidikan
karakter untuk masuk dalam kurikulum pendidikan, namun kebijakan ini belum
diimplementasikan kedalam system pendidikan Nasional, apalagi menjadi “Mode of Thougt” para pendidik dalam melaksanakan
pembelejaran. Maka wajar, jika pendidikan dikritik banyak ahli baru sekedar
menghasilkan orang-orang yang pintar tapi gak benar, orang cerdas tapi berhati
keras, orang-orang mapan tapi gak sopan, orang-orang yang creator tapi
koruptor. Mari..mendidiklah dengan akal dan hati nurani. (Yusuf Hasyim Addakhil
26/4/12)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar