(KLASIK DAN KONTEMPORER)
Oleh
: Yusuf Hasyim, S.Ag, M.S.I
A. PEMIKIRAN
PENDIDIKAN ISLAM TOKOH KLASIK
I.
KONSEP
PENDIDIKAN IBN MISKAWAIH
1.
Riwayat
Hidup Ibn Miskawaih
Nama lengkapnya adalah Ahmad Ibn Muhammad
Ya’kub Ibn Miskawaih. Ia lahir pada tahun 320 H/932 M. di Rayy, dan meninggal
di Isfahan pada tanggal 9 Shafar tahun 412 H./16 Pebruari 1030 M. Ibn Miskawaih
hidup pada masa pemerintahan dinasti Buwaihi (320-450 H./932-1062 M.) yang
sebagian besar pemukanya bermazhab Syiah.
Latar belakang pendidikannya tidak
terlacak secara rinci. Tetapi ditemukan keterangan, bahwa ia mempelajari
sejarah dari Abu Bakr Ahmad Ibn Kamil al-Qadi, mempelajari Filsafat dari Ibn
al-Akhmar, dan mempelajari Kimia dari Abu Thayyib.
2.
Konsep
Pendidikan Ibn Miskawaih
Konsep pemikiran pendidikan Ibn Miskawaih
dilandasai oleh konsep pemikirannya tentang manusia dan akhlak.
a.
Dasar
Pemikirannya
·
Konsep
manusia
Ibn Miskawaih memandang manusia sebagai
makhluk yang memiliki macam-macam daya. Menurutnya ada tiga macam daya yang ada
pada diri manusia, yaitu: (1) Daya bernafsu (an-nafs al-bahimiyyat) sebagai
daya terendah; (2) Daya berani (an-nafs as-sabu’iyyat) sebagai daya
pertengahan, dan (3) Daya berpikir (an-nafs an-nathiqah) sebagai daya
tertinggi. Ketiga daya ini merupakan unsur rohani manusia yang asal kejadiannya
berbeda. An-Nafs al-bahimiyyat dan an-Nafs as-sabu’iyyat berasal dari unsur
materi, sedangkan an-nafs an-nathiqat berasal dari ruh Tuhan. Karena kedua
an-nafs yang berasal dari materi akan hancur bersama hancurnya badan dan
an-nafs an-nathiqat tidak akan mengalami kehancuran.
·
Konsep Akhlak
Konsep akhlak Ibnu Miskawaih adalah
doktrin jalan tengah. Ibn Miskawaih memberi pengertian pertengahan tersebut
antara lain dengan keseimbangan, moderat, harmoni, utama, mulia, atau posisi
tengah antara dua ekstrem. Akan tetapi ia tampak cenderung berpendapat bahwa
keutamaan akhlak secara umum diartikan sebagai posisi tengah antara ekstrim
kelebihan dan ekstrim kekurangan masing-masing jiwa manusia.
Ada empat keutamaan akhlak (al-iffah,
as-saja’ah, al-hikmah, dan al-‘adalah) merupakan pokok atau induk akhlak yang
mulia. Akhlak yang lainnya merupakan cabang dari empat akhlak mulia tersebut.
b.
Konsep
Pendidikan
Ibn Miskawaih membangun konsep pendidikan
pada pendidikan akhlak. Selengkapnya dapat dikemukakan sebagai berikut:
·
Tujuan
Pendidikan Akhlak
Tujuan pendidikan akhlak yang
dirumuskannya adalah terwujudnya sikap bathin yang mampu mendorong serta
spontan untuk melahirkan semua perbuatan yang bernilai baik, sehingga mencapai
kesempurnaan dan memperoleh kebahagiaan sejati dan sempurna.
Dengan demikian, tujuan pendidikan yang ingin dicapai Ibn Maiskawaih bersifat menyeluruh, yakni mencakup kebahagiaan hidup manusia dalam arti yang seluas-luasnya.
Dengan demikian, tujuan pendidikan yang ingin dicapai Ibn Maiskawaih bersifat menyeluruh, yakni mencakup kebahagiaan hidup manusia dalam arti yang seluas-luasnya.
·
Materi
Pendidikan Akhlak
Ibn Miskawaih menyebut tiga hal pokok
menjadi materi pendidikan akhlaknya. Tiga hal tersebut adalah: (1) hal-hal yang
wajib bagi kebutuhan tubuh manusia, misalnya shalat, puasa dan sa’i(2) hal-hal
yang wajib bagi jiwa, misalnya mengesakan Allah serta motivasi senang kepada
ilmu dan (3) hal-hal yang wajib bagi hubungannya dengan sesama manusia,
misalnya ilmu muamalat, pertanian, perkawinan, saling menasehati, peperangan
dan lain-lain.
Ketiga materi pokok tersebut dapat
diperoleh dari ilmu-ilmu yang secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi
dua. Pertama, ilmu-ilmu yang berkaitan dengan pemikiran (al-ulum al-fikriyah),
dan kedua, ilmu-ilmu yang berkaitan dengan indera (al-ulum al-bissiyat).
·
Pendidik
dan Anak Didik
Pendidik, dalam hal ini guru, instruktur,
ustadz atau dosen memegang peranan penting dalam keberlangsungan kegiatan
pengajaran dan pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan yang ditetapkan.
Sedangkan anak didik yang selanjutnya disebut murid, siswa, peserta didik atau
mahasiswa merupakan sasaran kegiatan pengajaran dan pendidikan merupakan bagian
yang perlu mendapatkan perhatian yang seksama. Perbedaan anak didik dapat
menyebabkan terjadinya perbedaan materi, metode, pendekatan dan sebagainya.
Orang tua, merupakan pendidik yang pertama
bagi anak-anaknya dengan syariat sebagian acuan utama materi pendidikannya.
Kegiatan ini harus dilandasi dengan hubungan yang harmonis dan cinta kasih.
Guru berfungsi sebagai orang tua atau bapak rohani, orang yang dimuliakan dan
kebaikan yang diberikan adalah kebaikan Ilahi.
·
Lingkungan
Pendidikan
Sebagai makhluk sosial, manusia memerlukan
kondisi yang baik dari luar dirinya. Selanjutnya ia menyatakan, bahwa
sebaik-baik manusia adalah orang yang berbuat baik terhadap keluarga dan
orang-orang yang masih ada kaitan dengannya mulai dari saudara, anak atau orang
yang masih ada hubungan dengannya.
Untuk mencapai keadaan lingkungan yang
demikian itu, perlu ada polical will dari pemerintah. Kepala negara dan
aparatnya mempunyai kewajiban untuk menciptakannya. Agama da negara ibarat dua
saudara yang saling melengkapi, satu dengan lainnya saling menyempurnakan.
Cinta kasih kepala negara (pemimpin) terhadap rakyatnya semisal cinta kasih
orang tua terhadap anak-anaknya. Terhadap pemimpin demikian, rakyat wajib
mencintainya semisal cinta anak terhadap orang tuanya.
·
Metodologi
Pendidikan
Beberapa metode yang diajukannya untuk
mencapai akhlak yang baik adalah pertama, adanya kemauan yang sungguh-sungguh
untuk berlatih terus-menerus dan menahan diri (al-‘adat wa al-jihad) untuk
memperoleh keutamaan dan kesopanan yang sebenarnya sesuai dengan keutamaan
jiwa. Kedua, dengan menjadikan semua pengetahuan dan pengalaman orang lain
sebagai cermin bagi dirinya.
II.
KONSEP
PENDIDIKAN AL-QABISI
1.
Riwayat Hidup al- Qabisi
Nama lengkapnya
adalah Abu al-Hasan ‘Ali bin Muhammad Khalaf al-Ma’afiri al-Qabisi. Ia lahir di
Kairawan, Tunisia, pada bulan Rajab, tahun 224 H. bertepatan dengan 13 Mei
tahun 936 M. Ia pernah merantau ke beberapa negara Timur Tengah pada tahun 353
H./963 M. selama 5 tahun, kemudian kembali ke negeri asalnya dan meninggal dunia
pada tanggal 3 Rabiul Awal 403 H. bertepatan dengan tanggal 23 Oktober 1012 M.
Riwayat
pendidikannya, ia pernah berguru kepada salah seorang ulama di Iskandariyah.
Dia emperdalam ilmu agama dan hadits dari ulama-ulama terkenal dari Afrika
Utara, seperti Abul Abbas al-Ibyani dan Abu Hasan bin Masruf ad-Dhibaghi, serta
Abu Abdillah bin Masrur al-Assa’ali dan sebagainya.
Ketika berada
di Kairawan, Tunisia, ia berguru mengenai ilmu fiqh kepada ulama mazhab
Malikiyah yang berkembang di daerah itu, sehingga ia menjadi orang yang juga
ahli di bidang fiqh. Para pengamat sepakat bahwa al-Qabisi termasuk salah
seorang ulama hadits dan fiqh yang terkemuka pada zamannya.
2.
Konsep
Pendidikan al-Qabisi
Beberapa
pemikirannya tentang pendidikan adalah:
a.
Pendidikan
Anak-anak
Al-Qabisi
memiliki perhatian yang besar terhadap pendidikan anak-anak yang berlangsung di
kuttab-kuttab. Menurutnya bahwa mendidik anak-anak merupakan upaya amat
strategis dalam rangka menjaga kelangsungan bangsa dan negara. Oleh karena itu
pendidikan anak harus dilaksanakan dengan penuh kesungguhan dan ketekunan yang
tinggi.
b.
Tujuan
Pendidikan
Al-Qabisi menghendaki agar pendidikan dan
pengajaran dapat menumbuhkembangkan pribadi anak yang sesuai dengan nilai-nilai
Islam yang benar. Lebih spesifik tujuan pendidikannya adalah mengembangkan
kekuatan akhlak anak, menmbuhkan rasa cinta agama, berpegang teguh kepada
ajaran-ajarannya, serta berperilaku yang sesuai dengan nilai-nilai agama yang
murni. Di ssamping itu juga al-Qabisi mengarahkan dalam tujuan pendidikannya
agar anak memiliki keterampilan da keahlian pragmatis yang dapat mendukung
kemampuanya mencari nafkah.
c.
Kurikulum
Al-Qabisi membagi kurikulum menjadi dua bagian:
Al-Qabisi membagi kurikulum menjadi dua bagian:
·
Kurikulum Ijbari, secara harfiah berarti
kurikulum (mata pelajaran) yang merupakan keharusan atau kewajiban bagi setiap
anak. Kurikulum model ini terdiri dari kandungan ayat-ayat al-Quran seperti
sembahyang dan doa-doa, ilmu nahwu dan bahasa Arab.
·
Kurikulum
Ikhtiyari (Tidak Wajib/Pilihan). Kurikulum ini berisi ilmu hitung dan seluruh
ilmu nahwu, bahasa Arab, syair, kisah-kisah masyarakat Arab, sejarah Islam,
ilmu nahwu (grammer) dan bahasa Arab lengkap. Dalam kurikulum ini juga
dimasukkan pelajaran keterampilan yang dapat menghasilkan produksi kerja.
d.
Metode dan
Teknik Belajar
Selain membicarakan materi, ia juga
berbicara mengenai teknik dan langkah mempelajari ilmu itu. Misalnya menghafal
al-Quran dan belajar menulis langkah-langkah adalah berdasarkan pemilihan
waktu-waktu yang terbaik, yaitu waktu pagi-pagi selama seminggu terus-menerus
dan baru beristirahat sejak waktu dhuhur hari Kamis sampai dengan hari Jum’at.
Kemudian belajar lagi pada hari Sabtu pagi hingga minggu berikutnya.
Al-Qibasi juga mengemukakan metode belajar yang efektif, yaitu menghafal, melakukan latihan dan demonstrasi.
Al-Qibasi juga mengemukakan metode belajar yang efektif, yaitu menghafal, melakukan latihan dan demonstrasi.
e.
Percampuran
Belajar antara Murid Laki-Laki dan Perempuan
Percampuran belajar antara murid laki-laki
dan perempuan dalam satu tempat atau co-educational classes juga menjadi
perhatian al-Qabisi. Ia tidak setuju bila murid laki-laki dan perempuan
dicampur dalam kuttab, hingga anak itu belajar sampai usia baligh (dewasa).
f.
Demokrasi
dalam Pendidikan
Menurut al-Qabisi bahwa anak-anak yang
masuk di Kuttab tidak ada perbedaan derajat atau martabat. Baginya pendidikan
adalah hak semua orang tanpa ada pengecualian.
III. KONSEP
PENDIDIKAN AL-MAWARDI
1.
Riwayat Hidup al-Mawardi
Nama lengkapnya
adalah Abu al-Hasan Ali Ibn Muhammad Ibn Habib al-Basry. Ia dilahirkan di
Basrah pada tahun 364 H. bertepatan dengan tahun 974 M. dan wafat di Baghdad
pada tahun 450 H. bertepatan dengan tahun 1058 M.
Al-Mawardi
hidup pada masa puncak kejayaan ummat Islam. Hingga tidak mengherankan ia
tumbuh sebagai pemikir Islam yang ahli dalam bidang fiqh dan sastrawan di
samping juga sebagai politikus yang paiwai.
Pendidikannya
ditempuh di negeri kelahirannya, Basrah. Di kota itu ia sempat belajar hadits
dari beberapa ulama terkenal seperti al-Hasan Ibn Ali Ibn Muhammad Ibn
al-Jabaly. Abu Khalifah al-Jumhy, Muhammad Ibn ‘Adiy Ibn Zuhar al-Marqy,
Muhammad Ibn al-Ma’ally al-Azdy serta Ja’far bin Muhammad ibn al-Fadl
al-Baghdadi. Di samping ahli hadits, ia juga ahli fiqh terkemuka dari mazhab
Syafi’i, sastra dan syair, nahwu, filsafat, dan ilmu sosial.
Karir di bidang
hukm Islam, menghantarkanya sebagai hakim di beberapa kota, seperti di Utsuwa
(daerah Iran) dan di Baghdad. Bahkan ia diminta untuk menyusun kompilasi hukum
Islam mazhab Syafii, yang dinamakan al-Iqra’.
Karirnya tidak
berhenti di situ, pada masa Khalifah al-Qaim (1031-1074), ia diserahi tugas
sebagai duta diplomatik untuk melakukan negosiasi dalam menyelesaikan berbagai
persoalan dengan para tokoh pemimpin dari kalangan Bani Buwaihi Seljuk Iran. Ia
kemudian diberi gelar Afdal al-Qudhat (Hakim Agung).
Selain sebagai
seorang ulama yang waktunya banyak digunakan untuk keperluan pemerintah dan
mengajar, ia tercatat sebagai ulama yang banyak melahirkan karya-karya tulisnya
dengan ikhlas. Menurut sejarah, tidak kurang 12 judul, yang dapat dibagi ke
dalam tiga kelopok pengetahuan.
Pertama, kelompok pengetahuan agama. Misalnya kitab tafsir An-Nukat wa al-‘Uyun, al-Hawy al-Kabir (buku fiqh dalam mazhab Syafii), kitab al-Iqra’ (ringkasan dari kitab al-Hawy), kitab al-Qadi, dan kitab A’lam an-Nubuwwah.
Pertama, kelompok pengetahuan agama. Misalnya kitab tafsir An-Nukat wa al-‘Uyun, al-Hawy al-Kabir (buku fiqh dalam mazhab Syafii), kitab al-Iqra’ (ringkasan dari kitab al-Hawy), kitab al-Qadi, dan kitab A’lam an-Nubuwwah.
Kedua, kelompok
pengetahuan tentang politik dan ketatanegaraan. Misalnya kitab al-Ahkam
al-Sulthaniyah, Nasihat al-Muluk, Tashil an-Nazar wa Ta’jil az-Zafar dan
Qawanin al-Wizarah wa as-Siasat al-Malik.
Ketiga,
Kelompok pengetahuan bidang akhlak. Misalnya kitab an-Nahwu, al-Awsat wa
al-Hikam dan al Bughyah fi Adab al-Dunya wa al-Din.
2.
Pemikiran
al-Mawardi dalam Bidang Pendidikan
Pemikiran
al-Mawardi dalam bidang pendidikan sebagian besar terkonsentrasi pada masalah
etika hubungan guru dan murid dalam proses belajar mengajar. Pemikiran ini
dapat dipahami, karena dari seluruh aspek pendidikan, guru memegang peranan amat
penting, bahkan berada pada garda terdepan.
Al-Mawardi
memandang penting seorang guru yang memiliki sikap tawadlu (rendah hati),
ikhlas serta menjauhi sikap ujub (besar kepala). Sikap tawadlu akan menyebabkan
guru bersikap demokratis dalam menghadapi murid-muridnya. Sikap demokratis ini
mengandung makna bahwa guru berusaha mengembangkan individu seoptimal mungkin.
Guru menempatkan dirinya sebagai pemimpin dan pembimbing dalam proses belajar
mengajar.
Dengan
keikhlasan, guru akan tampil melaksanakan tugasnya secara profesional. Hal ini
ditandai oleh beberapa sikap sebagai berikut:
Pertama, selalu
mempersiapkan sesuatu yang diperlukan guna mendukung PBM. Kedua, disiplin
terhadap peraturan dan waktu. Ketiga, penggunaan waktu luangnya akan diarahkan
untuk kepentingan profesional. Keempat, ketekunan dan keuletan dalam bekerja.
Kelima, memiliki daya kreasi dan inovasi yang tinggi.
IV. KONSEP
PENDIDIKAN IBN TAIMIYAH
1.
Riwayat
Hidup Ibn Taimiyah
Nama lengkapnya
adalah Taqiyuddin Ahmad bin Abd al-Halim bin Taimiyah, lahir di kota Harran,
Wilayah Siria, pada hari senin 10 Rabiul Awwal 661 H. bertepatan dengan 22
Januari 1263 M dan wafat di Damaskus pada malam Senin, 20 Zulqaidah, 728 H.
bertepatan dengan 26 September 1328 M. Ayahnya bernama Syihab a-Din ‘Abd
al-Halim Ibn ‘Abd as-Salam (627-672 H.) adalah seorang ulama besar yang
mempunyai kedudukan tinggi di Masjid Agung Damaskus. Di samping sebagai khatib
dan imam besar di masjid tersebut juga sebagai guru dalam bidang tafsir dan
hadits. Bahkan direktur Madrasah Dar-al-Hadits as-Sukkariyah, yang bermazhab
Hambali. Di sinilah pertama kalinya Ibn Taymiyah dididik.
Kakeknya, Saikh
Majd ad-Din al-Barakat ‘Abd al-Salam Ibn ‘Abd Allah (590-652 H.), dipandang
sebagai Mujtahid Mutlak dan alim terkenal yang ahli tafsir (mufassir), ahli
hadits (muhaddits) dan ushul fiqh (ushuli), ahli fiqh (faqih), ahli nahwu
(nahwyy), dan pengarang (mushannif). Sedangkan pamannya dari jalur bapak yang
bernama al-KhatibFakhr al-Din dikenal sebagai cendekiawan muslim populer dan
pengarang yang produktif pada masanya. Demikian pula Syaraf ad-Din Abd Allah
Ibn Abd al-Halim, adik laki-laki Ibn Taimiyah, ternyata juga dikenal sebagai
ilmuwan muslim yang ahli dalam bidang ilmu kewarisan Islam (faraid), ilmu-ilmu
hadits (ulum al-hadits) dan ilmu pasti (ar-Riyadiyah).
Ibn Taimiyah
sendiri sejak kecil dikenal sebagai anak yang cerdas, tinggi kemauan dalam
studi, tekun dan cermat dalam memecahkan masalah, tegas dan teguh dalam
menyatakan dan mempertahankan pendapat (pendirian), ikhlas dan rajin dalam
beramal shaleh, rela berkorban dan siap berjuang untuk jalan kebenaran.
Pendidikannya
diperoleh dari sejumlah guru terkenal, di antara adalah Syam ad-Din Abd
ar-Rahman Ibn Muhammad ibn Ahmad al-Maqdisi (597-682 H.) seorang ahli hukum
Islam (faqih) ternama dan hakim agung pertama dari kalangan mazhab Syafii di
Siria, setelah Sultan Baybars (1260-1277 M) melakukan pembaharuan di bidang
peradilan. Muhammad Ibn ‘Abd al-Qawi Ibn Badran al-Maqdisi al-Mardawi (603-699
H), seorang muhaddits, faqih, nahwyy dan mufti serta pengarang terpandang pada
masanya, juga merupakan salah seorang guru Ibn Taimiyah. Demikian pula al-Manja
Ibn Utsman Ibn As’ad al-Tanawukhi, seorang ahli fiqh dan ushul al-fiqh serta
ahli tafsir dan ilmu tata bahasa; dan Muhammad Ibn Ismail Ibn Sa’ad al-Syaibani
(687-704 H), seorang muhaddits, tata bahasa, sastra, sejarah dan kebudayaan.
Masih banyak lagi gurunya yang tidak dapat disebutkan di sini.
2.
Konsep
Pendidikan Ibnu Taimiyah
a.
Falsafah Pendidikan
Dasar atau asas yang digunakan sebagai
acuan falsafah pendidikan oleh Ibn Taimiyah adalah ilmu yang bermanfaat sebagai
asas bagi kehidupan yang cerdas dan unggul. Hal ini dibangun atas dua hal, (1)
al-Tauhid (mengesakan Allah), (2) tabiat insaniyah (kemanusiaan).
b.
Tujuan Pendidikan
·
Tujuan Pendidikan Individual
Diarahkan pada terbentuknya pribadi muslim
yang baik, yaitu seseorang yang berfikir, merasa dan bekerja pada berbagai
lapangan kehidupan pada setiap waktu sejalan dengan perintah al-Quran dan
al-Sunnah.
·
Tujuan Sosial
Pendidikan harus diarahkan pada terciptanta
masyarakat yang bak sejalan dengan ketentuan al-Quran dan al-Sunnah.
c.
Kurikulum
Kurikulum atau materi pelajaran yang harus diberikan kepada anak didik adalah mengajarkan mereka sesuai yang diajarkan Allah kepadanya, dan mendidiknya agar selalu patuh dan tunduk kepada Allah dan rasulNya. Hal ini bisa dilakukan melalui empat tahap; Pertama, kurikulum yang berhubungan dengan mengesakan Allah (al-Tauhid). Kedua, kurikulum yang berhubungan dengan mengetahui secara mendalam (ma’rifat) terhadap ilmu-ilmu Allah. Ketiga, Kurikulum yang berhubungan dengan upaya yang mendorong manusia mengetahui secara mendalam (ma’rifat) terhadap kekuasaan (qudrat) Allah. Keempat, Kurikulum yang berhubungan dengan upaya yang mendorong untuk mengetahui perbuatan-perbuatan Allah.
Kurikulum atau materi pelajaran yang harus diberikan kepada anak didik adalah mengajarkan mereka sesuai yang diajarkan Allah kepadanya, dan mendidiknya agar selalu patuh dan tunduk kepada Allah dan rasulNya. Hal ini bisa dilakukan melalui empat tahap; Pertama, kurikulum yang berhubungan dengan mengesakan Allah (al-Tauhid). Kedua, kurikulum yang berhubungan dengan mengetahui secara mendalam (ma’rifat) terhadap ilmu-ilmu Allah. Ketiga, Kurikulum yang berhubungan dengan upaya yang mendorong manusia mengetahui secara mendalam (ma’rifat) terhadap kekuasaan (qudrat) Allah. Keempat, Kurikulum yang berhubungan dengan upaya yang mendorong untuk mengetahui perbuatan-perbuatan Allah.
Berdasarkan tujuan dan kurikulum tersebut,
ia membagi ilmu melalui kekhususannya, (1) ilmu-ilmu yang dapat menyempurnakan
agama dan akal, (2) ruang lingkup kurikulum, dibagi menjadi empat bagian; (a)
Ilmu Ijbariyah (ilmu yang dipaksakan) dan (b) Ilmu Ikhtiyariyah (ilmu yang
diusahakan).
d.
Bahasa
Pengantar dalam Pengajaran
Ibn Taimiyah menganjurkan agar penggunaan
bahsa Arab dalam pengajaran dan percakapan. Hal ini didasarkan pada
pandangannya bahwa penguasaan secara mendalam dan teliti terhadap bahas Ara
merupakan tuntutan Islam dan sesuatu yang fardhu ‘ain hukumnya di kalangan
ulama salaf.
e.
Metode
Pengajran
Menurut Ibn Taimiyah, pada garis besarnya
metode pengajaran dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu metode ilmiah dan
metode iradiyah. Hal ini didasarkan pada pemikirannya bahwa al-qalb (hati)
merupaka alat untuk belajar. Hatilah yang mengendalikan anggota badan dan
mengarahkan jalannya.
f.
Etika Guru dan Murid
·
Seorang
alim merupakan khulafa’ hendaknya senantiasa saling menolong dalam kebaikan dan
ketaqwaan, jangan saling menjegal dan menyakitinya dengan ucapan maupun
perbuatan tanpa hak.
·
Seorang
alim hendaknya menjadi panutan bagi murid-muridnya.
·
Seorang
alim hendaknya menyebarkan ilmunya tanpa main-main atau sembrono.
·
Seoang
alim hendaknya membiasakan menghafal dan menambah ilmunya serta tidak
melupakannya.
g.
Etika
Murid terhadap Guru
·
Seorang
murid hendaknya memiliki niat yang baik dalam menuntut ilmu
·
Seorang
murid hendaknya mengetahui tentang cara-cara memuliakan gurunya serta berterima
kasih kepadanya.
·
Seorang
murid hendaknya mau menerima setiap ilmu, sepanjang ia mengetahui sumbernya.
·
Seorang
murid hendaknya tidak menolak atau menyalahkan mazhab yang lain atau memandang
mazhab lain sesat.
V. KONSEP
PENDIDIKAN IBNU KALDUN
1.
Biografi
Singkat Ibnu Khaldun
Nama
lengkap Ibnu Kaldun adalah Abdurrahman Zaid Waliyuddin Bin Khaldun, lahir di
Tunisia pada tanggal 1 Ramadhan732 H, bertepatan dengan tanggal 27 Mei 1332 M.
nama kecilnya adalah Abdurrahman, sedangkan Zaid adalah nama pangilan keluarga
sedangkan waliyuddin merupakan kehormatan yang dianugrahkan oleh raja Mesir
sewaktu beliau diangkat menjadi ketua pengadilan di Mesir.
Berbagai
macam disiplin ilmu agama telah beliau pelajari seperti ilmu bahasa Arab, Fiqih
madzhab Maliki, ilmu tafsir dan hadist, bahkan ilmu yang ada di perguruan
tinggi juga beliau capai seperti filsafat, fisika dan matematika dsb.
2.
Pemikiran
Ibnu Khaldun Tentang Pendidikan Islam
a.
Falsafah
Pendidikan Islam
Pendidikan
menurut Ibnu Khaldun intinya bukanlah suatu aktivitas yang semata-mata bersifat
pemikiran dan perenungan yang jauh dari aspek-aspek pragmatis dalam kehidupan
labih jelasnya pendidikan bukan harus dibatasi dalam hal belajar mengajar
melainkan suatu proses dimana manusia secara sadar menangkap, menyerap, dan
menghayati peristiwa-peristiwa alam sepanjang zaman.
b.
Tujuan
Pendidikan Islam
Tujuan
pendidikan islam menurut Ibnu Khaldun adalah meliputi lima hal:
1)
Menyiapkan
seseorang dari segi keagamaan.
2)
Menyiapkan
seseorang dari segi akhlak
3)
Menyiapkan
seseorang dari segi kemasyarakatan dan sosial
4)
Menyiapkan
seseorang dari segi pekerjaan
5)
Menyiapkan
seseorang dari segi pemikiran dan kesenian supaya bisa berkreasi
Jadi,
tujuan pendidikan bukan hanya untuk mencapai ilmu pengetahaun saja, namun lebih
jauh dari pada itu semua yaitu seseorang harus mengamalkannya dalam akhlak
sehari-hari serta memiliki kemampuan untuk bisa berkreasi dan bekerja demi
kehidupannya.
c.
Metode
Pengajaran
Metode
pengajaran yang ditawarkan oleh Ibnu Khaldun melalui tiga langkah pokok:
1)
Didalam
memberikan pengetahuan kepada anak didik, pendidik hendaknya memberikan
pengetahuan dan problem secara umumnya saja secara menyeluruh.
2)
Anak didik
ikut interaktif dalam pemecahan masalah dan pengetahuan yang bersifat umum tadi
dengan bantuan pendidik.
3)
Pendidik
menyampaikan pengetahuan secara detial dan lebih terperinci serta menyeluruh
agar anak didik mendapat pengetahuan yang lebih sempurnah.Maka dari keterangan
itulah, Ibnu khaldun menawarkan metode yang bersifat diskusi, dimana dalam
penyampaian pembelajaran, pendidik bukanlah satu-satunya orang yang berperan
aktif namun anak didik juga diikut sertakan dalam proses pembelajaran dan
pemecahan masalahnya.
d.
Kurikulum
Kurikulum
pada menurut Ibnu Khaldun adalah mencakup 4 hal diantaranya harus sesuai dengan
tujuan pendidikan yang diinginkan, bertumpu pada ilmu pengetahuan,
makhlumat-maklumat (pembelajaran melalui kitab-kitab tradisional) serta
memberikan tambahan berupa kegiatan-kegiatan penunjang. Yang terpenting menurut
beliau adalah kurikulum dasar yakni berupa kurikulum campuran yang harus
dipegang bagi anak-anak pada umumnya, yaitu pengkombinasian pembelajaran al
Qur’an dan bahasa Arab dengan kaidah-kaidah dasar ilmu pengetahuan
B. PEMIKIRAN
PENDIDIKAN ISLAM TOKOH KONTEMPORER
I.
KONSEP PENDIDIKAN SYED NAQUIB AL-ATTAS
1. Riwayat Hidup
Beliau adalah
ilmuan Malaysia yang lahir di Bogor, Jawa Barat pada 5 September 1931. Pada
usia lima tahun ia pindah ke Malaysia, tapi pada masa pendudukan Jepang ia
kembali ke Jawa Barat dan belajar agama serta bahasa Arab di pesantren al-Urwah
al-Wusqa di Sukabumi. Tahun 1946 ia kembali ke Malaysia dan hidup bersama
keluarga Tengku Abdul Aziz yang saat itu menjabat sebagai Menteri Besar Johor.
Pendidikan
formalnya dimulai di English College Johor, kemudian The Royal Militery Academy
Sandhurst Inggris (selesai tahun 1955). Univesitas Malaya, Malaysia kajian
ilmu-ilmu sosial (1057-1959). MA dari McGill University Kanada di bidang
teologi dan metafisika. Ph.D di The School of Oriental and Afican Studies
Universitas London Inggris (1966) dengan disertasi “The Misticism of Hamzah
Fansuri).
2. Pemikiran Naquib al-Attas
a.
Islamisasi Ilmu
Menurutnya, islamisasi ilmu berarti
pembebasan ilmu dari penafsiran-penafsiran yang didasarkan pada ideologi
sekuler dan dari makna-makna serta ungkapan manusia sekuler. Gagasan ini muncul
karena tidak adanya landasan pengetahuan yang bersifat netral, sehingga ilmupun
tidak dapat bebas nilai. Pengetahuan dan ilmu yang tersebar ke tengah
masyarakat dunia—termasuk dunia Islam telah diwarnai oleh corak budaya dan
peradaban Barat. Sementara peradaban sendiri telah melahirkan kebingungan,
kehilangan hahekat, menyebabkan kekacauan hidup manusia, kehilangan kedamaian
dan keadilan. Pengetahuan Barat didasarkan pada skeptisme lalu diilmiahkan
dalam metodologi.
Naquib al-Attas membagi ilmu menjadi dua
bagian:
·
Ilmu-Ilmu
Agama; 1. Al-Quran; qiraat, tafsir dan takwil, 2. Hadits; sirah nabawi, sejarah
dan pesan-pesan para rasul sebelumnya dan periwayatan otoritatif, 3. Syariah;
hukum-hukum, prinsip-prinsip dan praktek-praktek Islam, 4. Teologi; tauhid
(tentang Tuhan, wujudNya sifatNya, asma-asmaNya, dan perbuatan-perbuatanNya), 5.
Metafisika Islam (tasawuf), psikologi, kosmologi, dan ontology, 6. Ilmu-ilmu
linguistik; tata bahasa, leksikografi, dan kesusasteraan
·
Ilmu-ilmu
Rasional; 1. Ilmu-ilmu kemanusiaan, 2. Ilmu-ilmu alamiah, 3. Ilmu-imu terapan, 4.
Ilmu-ilmu teknologi,
Ide
Islamisasi mengarah pada ilmu-ilmu kelompok kedua. Hal ini dikarenakan
ilmu-ilmu rasional, intelektual dan filosofi dengan segenap cabangnya mesti
dibersihkan dari unsur-unsur dan konsep-konsep kunci—yaitu Islam. Islamisasi
ilmu adalah suatu proses eliminasi unsur-unsur dan unsur pokok yang membentuk
kebudayaan Barat dan ilmu-ilmu yang dikembangkan; kemudian memasukkan
unsur-unsur dan konsep-konsep Islam.
Istilah-istilah
Islam merupakan pemersatu ummat muslm sedunia, karena tidak dapat diterjemahkan
secara memuaskan dalam bahasa manapun. Sehingga ia tetap seperti itu dengan
merujuk pemahaman seperti bahasa aslinya. Kata “Allah” ukan buatan manusia.
Jadi tidak cukup diterjemahkan dengan “God” atau “Tuhan” dengan “T” besar ala
Nurchalish Madjid.
b.
Sekularisasi
Istilah
sekuler berasal dari kata latin “saeculum” yang bermakna dua konotasi waktu dan
lokasi; waktu menunjuk kepada pengertian ‘sekarang’ atau ‘kini’ dan lokasi
menunjuk pada pengertian ‘dunia’ atau ‘duniawi’. Jadi saeculum berarti ‘zaman
ini’ atau ‘masa kini’ yang menunjukkan pada peristiwa-peristiwa dunia ini. Sekularisasi
berarti pembebasan manusia, pertama-tama dari agama dan kemudian dari
metafisika yang mengatur nalar dan bahasanya.
II. KONSEP
PENDIDIKAN HASYIM ASY’ARI
1.
Biografi
Singkat Hasyim Asy’ari
Hasyim
Asy’ari dilahirkan di Desa Nggedang Jombang Jawa Timur, tepatnya pada tanggal
24 Dzulhijjah 1287 H bertepatan tanggal 14 februari 1871 M.
Beliau
belajar agama dimulai dari ayahnya sendiri yaitu Kyai Asy’ari dan kakeknya
yaitu Kyai Utsman. Kemudian beliau merantau keberbagai macam pondok pesantren
di Indonesia, diantaranya Langitan Tuban, Wonokoyo Probolinggo, trenggilis
Semarang Bangkalan Madura, Siwalan panji kabupaten Sidoarjo.
Beliau
juga berguru ke Makkkah tentang ilmu hadist dan bahasa Arab kepada Syeh Ahmad
Khattib dan Syeh Mahfud Attarmisi sekitar sembilan tahun. Kemudian kembali ke
tanah air dengan mendirikan pondok pesantren Tebuireng Jombang pada tahun 1899
M.
2.
Pemikiran
Hasyim Asy’ari Tentang Pendidikan Islam
a.
Falsafah
Pendidikan Islam
Pendidikan
Islam intinya adalah niat dan amal serta yang lebih penting adalah harus
didasari oleh etika dalam pendidikan. Pemikiran seperti itu diilhami oleh imam
Ghoyali dimana beliau lebih menekankan hati demi lancarnya proses belajar
mengajar. Sehingga dalam hal ini Hasyim Asy’ari juga menekankan bahwa dalam belajar
hati harus ditata untuk mencapai ridhonya Allah SWT.
b.
Tujuan
Pendidikan Islam
Tujuan
pendidikan haruslah berorientasi pada pengamalan untuk mendekatkan diri kepada
Allah SWT. Dengan tidak mengesampingkan kebahagiaan dunia dan akhirat. Lebih
penting pula bahwa peserta didik harus memiliki etika dalam proses belajar
mengajar baik terhadap guru, teman maupun kitab yang dipelajari. Jadi selain
mengamalkannya, peserta didik harus memiliki akhlak yang baik.
c.
Metode
Pengajaran
Ada
dua gagasan besar yang dicetuskan oleh Hasyim Asy’ari dalam segi metode
pembelajaran di pesantren yang beliau didirkan, diantaranya:
a)
Metode
Musyawarah atau Diskusi. Metode ini meskipun buhan hal baru nampaknya, namun
bagi beliau ini merupakan gagasan yang cukup fenomenal mengingat selama ini
metode pembelajaran pendidikan dilakukan melalui metode ceramah saja, jadi
metode mausyawarah dan diskusi yang ditawarkan beliau merupakan metode baru
yang praktis untuk menunjang kreatifitas dan kritisitas peserta didik.
b)
Sistem
Madrasah. Sistem madrasah dilakukan di dalam kelas, hal ini menafikan sistem
pendidikan sebelumnya yang menggunakan Musholla ataupun Masjid sebagai lahan
utama terbentuknya pembelajaran. Hal ini beliau lakukan guna memformalkan
pendidikan Islam yang akan diterima oleh
peserta didik.
d.
Kurikulum
Meskipun
tidak dengan jelas disebutkan bagaimana kurikulum yang ditawarkan oleh Hasyim
Asy’ari, namun kurikulumnya nampak pada praktek dilapangan selama ini.
Kurikulum pendidikan Islam versi beliau meliputi beberapa hal, diantaranya
pelajaran yang bisa memberikan perbaikan hati (batin) sehingga peserta didik
dapat mudah menerima pelajaran serta dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Yang kedua, yakni pembelajaran yang mengarahkan pada terbentuknya akhlakul
karimah, terutama dalam proses belajar mengajar.
III. KONSEP
PENDIDIKAN MOHAMMAD ARKOUN
1.
Biografi
Mohammad Arkoun
Mohammed Arkoun lahir pada tanggal 1 Pebruari 1928 di
Mourirt Kabilia, Aljazair. Kabilia merupakan daerah pegunungan berpenduduk
Berber, terletak di sebelah Timur Aljir. Bahasa yang digunakan adalah non-Arab
(‘ajamiyah).Setelah tamat sekolah dasar, Arkoun melanjutkan ke sekolah menengah
di kota pelabuhan Oran, kota utama Aljazair bagian Barat sejak 1950-954 ia
belajar bahasa dan sastra Arab. Tahun 1962 ia menjadi mahasiswa di Paris. Tahun
1961 ia diangkat menjadi dosen di universitas Sorbonne Paris. I meraih gelar
doktor sastra pada 1969. Sejak 1970-1972 Arkoun mengajar di Universitas Lyon.
Kemudian ia kembali sebagai guru besar dalam bidang sejarah pemikiran Islam.
2.
Pemikiran
Arkoun
Pemikiran Arkoun sangat kentara dipengaruhi oleh gerakan (post strukturalis) Perancis. Metode historisisme yang dipakainya adalah formulasi ilmu-ilmu sosial Barat modern ciptaan para pembaharu (post) strukturalis Perancis. Arkoun banyak meminjam konsep-konsep (post) strukturalisme untuk kemudian diterapkannya ke dalam wilayah kajian Islam. Konsep-konsep seperti korpus, epistema, wacana dekonstruksi, mitos, logosentrisme, yang ter, tak dan diperkirakan dan lain-lain adalah bukti bahwa Arkoun memang dimatangkan dalam kancah pergulatan dengan (post) strukturalisme.
Metode historisisme adalah metode rekonstruksi makna melalui cara penghapusan relevansi antara teks dengan konteks. Melalui metode ini, teks-teks klasik didekonstruksi menuju rekonstruksi (konteks). Bila metode ini diterapakan dalam wilayah agama, apa yang diburu oleh Arkoun adalah makna-makna baru yang secara potensial bersemayam dalam teks-teks tersebut. Arkoun juga membedakan dua tradisi. (1)Tradisi dengan T besar yang berarti tradisi transendental, abadi, tak berubah. (2)Tradisi dengan t kecil yang adalah produk sejarah, budaya manusia, baik ayng merupakan warisan turun-temurun maupun hasil penafsiran atas wahyu Tuhan lewat teks-teks suci. Bagi Arkoun, hanya tradisi kedualah yang dapat diuji lewat kritisi dan karenanya ia mengabaikan tradisi yang pertama.
Pemikiran Arkoun sangat kentara dipengaruhi oleh gerakan (post strukturalis) Perancis. Metode historisisme yang dipakainya adalah formulasi ilmu-ilmu sosial Barat modern ciptaan para pembaharu (post) strukturalis Perancis. Arkoun banyak meminjam konsep-konsep (post) strukturalisme untuk kemudian diterapkannya ke dalam wilayah kajian Islam. Konsep-konsep seperti korpus, epistema, wacana dekonstruksi, mitos, logosentrisme, yang ter, tak dan diperkirakan dan lain-lain adalah bukti bahwa Arkoun memang dimatangkan dalam kancah pergulatan dengan (post) strukturalisme.
Metode historisisme adalah metode rekonstruksi makna melalui cara penghapusan relevansi antara teks dengan konteks. Melalui metode ini, teks-teks klasik didekonstruksi menuju rekonstruksi (konteks). Bila metode ini diterapakan dalam wilayah agama, apa yang diburu oleh Arkoun adalah makna-makna baru yang secara potensial bersemayam dalam teks-teks tersebut. Arkoun juga membedakan dua tradisi. (1)Tradisi dengan T besar yang berarti tradisi transendental, abadi, tak berubah. (2)Tradisi dengan t kecil yang adalah produk sejarah, budaya manusia, baik ayng merupakan warisan turun-temurun maupun hasil penafsiran atas wahyu Tuhan lewat teks-teks suci. Bagi Arkoun, hanya tradisi kedualah yang dapat diuji lewat kritisi dan karenanya ia mengabaikan tradisi yang pertama.
IV. STUDI
KOMPARATIF PEMIKIRAN BEBERAPA TOKOH ISLAM TERHADAP PENDIDIKAN ISLAM
Kajian
ini dimaksudkan guna menemukan persamaan dan perbedaan pemikiran ketiga tokoh
di atas dalam hal pendidikan Islam dengan cara menganalisa melalui studi
komparatif atau pembandingan pemikirannya.
1. Falsafah
Pendidikan Islam
Falsafah
pendidikan menurut ketiga tokoh diatas memiliki persamaan dan perbedaan satu
sama lainnya, seperti yang diungkapkan oleh Ibnu Taimiyah beliau lebih
mengedepankan pendidikan Islam itu orientasinya kepada hubungan baik kepada
Allah serta masyarakat sekitarnya. Hal senada juga didukung pendapatnya Hasyim
Asy’ari dimana pendidikan Islam harus berorientasi pada tercapainya Ridhonya
Allah SWT.
Namun
berbeda dengan apa yang diungkapkan oleh Ibnu Kaldun mengenai falsafah
pendidikan Islam itu sendiri, dimana beliau menganggap bahwasanya pendidikan
itu tidak hanya akan diperoleh oleh peserta didik didalam kelas namun lebih
jauh dari pada itu mereka akan dibentuk oleh kondisi masyarakat pada saat itu.
Jadi baik tidaknya anak didik tergantung lingkungan disekitarnya.
2. Tujuan
Pendidikan Islam
Mengenai
tujuan yang hendak dicapai dalam pendidikan Islam, nampaknya ketiga tokoh
tersebut boleh dikatakan sama pendapatnya atau sepakat. Dimana tujuan
pendidikan Islam harus mampu membentuk pribadi yang lebih baik, baik hubungan
dengan Allah maupun dengan sesamanya, dengan tidak melupakan kewajibannya
mencari kebahagiaan dunia dengan cara harus dibekali dengan ilmu-ilmu dunia
atau keahlian-keahlian yang bisa dibuat untuk bekal hidup didunia. Jadi
semua sepakat bahwasanya orientasi dan
tujuan pendidikan Islam tidak hanya dikhususnya untuk memikirkan akhirat saja,
melainkan juga menyiapkan pribadi yang bisa bekerja dan berinteraksi dalam
masyarakat
3. Metode
Pengajaran
Masalah
metode pengajaran, sebenarnya banyak persamaan satu sama lainya. Seperti halnya
pemikiran Ibnu Khaldun dan Hasyim Asy’ari yang lebih menekankan metode
pembelajarannya pada sistem diskusi, dimana murid diberi kesempatan
seluas-luasnya untuk mendiskusikan permaslahan yang ada, dengan demikian
diharapkan peserta didik terlatih secara langsung baik pemikiran maupun
pengetahuannya.
Berbeda
dengan Ibnu Taimiyah, beliau lebih menekankan pembentukan hati yang bersih
untuk mencapai pembelajaran yang baik dan benar, dengan cara berfikir dan
mengamalkannya. Sebenarnya apa yang disampaikan oleh Ibnu Taimiyah ini juga
didukung oleh Hasyim Asy’ari, dimana hati adalah pusat segalanya termasuk dalam
proses belajar mengajar. Hati yang bersih akan lebih mudah mendapatkan ilmu
serta dapat memanfaatkannya dengan baik dari pada mereka yang hatinya kotor karena
maksiat kepada Allah SWT.
4. Kurikulum
Berkenaan
dengan kurikulum, Ibnu Taimiyah maupun Hasyim Asy’ari menekankan adanya
kurikulum yang mampu mendekatkan diri kepada Allah, maka jalan satu satunya
jalan untuk memudahkan langkah tersebut adalah hati. Hati merupakan senjata
utama bagi peserta didik untuk mencapai ilmu yang bermanfaat yang sebagaimana
diinginkan didalam tujuan itu sendiri.
Berbeda
dengan Ibnu Khaldun, selain menekankan kurikulum yang bisa membawa peserta
didik untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, beliau juga memasukkan
kegiatan-kegitan non ilmu teoritik, dengan kata lain, beliau berusaha
menggabungkan teori dan praktek dalam kurikulumnya sehingga terjadi
keseimbangan antara teori pengetahuan dalam beragama dengan keilmuan praktek
untuk memeprsiapkan kehidupan di dunia.
Masalah
praktek atau kegiatan-kegiatan non teoritik sebenarnya juga menjadi bahasan
oleh Ibnu Taimiyah dan Hasim asy’ari, namun hanya sebatas ekstrakulikuler atau
tambahan saja, bukan masuk pada kurikulum pokok.
Referensi :
Nata Abudin, Pemikiran
Para Tokoh Pendidikan Islam, PT. Grafindo Persada, Jakarta, 2000.
Suwito, Sejarah
Sosial Pendidikan Islam, Kencana, Jakarta, 2005.
Yunus Muhammad, Sejarah
Pendidikan Islam Di Indonesia, Hadi Karya Agung, Jakarta 1985.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar