PARADIGMA
PENDIDIKAN
NAHDLATUL ‘ULAMA
(Studi Atas
Pendidikan Pesantren
dan Madrasah)
Oleh : Yusuf
Hasyim , S.Ag
Nahdlatul ‘Ulama isn’t the biggest
religious social organization only in
Indonesia but also in the world, therefore many foreign scholars and
researchers concern to study of the dynamic and thought of Nahdlatul 'Ulama in
many aspects. This is, Nahdlatul 'Ulama doesn’t move linier only in the
corridor of mass or social organization and politic, but also beats together
with the breath of social life, especially in the contect of the Indonesian
religious society.
As the biggest member organization, Nahdlatul 'Ulama plays the strategic
role of Islamic development in Indonesia .
Indeed in this context is to develop the quality of Indonesian human resources
wholly and completely through education. In this history of Islamic education throughout Indonesia,
Nahdlatul 'Ulama is one of renewal
locomotives to develop education institutions such as Islamic Boarding
School (pesantren), Majlis Ta’lim, Diniyah Religious School usually
takes palce in the afternoon, and madrasah as formal religious school under the
supervision of the Religious Departement as well as universities and is
strongly supported by the so many roots
of the members of Nahdlatul 'Ulama (nahdliyin) in society, which
previously was a strategic as a base for the development of permanent Islamic
and high moral education.
From pesantren, the base of
the strength of Nahdlatul 'Ulama is developed by bearing Moslems scholar and
kyai, who then from Jam’iyyah of Nahdlatul 'Ulama and struggle in it. But up to
now, the educational instutions under the umbrella of Nahdlatul 'Ulama also face some problems and is possible
questioned. Starting from the curriculum density, the slow renewal of
curriculum, the weak input of madrasah, the low quality of teacher, the lack of
educational infrastructure, the limited fund, and also the uncontrolled process
of evaluation of students. Though do not entirely
that way.
This article try
to study farther about how reality education of Nahdlatul 'Ulama and base which is background of theology
concept
B.
Paradigma Teologi Nahdlatul ‘Ulama
Nahdlatul ‘Ulama didirikan di
Surabaya pada tanggal 16 Rajab 1344 H bertepatan dengan tanggal 31 Januari 1926
M [1]
oleh para ulama pengasuh pesantren yang didalam komunitas Islam mempunyai
kesamaan wawasan, pandangan, sikap dan tata cara pemahaman, penghayatan dan
pengamalan ajaran Islam Ahlus sunnah wal jama’ah[2].
Besarnya pengaruh kyai/ulama melalui lembaga pendidikan pesantren mengakibatkan
Nahdlatul 'Ulama mudah berkembang dengan pesat, khususnya di daerah basis
pesantren. Sebagai Jam’iyyah Diniyah yang bermotif keagamaan
dan berlandaskan keagamaan, sehingga segala sikap, perilaku, dan karakteristik
perjuangan Nahdlatul ‘Ulama selalu disesuaikan dan diukur dengan norma dan ajaran agama Islam Ahlus sunnah wal
jama’ah, serta bercita-cita keagamaan yakni Izzul
Islam Wal Muslimin atau dengan kata lain tercapainya Sa’adatud darain bagi umat dan warganya.[3]
Sejak awal Nahdlatul 'Ulama
menegaskan bahwa ia merupakan penganut Ahlusunnah wal Jama'ah ,
sebuah paham keagamaan yang bersumber pada Al
Qur’an , As sunnah, Al
Ijma ’, dan Al Qiyas .
Ada lima
istilah utama yang diambil dari Al Qur’an dan Hadits dalam menggambarkan karakteristik Ahlus
sunnah wal jama’ah sebagai landasan Nahdlatul 'Ulama dalam bermasyarakat atau
sering disebut dengan konsep Mabadiu
Khaira Ummat .[4]
yaitu :
1.
At-Tawassuth
Tawassuth berarti pertengahan,
maksudnya menempatkan diri antara dua kutub dalam berbagai masalah dan keadaan untuk
mencapai kebenaran serta menghindari keterlanjuran ke kiri atau ke kanan secara
berlebihan.
2.
Al I’tidal
3.
At-Tasamuh
Tasamuih berarti sikap toleran pada
pihak lain, lapang dada, mengerti dan menghargai sikap pendirian dan
kepentingan pihak lain tanpa mengorbankan pendirian dan harga diri, bersedia
berbeda pendapat, baik dalam masalah keagamaan maupun masalah kebangsaan,
kemasyarakatan, dan kebudayaan.
4.
At-Tawazun
Tawazun berarti keseimbangan, tidak
berat sebelah, tidak kelebihan sesuatu unsur atau kekurangan unsur lain.
5.
Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Amar ma’ruf nahi munkar artinya
menyeru dan mendorong berbuat baik yang bermanfaat bagi kehidupan duniawi
maupun ukhrawi, serta mencegah dan menghilangkan segala hal yang dapat
merugikan, merusak, merendahkan dan atau menjerumuskan nilai-nilai moral
keagamaan dan kemanusiaan. [5]
Selain lima karakteristik di atas, dalam merespon
berbagai persoalan baik yang berkenaan dengan persoalan keagamaan maupun
kemasyarakatan, Nahdlatul 'Ulama memiliki manhaj Ahlusunnah wal Jama’ah yang dijadikan sebagai landasan berpikir Nahdlatul
'Ulama (Fikrah
Nahdliyah ). Adapun
ciri-ciri dari Fikrah Nahdliyah [6]antara
lain :
1.
Fikrah Tawassuthiyah (pola pikir moderat), artinya Nahdlatul
'Ulama senantiasa bersikap tawazun (seimbang) dan I’tidal
(moderat) dalam menyikapi berbagai persoalan.
2.
Fikrah Tasamuhiyah (pola pikir toleran), artinya Nahdlatul
'Ulama dapat hidup berdampingan secara damai dengan berbagai pihak lain walaupun
aqidah, cara piker, dan budayanya
berbeda.
3.
Fikrah Ishlahiyyah (pola pikir reformatif), artinya Nahdlatul 'Ulama selalu
mengupayakan perbaikan menuju kea rah yang lebih baik (al ishlah ila ma huwa
al ashlah).
4.
Fikrah Tathawwuriyah (pola pikir dinamis), artinya Nahdlatul
'Ulama senantiasa melakukan kontekstualisasi dalam merespon berbagai persoalan.
5.
Fikrah Manhajiyah (pola pikir metodologis), artinya
Nahdlatul 'Ulama senantiasa menggunakan kerangka berpikir
yang mengacu kepada manhaj yang telah ditetapkan oleh Nahdlatul
'Ulama.
C.
Paradigma Pendidikan Nahdlatul 'Ulama
Secara historis sosiologis, paradigma
pendidikan Nahdlatul 'Ulama, tidak akan terlepas dari paradigma teologi yang
mendasarinya, karena pendidikan bagi organisasi memiliki multifungsi sebagai
sarana transfer of value, transfer of religious character, sekaligus
sebagai media kaderisasi organisasi. Sehingga model pendidikan
pesantren yang kemudian berkembang menjadi madrasah ini dianggap oleh sebagian
pakar pendidikan sudah “out of date”,
“the second education” dan tidak lagi mempresentasikan pendidikan modern karena cenderung
mempertahankan nilai-nilai “tradisional”, “konservativ”dan
“ortodok”. Sebagaimana Clifford
Geertz yang memberikan atribut
sangat negative terhadap kaum tradisionalis sebagai anti modernisme dan contra-reformist
organization.[9]
Secara kultural tradisi pendidikan
Islam lahir, tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat Nahdlatul ‘Ulama. Hal
ini bisa kita lihat dari sejarah lahirnya pesantren sebagai lembaga pendidikan
tertua di Indonesia
dan madrasah sebagai pola pengembangan pendidikan Islam. Keterdekatan Nahdlatul
'Ulama dengan pesantren bisa kita lihat dari warna khas dan pola pendidikan
yang kental dengan nilai nilai-nilai cultural teologis dan praktik keagamaan
(amaliyah ubudiyah).
Melalui Lembaga Pendidikan Ma'arif
Nahdlatul 'Ulama , Nahdlatul 'Ulama
merekomendasikan kebijakan, tugas dan tanggung jawab di bidang
pendidikan kepada lembaga ini untuk mengelola lembaga pendidikan di lingkungan
Nahdlatul 'Ulama di seluruh Indonesia .
Di dalam mengelola lembaga pendidikan,
ada beberapa prinsip dasar, orientasi dan identitas pendidikan di lingkungan
NU, yaitu ; Pertama, Komitmen pada paham keagamaan Ahlusunnah wal Jama'ah . Kedua, Kebijakan pendidikan NU didasarkan
pada prinsip bahwa pendidikan merupakan usaha untuk mengembangkan sumber daya
manusia menjadi manusia yang seutuhnya. Ketiga, Mengutamakan perpaduan
antara pergerakan jiwa dan tugas untuk mengelola diri sendiri. Sebagai lembaga pendidikan yang tumbuh dari
masyarakat, pondok pesantren, madrasah, dan sekolah Ma’arif Nahdlatul 'Ulama
memiliki karakter yang khusus, yaitu karakter masyarakat, diakui sebagai milik
masyarakat dan selalu bersatu dengan masyarakat. Sejak awal masyarakat
mendirikan madrasah dilandasi oleh
mental al it’timad alannafsi.[10]
Bagi Lembaga Pendidikan Ma'arif,
pendidikan dipahami sebagai usaha sadar,
terencana dan terarah untuk mengembangkan potensi anak didik baik intelektual, emosional, praktek, sosial,
moral dan spiritual sehingga mereka mampu mengelola fungsi mereka sebagai khalifatullah
fil 'ard, penggerak dan pemelihara kesatuan bangsa serta pengembang
nilai-nilai dan prinsip Ahlusunnah wal Jama'ah.[11]
Sebagai
lembaga pendidikan Islam pesantren memiliki lima elemen pokok, yaitu pondok
tempat menginap santri, masjid, santri, kitab-kitab klasik, dan kyai.[12]
Secara kultural mayoritas pesantren memiliki kesamaan
pola kehidupan dan pendidikan. Ciri kehidupan dan pendidikan pesantren yang
khas dan berkembang tanpa tersistemisasikan sebagai sebuah pola pendidikan
menurut A. Mukti Ali ada beberapa ciri
khusus, antara lain :
1.
adanya
kehidupan yang akrab antara murid (santri) dan kyai.
2.
tunduknya
santri kepada kyai
3.
hidup
hemat dan sederhana benar-benar dilakukan dalam kehidupan pesantren
4.
semangat
menolong diri sendiri amat terasa dan kentara di pesantren
5.
jiwa
tolong menolong dan suasana persaudaraan sangat mewarnai pergaulan pesantren.
6.
disiplin
sangat ditekankan dalam kehidupan pondok pesantren
7.
berani
menderita untuk mencapai tujuan, merupakan satu pendidikan yang diperoleh dalam
pesantren.[13]
Selain beberapa ciri khusus di atas,
ada beberapa prinsip-prinsip atau nilai yang membedakan antara pesantren dengan
lembaga pendidikan lainnya,[14]
yaitu :
1.
Filsafat
pendidikan teosentris, yaitu suatu pandangan yang menyatakan bahwa semua
kejadian, proses dan kembali pada kebenaran Tuhan.
2.
Kesukarelaan
(keikhlasan) dan pengabdian
3.
Kearifan
hidup
4.
Kesederhanaan
5.
Kolektivitas
6.
Mengatur
kegiatan bersama
7.
Kebebasan
terpimpin
8.
Kemandirian
9.
Pesantren
adalah tempat mencari ilmu dan mengabdi
10.
Mengamalkan
ajaran agama
11.
Tanpa
ijazah
12.
Restu kyai
Berkaitan dengan
peran tradisionalnya, pesantren kerap diidentifikasikan dengan tiga peran dalam
masyarakat Indonesia, yaitu Pertama, sebagai pusat berlangsungnya
transmisi ilmu-ilmu Islam tradisional, Kedua, sebagai penjaga dan
pemelihara keberlangsungan Islam tradisional, Ketiga, sebagai pusat
reproduksi ulama’.[15]
Pendidikan
pesantren secara umum jarang yang merumuskan tujuan pendidikan yang
diselenggarakan secara eksplisit. Namun tidak berarti bahwa pesantren merupakan
lembaga pendidikan yang tidak memiliki
arah dan tujuan yang pasti, hal ini disebabkan karena sifat kesederhanaan dan
keikhlasan yang tinggi. Menurut Prof. Mastuhu, tujuan pendidikan pesantren
adalah : ”Menciptakan dan mengembangkan
kepribadian muslim, yaitu kepribaian yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan,
berakhlak mulia, bermanfaat bagi masyarakat atau berkhidmat kepada masyarakat
dengan jalan menjadi kawula atau abdi masyarakat sekaligus menjadi rasul, yaitu
mrnjadi pelayan masyarakat sebagaimana kepribadian Nabi Muhammad saw, mampu
berdiri sendiri, bebas dan teguh dalam kepribadian, menyebarkan agama atau
menegakkan Islam dan kejayaan umat Islam
di tengah-tengah masyarakat (izzul Islam wal Muslimin) serta mencintai ilmu
dalam rangka mengembangkan kepribadian Indonesia.[16]
Dari tujuan
pendidikan pesantren di atas, dapat kita asumsikan bahwa filosofi pengajaran
dan tata nilai pesantren ditekankan pada adanya fungsi mengutamakan beribadat
sebagai pengabdian kepada Tuhan dan memuliakan guru sebagai jalan untuk
memperoleh pengetahuan agama yang hakiki. Sub kultur
ini menetapkan pandangan hidupnya sendiri yang bersifat khusus. Pesantren
berdiri atas landasan pendekatan ukhrawi kepada kehidupan dan ketundukan kepada
ulama.[17]
Kurikulum pesantren “salaf” yang statusnya sebagai lembaga pendidikan non
formal hanya mempelajari kitab-kitab klasik yang meliputi : Tauhid, Tafsir,
Hadits, Fiqih, Ushul
Fiqih , Tasawuf, Bahasa Arab
(Nahwu, Sharaf, Balaghah, dan Tajwid), Mantik, Akhlak. Pelaksanaan kurikulum
pendidikan pesantren ini berdasarkan kemudahan dan kompleksitas ilmu atau
masalah yang dibahas dalam kitab, jadi ada tingkat awal, menengah, dan tingkat
lanjutan.[18]
Materi pendidikan di pondok pesantren
pada hakikatnya bertumpu pada pengajaran ilmu-ilmu keislaman, seperti akhlak,
nahwu, sharaf, aqidah, fiqih, hadis, tasawuf, tafsir, dan Al Qur'an, namun
dalam proses pengajarannya antara satu pesantren dengan yang lainnya berbeda. Ada dua istilah dalam
proses pendidikan di pondok pesantren, yakni Ta'lim
(pengajaran) dan Tarbiyah (pendidikan). Adapun sistem
pembelajarannya menggunakan model sorogan, bandongan, wetonan, dan klasikal.[19]
Berdasarkan proses pendidikan dan
pengajarannya maka pondok pesantren di Indonesia dapat dikategorikan
menjadi tiga tipe, yaitu Pertama, Pesantren tradisional. Kedua, pesantren
modern dan Ketiga, pesantren terpadu.
Sedangkan orientasi dan perilaku
pendidikan pesantren menurut penulis pada awalnya masih cenderung bersifat idealistik
normatif. Menurut
Muhammad Tholhah
Hasan , orientasi dan perilaku
pendidikan idealistik adalah pendidikan yang berpegang pada nilai-nilai luhur
yang diidealkan dan yang seharusnya diwujudkan dalam kehidupan kehidupan nyata
sesuai dengan kepercayaan yang dianut atau ajaran agama yang diyakini. Sedangkan
orientasi dan perilaku pendidikan yang normatif lebih mengutamakan pada
keselarasan dan keserasian hingga terdapat keseimbangan dengan norma-norma atau tradisi masyarakat.[20]
Namun dalam perkembangan modern, pesantren mengalami ekspansi fungsional menjadi
lembaga pengembangan masyarakat sehingga terjadi perubahan paradigma dari teosentris
menuju anthroposentris.
Menurut data Education Management
Information System (EMIS) Departemen
Agama RI tahun 2003, dari 14.067 pesantren di Indonesia banyak yang telah
mengembangkan life skill education (pendidikan kecakapan hidup),
sebanyak 1529 pesantren mengembangkan pertanian dan agribisnis, 404 pesantren
mengembangkan ketrampilan perindustrian, 111 pesantren mengembangkan bidang
perdagangan dan 41 pesantren mengembangkan sector kelautan dan perikanan.[21]
Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan pesantren telah mengalami pembaharuan baik
dari segi paradigmatik, institusional, metodologis maupun kurikulum.
Dari segi paradigma, kita bisa
melihat terjadinya pembaharuan pendidikan pesantren dan madrasah di lingkungan
Nahdlatul ‘Ulama dengan munculnya intelektual muda Nahdlatul 'Ulama. K.H.A. Wahid
Hasyim ketika menjabat sebagai Menteri Agama dan ketua Lembaga Pendidikan
Ma’arif Nahdlatul 'Ulama telah melakukan beberapa upaya pembaharuan pendidikan
pesantren dan madrasah melalui beberapa paradigma pengembangan,[22]
antara lain :
1.
Pembaharuan
paradigma dari teosentris ke anthroposentris dengan
merekonstruksi tujuan pembelajaran di pesantren, yang semula santri diarahkan
untuk mencetak ahli agam (ulama), dengan menyarankan agar tidak semua santri
menjadi ulama, namun tetap memahami ajaran agama sebagaimana di pelajari di pesantren. Santri harus
memperkuat diri dengan berbagai macam keahlian yang dalam dunia pendidikan
sekarang dikenal dengan life skill education.
2.
Perubahan
paradigma dikotomik kepada non-dikotomik antara ilmu agama dan non agama. Menurut Wahid Hasyim ,
bahwa materi yang diajarkan di pesantren dan madrasah haruslah merupakan
ilmu-ilmu yang komprehensif yang tidak hanya mempelajari ilmu-ilmu agama yang
bersumber dari kitab-kitab klasik saja.
3.
Perubahan
paradigma teoritik ke praktis. Dalam konsep ini Wahid Hasyim
menekankan pentingnya pengamalan ilmu yang dipelajari di pesantren. Orientasi
dari paradigma ini adalah terciptanya insane yang berakhlakul karimah dan
tujuan pendidikan bukan semata-mata transfer of knowledge namun juga transfer
of values.
Untuk mewujudkan konsep pembaharuan
di atas, maka pendidikan pesantren maupun madrasah harus melakukan paling tidak
empat bentuk pembaharuan, yaitu pembaharuan pada aspek institusi pendidikan,
aspek isi kurikulum, aspek metodologi dan aspek fungsi kelembagaan.
Pembaharuan tersebut dilakukan agar pendidikan pesantren dan madrasah sebagai
lembaga pendidikan Islam Indonesia
mampu menjawab tantangan dan tuntutan perubahan zaman.
E.
Penutup
Demikian makalah singkat tentang paradigma
pendidikan Nahdlatul 'Ulama, barangkali masih banyak hal yang belum tercover
dalam tulisan ini dan terjadi beberapa kesalahan, penulis mohon kritik dan
saran konstruktif untuk perbaikan selanjutnya.
[1] Anggaran Dasar
& Anggaran Rumah Tangga Nahdlatul
’Ulama 2004, , PCNU Kabupaten Pati, (2004), p. 6.
[2] Secara harfiah Ahlusunnah wal Jama'ah
berarti penganut sunnah Nabi Muhammad saw dan jama’ah (para sahabat) atau
segolongan pengikut sunnah Rasulullah saw yang didalam melaksanakan
ajaran-ajarannya berjalan di garis yang dipraktekkan oleh jama’ah (para
sahabat). Lebih jelas lihat; Siradjudin Abbas, I’tiqad Ahlusunnah wal
Jama’ah, Pustaka Tarbiyah (Jakarta, 1993), p.16, lihat juga Syaifuddin
Zuhri, Menghidupkan Nilai-Nilai Aswaja dalam Praktik, PP.IPNU, (Jakarta,
1976), p.8. Dalam pengertian yang lebih rinci, KH. Bisri Mustofa Rembang,
mengartikan aswaja sebagai paham yang berpegang teguh kepada tradisi sebagai
berikut : Pertama, dalam bidang hukum Islam, menganut salah satu ajaran
dari empat madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali). Kedua, dalam
bidang tauhid menganut ajaran-ajaran Imam Abu Hasan Al Asy’ari dan Imam Abu
Mansur Al Maturidi. Ketiga, dalam bidang tasawuf menganut dasar-dasar
ajaran Imam Abu Qasim Al Junaidi. Lebih jelas lihat : Zamakhsari Dhofier, Tradisi
Pesantren, Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, LP3ES, (Jakarta, 1982),
P.149.
[3] Sahal Mahfudh, ”Kata Pengantar” dalam Quo Vadis NU, Setelah Kembali ke Khittah
1926, Penerbit Erlangga, (Jakarta, 1992), p. viii.
[4] Mabadi Khaira Ummah adalah sebuah gerakan untuk mengembangkan
identitas dan karakteristik anggota Nahdlatul 'Ulama dengan pengaturan
nilai-nilai mulia dari konsep keagamaan Nahdlatul 'Ulama. The Mabadi Khaira
Ummah movement was the beginning of the establishment of ”the leading
follower” (khaira ummah), which are members who are capable of carrying
out amar ma’ruf and nahy munkar responsibilities which from a
very important part of NU’s progress, because these two notions are essential
to support the formation of life order blessed by Allah in accordance with NU
ideal. Lebih jelas lihat : Dr. Endang Turmudi, MA, (Ed.), Nahdlatul ’Ulama;,
Ideology Politics and The Formation of Khaira Ummah, The Central Board of
The Ma’arif Education Institution of NU, printed by LKiS, (Yogyakarta, 2003),
p. 76-83.
[5] Tim Penulis, Materi Dasar Nahdlatul ‘Ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah,
PW. LP Ma’arif NU Jawa Tengah, (Semarang, 2002), P. 4
[6] Soelaiman
Fadeli dan Mohammad Subhan, Antologi
NU, “Khalista” Surabaya bekerja sama
dengan Lajnah Ta’lif Wan Nasyr Jawa
Timur, (Surabaya ,
2007), p. 46.
[7] Zainal Arifin Thoha , Runtuhnya Singgasana
Kyai (Nahdlatul 'Ulama, Pesantren dan Kekuasaan: Pencarian Tak Ujung
Usai ), KUTUB, (Yogyakarta ,
2003), p. 139.
[8] Tim PWNU Jawa Timur, Ahlusunnah wal Jama'ah
An-Nahdliyah, “Khalista” Surabaya bekerja
sama dengan Lajnah Ta’lif Wan Nasyr Jawa
Timur, (Surabaya ,
2007), p. 7-10.
[9] Clifford Geertz ,
Abangan, Santri Priyayi
dalam Masyarakat Jawa
,Pustaka
Jaya , (Jakarta , 1981), p. 461.
[10] Achmad Siddiq ,
Khittah
Nahdliyyah , “Khalista” Surabaya , (Surabaya ,
Cet. 3, 2005), p. 87-90.
[11] Endang Turmudi,
(Ed.), Nahdlatul ’Ulama;, Ideology Politics and The Formation of Khaira
Ummah, The Central Board of The Ma’arif Education Institution of NU,
printed by LKiS, (Yogyakarta, 2003), p. 137-145.
[12] Zamakhsari
Dhofier, Tradisi Pesantren, Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, LP3ES,
(Jakarta, 1982), P.44-60.
[13] Kacung Marijan , Quo
Vadis NU, Setelah
Kembali ke Khittah 1926, Penerbit Erlangga ,
(Jakarta ,
1992), p. 42-43.
[14] Mastuhu, Dinamika
Sistem Pendidikan
Pesantren : Suatu
Kajian Tentang
Unsur dan Nilai Sistem
Pendidikan Pesantren ,
INIS, (Jakarta, , 1994), p. 62-66.
[15] Jamhari
Fuad Jabali ,
IAIN dan Modernisasi Islam di Indonesia ,
Logos, (Jakarta ,
2002), p. 97.
[16] Mastuhu, Dinamika
Sistem Pendidikan
Pesantren ……, p. 56.
[17] Zaenal Arifin Thoha , Kenylenehan Gus
Dur , Gugatan
Kaum Muda
NU dan Tantangan
Kebudayaan , Gama Media, (Yogyakarta , 2001), p. 33-34.
[18] Ridwan Abawihda, “Kurikulum
Pendidikan Pesantren dan Tantangan
Perubahan Global” dalam Ismail, dkk (Ed.), Dinamika Pesantren dan Madrasah,
Pustaka Pelajar dan Fak. Tarbiyah
IAIN Walisongo, (Semarang , 2002), p. 88.
[19] Tim Pekapontren , Potensi Ekonomi Pondok Pesantren di
Indonesia, Direktorat
Pekapontren Depag
RI, (Jakarta , 2004),
p. 9-10.
[20]Muhammad Tholhah Hasan , “Reorientasi Wawasan
Pendidikan ”, dalam Muhammadiyah dan NU; Reorientasi Wawasan
Keislaman , LPPI UMY, LKPSMNU, dan PP. Al Muhsin , (Yogyakarta ,
1994), p. 51.
[21] Tim Pekapontren , Potensi Ekonomi
Pondok Pesantren
………… p. 15-17.
[22] Ruchman Basori ,
The Founding Father Pesantren Modern Indonesia , Jejak Langkah K.H.A.
Wahid Hasyim, Penerbit iNCeis, (Tangerang Banten ,
2006), p. 101-143.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar