PENGANTAR
PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM
Universitas
Wahid Hasyim Semarang
Dosen Pengampu : Yusuf Hasyim, S.Ag, M.S.I
Pendidikan
merupakan bagian vital dalam kehidupan manusia. Pendidikan (terutama Islam) –
dengan berbagai coraknya - berorientasi memberikan bekal
kepada manusia (peserta didik) untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
Oleh karena itu, semestinya pendidikan (Islam) selalu diperbaharui konsep dan
aktualisasinya dalam rangka merespon perkembangan zaman yang selalu dinamis dan
temporal, agar peserta didik dalam pendidikan Islam tidak hanya berorientasi
pada kebahagiaan hidup setelah mati (eskatologis); tetapi kebahagiaan
hidup di dunia juga bisa diraih.
Dengan
berpijak pada definisi diatas. maka yang dimaksud dengan pemikiran pendidikan
islam adalah proses kerja akal dan kalbu yang dilakukan secara
bersungguh-sungguh dalam melihat berbagai persoalan yang ada dalam pendidikan
islam dan berupaya untuk membangun sebuah peradaban pendidikan yang mampu
menjadi wahana bagi pembinaan dan pengembangan peserta didik secara paripurna.
Secara
khusus pemikiran pendidikan islam memiliki tujuan sangat komplek diantaranya
adalah :
1. Untuk membangun kebiasaan berpikir ilmiah, dinamis dan kritis terhadap
persoalan-persoalan di seputar pendidikan islam.
2. Untuk memberikan dasar berfikir inklusif terhadap ajaran islam dan
akomodatif terhadap perkembangan ilmu pengetahuan yang dikembangkan oleh
intelektual diluar islam.
3. Untuk menumbuhkan semangat berijtihad, sebagaimana yang ditujukan oleh
Rosulullah dan para kaum intelektual muslim pada abad pertama sampai abad
pertengahan, terutama dalam merekonstruksi sistem pendidikan islam yang lebih
baik.
4. Untuk memberikan kontribusi pemikiran bagi
pengembangan sistem pendidikan nasional.
Munculnya
dinamika pembaharuan pemikiran pendidikan yang dilakukan sejumlah intelektual muslim dari
masa ke masa, tidak terlepas dari kondisi objektif sosial-budaya dan sosial
keagamaan umat islam itu sendiri. Oleh karena itu, tidak berlebihan jika
dikatakan, bahwa dinamika pemikiran intelektual muslim merupakan hasil refleksi
terhadap kondisi umat islam pada zamannya. Sederetan intelektual muslim, sejak
masa awal sampai pada era posmodernisme telah berupaya merekonstruksi guna
terciptanya sistem pendidikan islam yang ideal. kelompok intelektual muslim
tersebut antara lain adalah :
1. Ibnu Maskawih (Ahmad ibn Muhammad ibn Ya’qub ibn Miskawih), lahir di rayy
sekitar tahun 320 H./ 432 M. dan meninggal di isfaham pada tanggal 9 safar
buwaihi yang berlatarbelakang mazhab syi’ah. Perhatiannya dalam menuntut ilmu
sangat besar. Hal ini tercermin dari bidang ilmu pengetahuan yang ditekuninya.
Dalam bidang sejarah umpamanya, ia belajar dengan Abu Bakar Ahmad ibn Kamil
al-qadhi, filsafat dengan ibn al-khammar, dan kimia dengan Abu Thayyib.
Pemikirannya tentang pendidikan lebih berorientasi pada pentingnya pendidikan
akhlak. hal ini tercermin dari karya monumentalnya, Tahzib al-akhlaq. melalui
karya tersebut Miaskawih menyetakan bahwa tujuan pendidikan adalah terwujudnya
sikap batin yang secara spontan mampu mendorong lahirnya perilaku dalam
memperoleh kerimah-perilaku yang demikian akan sangat membantu peserta didik
dalam memperoleh kesempurnaan dan kebahagiaan yang sejati.
2. Ibn Sina (Abu Ali al-Husaiyn ibn Abdullah ibn al-Hasan ibn Sina) lahir pada
tahun 370/ 980 di asyanah, Bukhara (dalam peta modern masuknya Turkistan) ia
wafat oleh penyakit disentri pada tahun 428/ 1037 dan dimakamkan di Hamadan
(sekarang dalam wilayah Iran). Hasil pemikiran dari Ibn Sina diantaranya : Falsafah
wujud, Falsafah Faidh , Falsafah Jiwa
3. Ibn Khaldum (Waliuddin Abdurrahman bin Muhamad bin Muhammad bin Hasan bin
Jobir bin Muhammad binIbrahin bin Abdurrahman bin Walid bin Usman) lahir di
Tunisia pada tanggal 1 Ramadhan 732 H/ 27 Mei 1332 M dan wafat di Kairo 25
Ramadhan 808 H/ 19 Maret 406 M.
Diantara stressing ruint pemikiran Khaldum adalah pada bidang pendidikan
islam dalam melaksanakan pendidikan, maka menurut Khaldum paling tidak ada dua
tujuan yang perlu disentuh yaitu jasmaniah dan rohaniah.
4. Muhammad Abduh ibn hasan Khairuddin, lahir pada tahun 1265 H/ 1849 M. Pada sebuah desa
dipropinsi Gharbuyyah-ia lahir dari lingkungan petani sederhana yang taat dan
sangat mencintai ilmu pengetahuan.
Menurut Abduh metode yang kuno sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan
dewasa ini, sebab metode tersebut menurut tumbuhnya daya peserta didik dalam
bukunya al- a’mal al-kamila Abduh menawarkan metode pendidikan yang lebih
dinamis dan kondusif bagi pengembangan intelektual peserta didik. Metode yang
di maksud adalah metode diskusi.
5. Ismail raji al faruqi, lahir di Sayfa (palestina) pada tanggal 1 Januari
1921. Ia meninggal pada tanggal 1986. latar belakang pendidikannya ditempuh
pada pendidikan barat yaitu Colege Des Peres (1936). Kemudian pendidikan pasca
sarjana mudanya ia rampungkan pada America University (1941). Kemuudian program
magisternya pada Indian University dan harvard University dalam bidang
filsafat. sedangkan gelar doktor ia peroleh pada indian university dalam bidang
yang sama.
Menurut analisis al-faruq umat islam saat ini berada dalam posisi yang
tidak menguntungkan dan lemah, baik secara moral, politik, dan ekonomi terutama
komunitas intelektual dalam wacana keagamaan, umat islam terbelenggu oleh
Khurafal, kondisi ini membuat umat islam taqlid yang berlebihan terutama dalam
aspek syariat. Kondisi ini membuat umat islam berada dalam kondisi statis dan
enggan melakukan kreativitas, ijtihad.
6. Syed Muhammad Waquib al-attas dilahirkan di Bogor Jawa Barat pada tanggal 5
September 1931. Paradigma pemikiran al-attas bila diaji secara historis
merupakan sebuah pemikiran yang berasal dari dunia metafisika kemudian kedunia
kosmologis dan mermuara pada dunia psikologis, perjalanan kehidupan dan
pengalaman pendidikannya memberikan andil yang yang sangat besar dalam
pembentukan paradigma pemikiran selanjutnya.
Dalam
kajian pemikiran (filsafat) pendidikan Islam, beberapa ahli pendidikan Islam menggarisbawahi
adanya tiga alur pemikiran dalam menjawab persoalan pendidikan, yaitu:
Pertama,
kelompok yang berusaha membangun konsep (filosofis) pendidikan Islam, disamping
melalui al-Qur’an dan al-Hadits sebagai sumber utama, juga mempertimbangkan
kata sahabat, kemaslahatan sosial, nilai-nilai dan kebiasaan sosial, serta
pandangan-pandangan pemikir Islam.
Kedua,
kelompok yang berusaha mengangkat konsep pendidikan Islam dari al-Qur’an dan
al-Hadits, sehingga konsep filsafatnya hanya berasal dari kedua sumber ajaran
Islam tersebut.
Ketiga,
kelompok yang berusaha membangun pemikiran (filsafat) pendidikan Islam melalui
al-Qur’an dan al-Hadit, dan bersedia menerima setiap perubahan dan perkembangan
budaya baru yang dihadapinya untuk ditransformasikan menjadi budaya yang
Islami.
Disisi
lain, pengembangan pemikiran (filosofis) pendidikan Islam juga dapat dicermati
dari pola pemikiran Islam yang berkembang menjawab tantangan perubahan zaman
serta era modernitas. Sehubungan dengan itu, Abdullah (1996) mencermati adanya
empat model pemikiran keislaman, yaitu:
1. Tekstualis Salafi
Pemikiran Islam
model ini berupaya memahami ajaran-ajaran dan nilai-nilai mendasar yang
terkandung dalam Al-Qur’an dan Sunah dengan melepaskan diri dan kurang begitu
mempertimbangkan situasi kongkrit dinamika pergumulan masyarakat muslim (era
klasik maupun kontemporer) yang mengitarinya. Masyarakat ideal yang
diidam-idamkan adalah masyarakat salaf, yakni struktur masyarakat era kenabian
Muhammad SAW dan para sahabat yang menyertainya. Rujukan utama pemikirannya
adalah kitab suci Al-Qur’an dan kitab-kitab Hadits. Tanpa menggunakan
pendekatan keilmuan yang lain. Sehingga model pemikiran ini terlihat kurang
peka terhadap perubahan dan hanya menjadikan masyarakat salaf sebagai parameter
dalam menjawab tantangan dan perubahan zaman serta era modenitas.
2. Tradisionalis Mazhabi
Dalam pandangan
pemikiran model tradisional salafi, ajaran-ajaran dan nilai-nilai mendasar yang
terkandung dalam Al-Qur’an dan Sunah dipahami melalui bantuan khazanah pemikiran
Islam klasik, tetapi sering kali kurang begitu memperhatikan situasi historis
dan sosiologis masyarakat setempat di mana ia turut hidup di dalamnya. Hasil
pemikiran ulama’ terdahulu dianggap sudah pasti dan absolute tanpa
mempertimbangkan dimensi historisitasnya. Masyarakat muslim yang diidealkan
adalah masyarakat muslim era klasik, dimana semua persoalan keagamaan dianggap
telah terkupas habis oleh para ulama atau cendikiawan muslim terdahulu.
Pola pikirnya selalu bertumpu pada
hasil ijtihad ulama’ terdahulu dalam menyelesaikan persoalan ketuhanan,
kemanusiaan, dan kemasyarakatan pada umumnya. Kitab kuning menjadi rujukan
pokok, dan sulit untuk keluar dari mazhab atau pemikiran keislaman yang
terbentuk beberapa abad lalu. Model pemikiran ini lebih menonjolkan wataknya
yang tradisional dan mazhabi. Watak tradisionalnya diwujudkan dalam bentuk
sikap dan cara berfikir serta bertindak yang selalu berpegang teguh pada
nilai-nilai, norma dan adat kebiasaan serta pola-pola pikir yang ada secara
turun menurun dan tidak mudah terpengaruh oleh situasi sosio historis
masyarakat yang sudah mengalami perubahan dan perkembangan sebagai akibat dari
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sedangkan watak mazhabinya diwujudkan
dalam bentuk kecenderungannya untuk mengikuti aliran, pemahaman atau doktrin,
serta pola-pola pemikiran sebelumnya yang dianggap sudah relative mapan.
3. Modernis
Model pemikiran
Islam modernis berupaya memahami ajaran-ajaran dan nilai-nilai mendasar yang
terkandung dalam Al-Qur’an dan Al-Sunnah dengan hanya semata-mata
mempertimbangkan kondisi dan tantangan sosio-historis dan cultural yang
dihadapi oleh masyarakat Muslim kontemporer, tanpa mempertimbangkan
muatan-muatan khazanah intelektual muslim era klasik yang terkait dengan
persoalan keagamaan dan kemasyarakatan. Model ini tidak sabar dalam menekuni
dan mencermati pemikiran era klasik, malahan lebih bersikap potong kompas,
yakni ingin langsung memasuki teknologi modern tanpa mempertimbangkan khazanah
intelektual muslim dan bangunan budaya masyarakat muslim yang terbentuk
berabad-abad. Obsesi pemikirannya adalah pemahaman langsung terhadap nash
Al-Qur’an dan langsung loncat ke peradaban modern.
4. Neo Modernis
Kalangan Neo
Modernis untuk memahami ajaran-ajaran dan nilai-nilai mendasar dalam Al-Qur’an
dan Al-Sunnah harus berupaya mengikut sertakan dan mempertimbangkan khazanah
intelektual muslim klasik serta mencermati kesulitan-kesulitan dan
kemudahan-kemudahan yang ditawarkan oleh dunia teknologi modern. Jadi model ini
selalu mempertimbangkan Al-Qur’an dan Al-Sunah, khazanah pemikiran Islam
klasik, serta pendekatan-pendekatan keilmuan yang muncul pada abad ke 19 dan 20
M. Jargon yang sering dikumandangkan adalah: “ al-Muhafazah ‘ala al-Qadim
al-Salih wa al-Akhzu bi al-Jadid al-Aslah”, yakni memelihara hal-hal yang baik
yang telah ada sambil mengembangkan nilai-nilai baru yang lebih baik.
Oleh karena itu pengembangan pemikiran pendidikan dalam Islam tidak
dilakukan dengan mendikotomikan pendidikan, antara pendidikan umum dengan
pendidikan agama. Islam tidak mengajarkan pengikutnya untuk memilah-milah ilmu
pengetahuan, karena semua ilmu pengetahuan dan teknologi pada dasarnya bagian
dari sunatullah dan tunduk pada ketentuan Allah swt.
Gagasan untuk melakukan islamisasi sains tidak dilakukan secara revolusi,
tapi dikembangkan secara evolusi dan bertahap. Dengan catatan bahwa sebelumnya
sudah dipersiapkan berbagai sarana pendukung, baik kurikulum, proses
pembelajaran, system evaluasi, media pembelajaran sampai pada tatakelola
pendidikan.
Melalui Mata kuliah pemikiran pendidikan
Islam ini diharapkan akan dapat memberikan pemahaman dan keterampilan analisis
kritis dan histories terhadap berbagai pemikiran pendidikan Islam dan mencoba
melihat aspek epistemologis bangunan pemikirannya dalam kaitannya dengan
berbagai aspek yang relevan pada masanya baik social politik dan ideology
maupun gerakan intelektual dan problem kebudayaan pada suatu masa dan masa-masa
lainnya, serta mencoba membuat analisis reflektif terhadap kondisi yang
berkembang saat ini. (Winong, 5 April 2013)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar