Problematika dan Strategi Pengembangan Madrasah
di Era Otonomi Daerah
Oleh
: Yusuf Hasyim, S.Ag*
Sebagai
lembaga pendidikan yang berciri khas Islam, madrasah merupakan salah satu wujud
dari pelaksanaan otonomi pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah dan
masyarakat sehingga memiliki peranan yang sangat strategis dalam upaya
peningkatan Sumber Daya Manusia Indonesia. Menurut catatan Departemen Agama
jumlah MI sebesar 23.517 lembaga, 93 persen diantaranya swasta; MTs sebesar
12.054 lembaga, 90 persen diantaranya swasta; serta sedangkan MA sebesar 4.687
lembaga, 86 persen diantaranya swasta. Dari angka-angka ini diinterpretasi bahwa eksistensi madrasah di Indonesia
sangatlah menentukan “merah-putihnya” pendidikan nasional.
Menguatnya
aspirasi bagi otomisasi atau desentralisasi pendidikan tidak terlepas dari
kenyataan adanya kelemahan konseptual dalam penyelenggaraan pendidikan
nasional, khususnya semasa Orde Baru yang mana proses pendidikan, kurikulum,
metodologi pendidikan, merupakan pengejawantahan dari system kekuasaan yang ada
atau merupakan upaya pelestarian kekuasaan Orde Baru pada saat itu. Diantara masalah dan kelemahan yang terjadi
dalam konteks ini
menurut Azyumardi Azra (2002) antara lain : Pertama, kebijakan pendidikan nasional sangat sentralistik dan serba seragam, yang pada gilirannya mengabaikan keragaman sesuai dengan realitas kondisi ekonomi, budaya masyarakat Indonesia di berbagai daerah. Kedua, kebijakan penyelenggaraan pendidikan nasional lebih berorientasi pada pencapaian target-target tertentu, seperti target kurikulum yang pada gilirannya mengabaikan proses pembelajaran yang efektif menjangkau seluruh ranah dan potensi anak didik.
menurut Azyumardi Azra (2002) antara lain : Pertama, kebijakan pendidikan nasional sangat sentralistik dan serba seragam, yang pada gilirannya mengabaikan keragaman sesuai dengan realitas kondisi ekonomi, budaya masyarakat Indonesia di berbagai daerah. Kedua, kebijakan penyelenggaraan pendidikan nasional lebih berorientasi pada pencapaian target-target tertentu, seperti target kurikulum yang pada gilirannya mengabaikan proses pembelajaran yang efektif menjangkau seluruh ranah dan potensi anak didik.
Kosekuensi dari
pelaksanaan Undang-Undang otonomi daerah tersebut dalam penyelenggaraan
pendidikan berimplikasi pada bentuk otonomi atau desentralisasi pendidikan, hal
ini akan mengubah beberapa paradigma pendidikan dari sentralisasi mengarah
kepada desentralisasi serta prinsip demokratisasi, keterbukaan, akuntabilitas
yang mengarah pada munculnya kebijakan arus bawah.
Namun demikian
implikasi kebijakan otonomi daerah (desentralisasi pendidikan) tersebut di sisi
lain telah melahirkan kesenjangan kualitas pendidikan antar daerah. Perbedaan
mutu pendidikan masing-masing daerah sangat ditentukan oleh besarnya perhatian
pemerintah daerah pada bidang pendidikan, selain itu juga dipengaruhi oleh
kemampuan pemerintah daerah dalam menyediakan sarana dan prasarana, kualitas
sumber daya manusia serta pemberdayaan masyarakat. Dalam konteks globalisasi,
menurut Suyanto daerah-daerah perlu melakukan
benchmarking sektor pendidikan yang dikelolanya secara otonomi
dalam aspek input, process, product, maupun outcome agar otonomi daerah tidak
membuat sektor pendidikan justru ketinggalan zaman.
Tantangan dan
Problematika Madrasah
Secara yuridis, madrasah telah diakui sebagai sub
sistem pendidikan nasional sebagaimana dinyatakan dalam Undang-Undang Sisdiknas
No.20 Tahun 2003, namun demikian posisi
ini menimbulkan beberapa konsekuensi antara lain adalah dimulainya suatu pola
pembinaan yang mengikuti satu ukuran yang mengacu kepada sekolah-sekolah
pemerintah. Padahal secara struktural madrasah sebagai sekolah yang bercirikan
khas agama Islam berada di bawah naungan Departemen Agama. Dengan demikian
terjadi dualisme dalam pembinaan pendidikan antara sekolah (madrasah) yang
berada di bawah Departemen Agama dengan sekolah yang berada dibawah Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan. Dualisme ini berimplikasi pada munculnya
kebijakan-kebijakan yang kurang menguntungkan sekolah-sekolah yang berada di
bawah Departemen Agama.
Salah satu
“kekeliruan” kebijakan pendidikan otonomi daerah yang berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung terhadap
rendahnya kinerja pendidikan (educational performance) Indonesia adalah
kurang diperhitungkannya madrasah dalam sistem pendidikan nasional. Kalau kita
berbicara mengenai peningkatan mutu pendidikan dan masalah-masalah kependidikan
lainnya seolah-olah semuanya ditentukan oleh sekolah. Padahal di satu sisi
madrasah dituntut menghasilkan lulusan yang sama dengan sekolah umum akan
tetapi kurang memperoleh dukungan financial yang memadai, lebih-lebih lagi bagi
madrasah swasta yang pada umumnya sebagai penyangga financial kehidupan
madrasah adalah wali murid.
Menurut
Undang-Undang Pemerintahan Daerah No. 32 Tahun 2004 pasal 10 ayat 3 huruf f
tentang pembagian urusan pemerintahan, urusan agama termasuk salah satu urusan
pemerintahan yang tidak didesentralisasikan atau diotonomkan ke daerah. Hal ini
menimbulkan multi interpretasi terhadap kedudukan Pendidikan Agama dalam hal
ini madrasah. Di lapangan seringkali terjadi lempar tanggung jawab antara
pemerintah pusat dan pemerintahan daerah. Pemerintah daerah berdalih bahwa
madrasah tidak menjadi bagian tugasnya karena belum diotonomikan, sedangkan
pemerintah pusat mengira jika kebutuhan madrasah juga telah dicukupi oleh
daerah sebagaimana mengurus pendidikan di daerah pada umumnya, akhirnya nasib
madrasah bertambah sengsara tidak ditopang oleh kedua-duanya, baik pusat maupun
daerah.
Sikap
diskriminasi pendidikan terhadap madrasah tersebut semakin dipertegas oleh
keluarnya Surat Edaran Mentri Dalam Negeri (Mendagri), Moh Ma'ruf, tanggal 21
September 2005 No 903/2429/SJ tentang Pedoman Penyusunan APBD Tahun Anggaran
2006 yang melarang pemerintah daerah untuk mengalokasikan APBD kepada
organisasi vertikal. Sementara madrasah
sebagai lembaga pendidikan Islam selama ini berada di bawah koordinasi
Departemen Agama yang termasuk organisasi vertikal karena agama adalah bidang
yang tidak diberi kewenangan otonomi.
Dari segi
anggaran , perolehan anggaran untuk operasional pendidikan terdapat perbedaan
antara lembaga-lembaga pendidikan di bawah naungan Departemen Agama dengan
sekolah-sekolah di bawah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Sebagai akibat
perbedaan anggaran tersebut maka wajar ketika terjadi pula perbedaan dalam
pengadaan sarana fisik serta kegiatan pendidikan yang bersifat non fisik
lainnya. Masalah lain yang muncul adalah kekurangan tenaga pengajar khususnya
guru-guru yang sesuai dengan bidang studi keahlian dan problem-problem lain
yang tidak sedikit.
Seharusnya
pemerintah bersikap adil, demokratis dan bertangungjawab terhadap
penyelenggaraan pendidikan di Indonesia tanpa harus mendiskriminasikan antara
lembaga pendidikan yang berada dalam pengelolaan Departemen Agama maupun yang
berada dalam pengelolaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan sesuai dengan
prinsip-prinsip dasar kebijakan otonomi daerah, karena madrasah juga memiliki
kontribusi yang cukup besar dalam mencerdaskan anak bangsa.
Strategi Pengembangan Madrasah
Dengan
demikian pendidikan Islam (madrasah) perlu menyusun strategi dan kebijakannya
sebagaimana dirumuskan oleh Kelompok Kerja Pengkajian dan Perumusan, Rangkuman
Filosofi Depdikbud RI, antara lain:(1) menyelenggarakan pendidikan Islam yang
relevan dan bermutu sesuai dengan kebutuhan masyarakat madani indonesia dalam
menghadapi tantangan global. (2) menyelenggarakan pendidikan Islam yang dapat
dipertanggungjawabkan (accountable) kepada masyarakat sebagai pemilik
sumber daya dan dana serta pengguna hasil pendidikan, (3) menyelenggarakan
proses pendidikan Islam yang demokratis secara profesional sehingga tidak
mengorbankan mutu pendidikan, (4) meningkatkan efisiensi internal dan
eksternal pada semua jalur, jenjang dan
jenis pendidikan, (5) memberi peluang yang luas dan meningkatkan kemampuan
masyarakat, sehingga terjadi diversifikasi program pendidikan sesuai dengan
sifat multikultural bangsa indonesia, (6) secara bertahap mengurangi peran
pemerintah (Departemen Agama) enuju ke peran fasilitator dalam implementasi
sistem pendidikan Islam, (7) merampingkan birokrasi pendidikan Islam sehingga
lebih lentur (fleksibel) untuk melakukan penyesuaian terhadap
dinamika perkembangan masyarakat dalam lingkungan global.
Disamping
strategi tersebut ada beberapa cara yang perlu dipertimbangkan dalam memecahkan
problema besar kemadrasahan. Ki Supriyoko (2008) melihat paling tidak ada dua
cara yaitu cara knvensional dan cara modern. Cara yang paling konvensional
adalah menyampaikan “ilmu umum” yang porsinya sama dengan yang diberikan di
sekolah, kemudian ditambah dengan “ilmu agama”. Cara ini bagus akan tetapi
hanya efektif dijalankan oleh madrasah dengan siswa yang diasrama alias
dipondokkan. Madrasah yang eksistensinya di tengah pesantren biasanya bisa
menjalankan cara ini secara produktif; namun pada madrasah nonpesantren yang
siswanya tidak menginap, cara ini sangat berat untuk dijalankan.
Cara modern
yang bisa dijalankan adalah membenahi metode pembelajaran (learning method),
meningkatkan mutu guru (teacher quality), atau melengkapi sarana dan
fasilitas belajarnya (facility). Ketiga pembenahan ini bisa dilakukan
secara sendiri-sendiri tetapi lebih produktif dijalankan secara terintegrasi.
Lebih daripada itu bahkan di antara cara konvensional dengan cara modern
tersebut pun bisa dipadukan secara produktif.
Bagaimanapun
juga, pembaharuan-pembaharuan yang akan dilakukan dalam upaya meningkatkan
kualitas pendidikan Islam (madrasah) harus tetap mempertimbangkan aspek
realitas struktural dan kultural yang terjadi. Menurut A. Malik Fajar, ada tiga
kepentingan yang perlu diakomodasikan dalam kebijakan mengembangkan madrasah,
yaitu: Pertama, kebijakan itu harus memberi ruang tumbuh yang wajar bagi
aspirasi utama ummat Islam, yakni menjadikan madrasah sebagai wahana untuk
membina ruh atau praktek hidup Islami. Kedua, kebijakan itu memperjelas
dan memperkukuh madrasah sebagai ajang membina warga negara yang cerdas,
berpengetahuan, berkepribadian, serta
produktif sederajat dengan sistem sekolah. Ketiga, kebijakan itu harus
bisa menjadikan madrasah mampu merespon tuntutan-tuntutan masa depan.
Oleh karena itu
madrasah juga harus mulai berbenah diri untuk memperbaiki manajemen melalui
berbagai upaya alternatif untuk mengatasi berbagai problematika baik secara
internal maupun eksternal, sehingga mampu meningkatkan kualitas dan daya saing
di era globalisasi.
* Yusuf Hasyim, S.Ag, M.S.I
Tidak ada komentar:
Posting Komentar