Wawancara dengan Mendikbud
Terkait Kurikulum 2013 (Bagian 3)
Posted Mon,
12/10/2012 - 15:20 by sidiknas
Wawancara
Mendikbud dengan wartawan PIH Kemdikbud dan Vivanews.com (Rabu 5 Desember 2012)
Kurikulum
pendidikan di Indonesia akan drastis diubah. Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan telah menyusun kurikulum baru untuk tahun 2013 mendatang. Rencana
ini rupanya sudah digagas sejak 2010.
Alasan
Kementerian: kurikulum pendidikan harus disesuaikan dengan tuntutan zaman.
Karena zaman berubah, maka kurikulum harus lebih berbasis pada penguatan
penalaran, bukan lagi hafalan semata.
Perubahan
ini diputuskan dengan merujuk hasil survei internasional tentang kemampuan
siswa Indonesia. Salah satunya adalah survei "Trends in International Math and
Science" oleh Global Institute pada tahun 2007.
Menurut
survei ini, hanya 5 persen siswa Indonesia yang mampu mengerjakan soal
berkategori tinggi yang memerlukan penalaran. Sebagai perbandingan, siswa Korea
yang sanggup mengerjakannya mencapai 71 persen. Sebaliknya, 78 persen
siswa Indonesia dapat mengerjakan soal berkategori rendah yang hanya memerlukan
hafalan. Sementara itu, siswa Korea yang bisa mengerjakan soal semacam itu
hanya 10 persen.
Indikator
lain datang dari Programme for International Student Assessment (PISA) yang
di tahun 2009 menempatkan Indonesia di peringkat 10 besar paling buncit dari 65
negara peserta PISA. Kriteria penilaian mencakup kemampuan kognitif dan
keahlian siswa membaca, matematika, dan sains. Dan hampir semua siswa Indonesia
ternyata cuma menguasai pelajaran sampai level 3 saja. Sementara banyak siswa
negara maju maupun berkembang lainnya, menguasai pelajaran sampai level 4, 5, bahkan
6.
Satu
kesimpulan dari dua survei itu adalah: prestasi siswa Indonesia terkebelakang.
Berikut
wawancara selengkapnya:
Mengapa ada perubahan kurikulum?
Sebelum
"mengapa", kita perlu bahas lebih dulu apa itu kurikulum. Bicara
kurikulum itu pasti bicara empat hal. Pertama, standar kompetensi kelulusan.
Kedua, standar isi. Ketiga, standar proses. Keempat, pasti kita bicara standar
penilaian.
Gampangnya,
anak-anak mau kita harapkan bisa apa. Siswa SD kelas 1 itu bisa apa? Lulusan
SMP bisa apa, SMA dan seterusnya bisa apa? Ini yang kita tetapkan dulu. Dari
situ, lalu kita isi apa? Kita beri menu apa anak-anak ini.
Tapi, tidak
cukup dikasih menu saja. Prosesnya juga penting, bagaimana supaya makanan ini
bisa ditelan atau diserap oleh sang anak dengan baik. Dalam proses itu ada
metodologi, cara menyajikannya. Kalau bubur makannya pakai sendok. Kalau yang
lain bisa pakai garpu atau tangan langsung.
Itu belum
cukup. Juga penting bagaimana cara mengevaluasinya, cara penilaiannya. Nah,
kalau kita bicara kompetensi, ini yang ditekankan sekarang. Ada tiga ranah atau
domain, yaitu dari sisi sikap atau attitude, sisi keterampilan atau skill, dan sisi
pengetahuan atauknowledge. Kompetensi yang ingin kita capai adalah:
tiga-tiganya harus masuk.
Itu definisi
tentang kurikulum.
OK, lalu kenapa diubah?
Pertanyaannya
memang mengapa kok diubah-ubah? Kayak kurang pekerjaan atau kebanyakan uang.
Belum lagi pasti ada pro kontra, ganti menteri ganti kurikulum. Ini sudah kami
timbang-timbang.
Zaman ke
depan itu berubah, lho. Kalau tidak kita lakukan perubahan sekarang, nanti kita
akan memproduksi generasi yang usang, yang tidak cocok dengan zamannya
nanti. Akibatnya, nanti jadi beban. Termasuk tidak terserap di ketenagakerjaan.
Harus kita
lakukan perubahan, meski dengan risiko tidak populer. Daripada gara-gara kita
sungkan, risikonya jadi lebih mahal. Kita tahu kurikulum sekarang ini tidak bisa
diteruskan lagi. Nggak apa-apa lah nggak populer.
Kalau mau selamat, saya diam-diam saja, pasti selamat. Termasuk soal Ujian
Nasional itu, kalau mau dihapus, bisa saja dihapus. Orang pasti senang.
Tapi
mengurusi pendidikan itu kan bukan soal orang senang atau tidak.
Orang nggak senengnggak apa-apa, asalkan ada nalarnya,
ada rasionalitasnya.
Apa kekurangan mendasar dari kurikulum sekarang?
Pertama,
zaman sudah berubah. Yang dibutuhkan adalah kreativitas. Kita butuh modal
pengetahuan. Tapi, itu saja tidak cukup. Jadi harus ada unsur produktif,
kreatif, inovatif dan afektif. Ke depan kita butuh anak-anak yang seperti
itu.
Sekarang
sudah ada banyak keluhan. Anak-anak kita tidak kreatif. Kita hanya
mengejar hafalan. Bahan pelajaran sedemikian banyak, anak dijejali terus.
Lha, apa ini
harus dibiarkan? Ya, perlu kita ubah, kita perbaiki. Bukan berarti yang lama
itu salah semua. Yang lama itu benar pada zamannya. Yang kami garap ini juga
tidak ada yang berani garansi selama 20 tahun tak akan diubah lagi.
Tidak ada memang di dunia ini, kurikulum dipertahankan sampai 30 tahun. Tidak
ada.
Jadi, akan berubah dari metoda hafalan ke nalar?
Yang berubah
tentu di keempat elemen itu. Standar kompetensinya berubah, prosesnya dan
materinya juga ada yang berubah. Misalnya dari sisi proses. Pendekatannya
berubah. Kita ingin agar anak-anak jadi kreatif. Pertanyaannya, apakah
kreativitas itu bisa dibentuk atau dibangun? Ada beberapa riset yang
menunjukkan bahwa kreativitas bisa dibentuk melalui proses
pendidikan. Salah satunya adalah penelitian di Harvard University tahun
2011.
Ada dua
pertiga kesempatan membangun kreativitas melalui pendidikan. Sepertiganya melalui
faktor genetik atau bawaan. Ini berbeda dengan intelegensia yang dua
pertiganya karena faktor bawaan, sepertiga melalui pendidikan.
Idealnya,
intelegensianya tinggi, kreativitasnya juga tinggi. Tapi, kalau intelegensia
bawaannya rendah, kita bisa memainkan space
creativity. Meskipun
intelegensianya pas-pasan, kreativitasnya bisa kita manfaatkan.
Bagaimana
caranya membangun kreativitas? Tentu ada berbagai pendekatan yang bisa
membangun kreativitas itu. Caranya, mulai kecil siswa kita biasakan untuk memanfaatkan
inderawinya. Ajak mereka mengamati. Jadi, bukan main di wilayah kosong. tapi
perlu masuk ke wilayah riil sehingga setiap kejadian terekam. Misalnya, apa
yang ada di bulan sana? Kita ajak anak-anak melihat melalui teropong. Contoh
lainnya sel. Kita bisa pakai mikroskop. Baru mereka bisa mengerti apa itu sel.
Ke depan,
persoalan semakin kompleks, beda dengan 30-40 tahun lalu. Karena kompleksitas
ini, butuh kemampuan yang lebih tinggi dalam berpikir.
Mengamati
saja belum cukup. Anak harus dikembangkan kemampuan untuk bertanya. Karena dari
bertanya itulah muncul rasa penasaran intelektual. Itu saja belum cukup. Siswa
perlu kita ajari untuk berkemampuan mempresentasikan, mengkomunikasikan
sesuatu, baik tertulis ataupun lisan. Oleh karena itu kita ajari bagaimana
memformulasikan persoalan.
Oleh karena
itu, struktur mata pelajarannya pun juga berubah.
Seperti apa perubahan struktur mata pelajaran itu?
Struktur
mata pelajarannya kita tata lagi. Pendekatannya pun kita ubah. Objek
pembelajarannya kita tentukan. Pasti tentang fenomena alam, fenomena sosial,
fenomena budaya.
Pendekatannya
perlu diubah terutama untuk anak-anak SD. Anak SD belum bisa berpikir
spesialis. Tidak usah anak SD, S1 saja masih belum spesialis. Doktor baru bisa
tajam. Maka, anak-anak SD itu kita bangun kekuatan fondasi generiknya. Maka,
pendekatan yang kita lakukan di pelajaran SD adalah tematik integratif. Kita
menggunakan tema yang berintegrasi dengan berbagai macam. Misalkan tema hari
ini tentang sungai, besok ganti jadi energi atau laut, gunung, apa saja. Di
situ ada pelajaran tentang PPKN, matematika, kita integrasikan.
Jadi anak
sekolah SD nanti tidak membawa buku matematika atau buku bahasa Indonesia.
Mereka akan membawa buku dengan tema-tema tertentu. Hari ini misalnya tentang
lingkungan. Jadi pelajarannya tentang lingkungan. Jadi, berhari-hari bawa buku
tentang itu saja. Di buku itu ada matematikanya, ada bahasa Indonesianya, ada
pelajaran IPA-nya. Itu menarik buat siswa. Belajar jadi hidup.
Jadi, mata pelajaran di SD nanti apa saja?
Agama, PPKN,
bahasa Indonesia, matematika, seni dan budaya, olahraga dan pendidikan
kesehatan. Itu mata pelajarannya. Tetapi meskipun ada nama-nama mata pelajaran
itu, pendekatannya tidak belajar sendiri-sendiri. Diintegrasikan.
Proses belajar di kelas seperti apa?
Biasa saja.
Secara teknis biasa. Guru menjelaskan. Tapi, selalu pendekatannya adalah
observasi sehingga tidak harus di dalam kelas. Anak-anak bisa diajak keluar
kelas.
Kenapa menurut survei kemampuan nalar siswa kita lebih
rendah dibanding siswa Korea?
Itu jadi
bahan introspeksi kita. Kita berangkat dari TIMSS 2007 (Trends in
International Mathematics and Science Study). Nanti di tahun 2013 akan keluar
hasil survei tahun 2012. Saya tidak ingin menyalahkan siapa-siapa. Makanya
kenapa ini sangat penting, bahkan genting. Kita masuk pada fase penting dan
genting. Karena itu harus segera diubah.
Kalau tidak,
atau menunda satu tahun saja, ada 10 juta anak kelas 1 SD yang tidak
mendapatkan kesempatan. Siswa kelas 1 dan kelas 4 itu sekitar 10 juta. Sayang
anak-anak kita. Karena itu kita harus all out.
Uji publik
yang direncanakan ini belum pernah ada dalam sejarah pembuatan kurikulum. Ini
kita lakukan secara terbuka. Tapi sekali lagi kami mengajak agar pendekatannya
saintifik, akademik. Jangan pakai pendekatan politik. Sudah ada 600 lebih yang
memberi tanggapanonline, di http://kurikulum2013.kemdikbud.go.id. Di situ ada diskusi virtual.
Silakan memberikan masukan. Silakan sempurnakan.
Bagaimana implementasinya?
Ini
perlu effort yang luar biasa. Kami siap diaudit. Ini
semata-mata untuk kepentingan masa depan. Untuk implementasinya, kami punya
beberapa skenario. Salah satu yang menguat adalah secara bertahap.
Jadi, mulai
tahun depan kita mulai dari kelas 1 dan kelas 4. Kalau kita mulai dari kelas 6,
anak-anak kan dari kelas 1 sudah menggunakan pendekatan yang lama. Tahu-tahu
dikasih yang baru, ya nggak nyambung. Karena itu guru yang kita latih
pun tidak semua, yang mengajar kelas 1 dan 4 saja.
Guru SD kan
ada 1,6 juta. Kalau kita latih semuanya, untuk apa? Tahun depan kelas 1 dan
kelas 2, lalu kelas 4 dan kelas 5. Yang kelas 4 kan sudah naik ke kelas 5.
Sehingga yang kita perlukan selanjutnya kelas 2 dan kelas 5.
Kalau satu
tahun mau diperpanjang lagi, baru kelas 3 dan kelas 6. Berarti, 3 tahun lunas
untuk SD. Ada masa 3 tahun untuk menyiapkan itu. Tidak semuanya diselesaikan di
2012. Kami paham kemampuan kami, selain dari sisi pendekatan juga tidak
pas.
SMP dan SMA
juga begitu.
Ini sudah
kita siapkan semua. Kalau kita berpikir jernih, memang harus begitu. Karena
keluhan soal metoda hafalan ini sudah lama.
Perubahan ini akan membawa hasil yang lebih baik?
Hasil
pendidikan itu saya ibaratkan kotak. Bagaimana caranya kita menjadikan kotak
ini jadi sebesar-besarnya? Bagi orang teknik gampang sekali: panjang, lebar dan
tingginya ditambah.
Nah, jadi
panjangnya kita tambah. Tahun depan, insya Allah sudah dimulai pendidikan wajib
12 tahun. Lebarnya juga kita naikkan. Ini lama anak-anak tinggal di sekolah,
atau jam belajar. Konsekuensinya jam belajar bertambah, karena pendekatannya
berubah. Tinggi kotak itu efektivitas. Ini kuncinya di kurikulum.
Populasi
usia produktif kita sekarang luar biasa besar. Warga berusia muda luar biasa
banyaknya. Kalau tidak kita siapkan sejak sekarang, kasihan mereka. (kd)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar